Search Results for tekno

PENDIDIKAN TEKNOHUMANISTIK

PENDIDIKAN TEKNOHUMANISTIK

(Suatu Rangkaian Perspektif Dan Kebijakan Pendidikan Menghadapi Tantangan Global)

——————————————————————————

Oleh:

Prof. Dr. N DANTES

1.Pendahuluan

Ciri utama abad milinium ini adalah terjadinya globalisasi pada setiap aspek kehidupan. Globalisasi mengandung arti terjadinya keterbukaan, kesejagatan, dimana batas-batas negara tidak lagi menjadi penting. Salah satu yang menjadi trend dan merupakan ciri globalisasi adalah adanya persamaan hak. Dalam konteks pendidikan, persamaan hak itu tentunya berarti bahwa setiap individu berhak mendapat pendidikan yang setinggi-tingginya dan sebaik-baiknya tanpa memandang bangsa, ras, latar belakang ekonomi, maupun jenis kelamin. Dengan adanya kesamaan hak ini, terjadi kehidupan yang penuh dengan persaingan karena dunia telah menjadi sangat kompetitif. Karena itu, mau tidak mau setiap orang mesti berusaha untuk menguasai ilmu dan teknologi agar dapat ikut dalam persaingan.

Terkait dengan itu, pendidikan mesti dapat menjawab tantangan tersebut. Dengan kata lain, pendidikan harus menyediakan kesempatan bagi setiap peserta didik untuk memperoleh bekal pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai sebagai bekal mereka memasuki persaingan dunia yang kian hari semakin ketat itu. Di samping kesempatan yang seluas-luasnya disediakan, namun yang penting juga adalah memberikan pendidikan yang bermakna (meaningful learning). Karena, hanya dengan pendidikan yang bermakna peserta didik dapat dibekali keterampilan hidup, sedangkan pendidikan yang tidak bermakna (meaningless learning) hanya akan menjadi beban hidup. Kehidupan ke depan adalah sangat berat, penuh tantangan dan kompetitif, dan untuk itu perlu penataan kehidupan dalam berbagai hal termasuk aspek pendidikan.

2. Pendidikan dan Pembentukan Karakter Bangsa

Sejak tahun 1920an Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara telah mengumandangkan pemikiran bahwa pendidikan pada dasarnya adalah memanusiakan manusia. Untuk itu suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya, tidak ada pendidikan tanpa dasar cinta kasih. Dengan demikian pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, serta menjadi anggota masyarakat yang berguna. Manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiannya dan mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Metode pendidikan yang paling tepat adalah sistem among yaitu metode pembelajaran yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Sementara itu prinsip penyelenggaraan pendidikan perlu didasarkan pada “Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani“.

Bila kita analisis pengalaman sejarah bangsa kita, pasang surutnya perkembangan bangsa kita, diperlukan usaha yang sangat serius untuk menata kehidupan bangsa dalam berbagai aspek. Menata kehidupan bangsa dalam berbagai aspeknya termasuk pendidikan adalah hal yang sangat mendesak untuk dilakukan, walaupun hal itu diketahui sulit. Pada hakekatnya proses penataan kembali itu diperlukan karena hadirnya sejumlah perubahan, yang beberapa diantaranya sangat fundamental dan tidak pernah diramalkan sebelumnya.

Dunia bergerak ke masa depan dengan dinamis, dan dalam proses itu banyak nilai masa lalu yang tidak tepat lagi dengan konteks perkembangan jaman. Hal ini disebabkan karena memang perubahan perkembangan masyarakat; dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan, dari masyarakat agraris ke masyarakat industri dan jasa, dari tipologi masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, juga berkembang dari masyarakat paternalistik ke masyarakat demokratis. Hal ini dapat menyebabkan sebagian masyarakat mengalami disorientasi nilai. Dalam tingkat tertentu hal tersebut juga mempengaruhi dunia pendidikan kita.

Sebagai masyarakat yang sebagian besar cenderung dalam tipologi tradisional, terkait dengan perubahan jaman tersebut, untuk bisa hidup harmonis dan bahagia dalam lingkungan dunia baru (global) ini, diperlukan hadirnya Neotradisional Norm yaitu nilai-nilai baru yang berakar pada nilai-nilai tradisional (asli) dan dalam perkembangan dan perubahan nilai dapat disebut dengan dynamic integrated norm yaitu suatu perubahan nilai yang dianut masyarakat tetapi masih bersumber dan terintegrasi dengan nilai aslinya yang bisa berupa nilai-nilai luhur bangsa yang merupakan puncak-puncak nilai bangsa, maupun berupa nilai yang bersumber dari kearifan lokal (local geneus).

Bila kita kaji beberapa referensi dalam kaitan dengan hal di atas, tampak jelas penggambaran adanya perubahan zaman yang sangat pesat. Seperti Nisbet (1997) telah menyodorkan sepuluh megatrent global yang akan terjadi ke depan yang terkenal dengan megatrent global melenium yang meliputi boom ekonomi global, renaisan dalam seni, sosialisme pasar bebas, gaya hidup global dan nasionalisme kultural, swastanisasi, kebangkitan tepi pasifik, dasawarsa kepemimpinan wanita, abad biologi, kebangkitan agama milinium, dan kejayaan individu. Sedangkan Rowan Gibson (1997) menyatakan tiga hal sehubungan dengan kehidupan ke depan yaitu : pertama, the road stop here ; yang esensinya menyatakan bahwa masa depan nanti akan sangat berbeda dari masa lalu, dan karenanya diperlukan pemahaman yang tepat tentang masa depan itu. Kedua, new time call for new organizations, yang pada esensinya menyatakan bahwa dengan tantangan yang berbeda diperlukan bentuk organisasi/ institusi yang berbeda dengan ciri efisiensi yang tinggi, dan kecepatan bergerak. Ketiga, where do we go next; yang esensinya menyatakan bahwa, dengan berbagai perubahan yang terjadi, setiap organisasi, institusi, perlu merumuskan arah yang tepat yang ingin dituju. Peter Senge (1994) juga mengemukakan bahwa akan terjadi ke depan ini perubahan dari detail comlplexety ke dinamic complexity yang nantinya akan membuat interpolasi menjadi sulit. Perubahan terjadi akan sangat mendadak dan tidak menentu. Sedangkan Rossabeth Moss Kanter (1994) menyatakan masa depan akan didominasi oleh nilai-nilai dan pemikiran cosmopolitan dan setiap pelakunya disetiap bidang termasuk bidang pendidikan dituntut memiliki 4C yaitu : Concept, Competence, Conection, dan Confidance. Maka dari itu kedepan diperlukan pendidikan yang, di samping menguasai sain dan teknologi yang tinggi, harus didasarkan pada dasar pemahaman dan penguasaan nilai dan moral yang kokoh, yang dalam dunia pendidikan kita sebut dengan pendidikan
teknohumanistik.

Kesejahtraan material yang didapatkan oleh manusia dalam kehidupannya yang merupakan hasil oleh pikirnya dalam sain dan teknologi berdampak langsung pada kesejahtraan hidup manusia. Dengan hasil sain dan teknologi berbagai temuan didapatkan , jarak waktu dapat diperpendek, berbagai macam penyakit bisa ditanggulangi, teknologi informasi berkembang pesat dan lain sebagainya, menyebabkan hidup manusia makin meningkat. Kemudahan yang didapatkan tersebut tidak akan berarti apa-apa, apabila tidak didasari oleh nilai, etika dan moral yang kokoh dalam penggunaannya. Hal tersebut bisa akan menjadi bumerang pada manusia itu sendiri. Maka dari itu diperlukan dasar pemahaman yang kuat atas nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Sentuhan pendidikan mutlak perlu adanya, karena pendidikan adalah merupakan suatu proses pemanusiaan manusia, sehingga pendidikan merupakan wahana transpormasi budaya, dan pendidikan itu sendiri adalah budaya intingeble,merupakan social culture, dan juga merupakan dan mendukung culture system, sehingga kemajuan peradaban suatu masyarakat dapat diukur dari tinggi rendahnya kualitas lembaga-lembaga pendidikannya. Dalam kaitannya dengan itu dunia pendidikan kita dituntut berperan sebagai agen pembentuk peradaban bangsa, ia dituntut untuk dapat membentuk nilai-nilai modern yang tetap bercirikan Indonesia dengan berbagai kearifan lokalnya. Dan di banyak Negara termasuk Negara maju, pendidikan formal merupakan proses penting untuk nation and character building.

Untuk itulah pengaruh pendidikan moral dan etika (yang dapat diberikan secara terintegrasi maupun berdiri sendiri di pendidikan formal), dan di pendidikan informal maupun secara nonformal dimasyarakat adalah dominan kepada peserta didik, dan pelaksanaannya juga akan makin sulit. Seperti sering disaksikan sebagai tontonan oleh masyarakat luas dengan penuh keprihatinan merosotnya moral dan etika dipanggung politik dan ekonomi. Dengan luas dan terbukanya arus informasi melalui berbagai media baik tulis maupun elektronika, kegiatan para elit di panggung politik dan ekonomi memiliki pengaruh yang besar pada pendidikan moral dan etika yang merupakan unsur penting dalam pendidikan karakter generasi penerus. Martin Luther King Jr, mengatakan “Intelligence plus character, that is the true goal of education”.

Maka dari itu diperlukan pendidik (guru) yang berkemampuan mempersonafikasikan nilai-nilai etik kemanusiaan. Meskipun tidak berarti bahwa seorang pendidik adalah seorang malaikat, namun dinamika kehidupannya menunjukkan wajah ketulusan untuk membantu peserta didik.

3. Paradigma Pendidikan Masa Depan

Pendidikan berwawasan masa depan diartikan sebagai pendidikan yang dapat menjawab tantangan masa depan, yaitu suatu proses yang dapat melahirkan individu-individu yang berbekal pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk hidup dan berkiprah dalam era globalisasi.

Komisi Internasional bagi Pendidikan Abad ke 21 yang dibentuk oleh UNESCO melaporkan bahwa di era global ini pendidikan dilaksanakan dengan bersandar pada empat pilar pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together (Delors, 1996). Dalam learning to know peserta didik belajar tentang pengetahuan yang penting sesuai dengan jenjang pendidikan yang diikuti. Dalam learning to do peserta didik mengembangkan keterampilan dengan memadukan pengetahuan yang dikuasai dengan latihan (law of practice), sehingga terbentuk suatu keterampilan yang memungkinkan peserta didik memecahkan masalah dan tantangan kehidupan. Dalam learning to be, peserta didik belajar secara bertahap menjadi individu yang utuh, memahami arti hidup dan tahu apa yang terbaik dan sebaiknya dilakukan, agar dapat hidup dengan baik. Dalam learning to live together, peserta didik dapat memahami arti hidup dengan orang lain, dengan jalan saling menghormati, saling menghargai, serta memahami tentang adanya saling ketergantungan (interdependency). Dengan terjadinya kerusakan lingkungan yang tak terkendalikan dewasa ini diberbagai belahan dunia, telah muncul pilar kelima dalam bidang pendidikan yaitu learning to live sustanabilies, yang memaknai bahwa melalui pendidikan kelangsungan hidup umat manusia dan dukungan alam yang harmonis dan berkesinambungan dapat diwujudkan. Dengan demikian, melalui pilar pendidikan ini diharapkan peserta didik tumbuh menjadi individu yang utuh, yang menyadari segala hak dan kewajiban, serta menguasai ilmu dan teknologi untuk bekal dan kelangsungan hidupnya serta kelestarian lingkungan alam tempat kehidupannya.

Dalam kaitan dengan itu, visi pendidikan nasional kita adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip untuk dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan.

Salah satu prinsip tersebut adalah bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Implikasi dari prinsip ini adalah pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran.

Paradigma pengajaran yang telah berlangsung sejak lama lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransfer pengetahuan kepada peserta didik. Seperti telah disebutkan pada pendahuluan , dewasa ini paradigma tersebut telah bergeser menuju paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Maka dari itu diperlukan suatu model pendidikan yang mampu mentranspormasikan bekal keintelekan dengan dasar keadaban yang kokoh, yang telah disebut di atas dengan Model Pendidikan Teknohumanistik. Pendidikan teknohumanistik berlandaskan pada tiga acuan dasar pengembangan pendidikan (di Indonesia) yaitu, acuan filosofis, acuan nilai kultural, dan acuan lingkungan strategis.

Acuan filosofis, didasarkan pada abstraksi acuan hukum dan kajian empiris tentang kondisi sekarang serta idealisasi masa depan. Secara filosofis obyek forma pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia, sehingga harus memiliki karakteristik: (a) mampu mengembangkan kreativitas, kebudayaan, dan peradaban; (b) mendukung diseminasi dan nilai keunggulan, (c) mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan dan keagamaan; dan (d) mengembangkan secara berkelanjutan kinerja kreatif dan produktif yang koheren dengan nilai-nilai moral, dan semua itu inheren dengan cita-cita pembentukan masyarakat Indonesia Baru, yakni apa yang disebut dengan masyarakat madani.

Pendidikan kita harus pula memiliki acuan nilai kultural dalam penataan aspek legal. Tata nilai itu sendiri bersifat kompleks dan berjenjang mulai dari jenjang nilai ideal, nilai instrumental, sampai pada nilai operasional. Pada tingkat ideal, acuan pendidikan adalah pemberdayaan untuk kemandirian dan keunggulan. Pada tingkat instrumental, nilai-nilai yang penting perlu dikembangkan melalui pendidikan adalah otonomi, kecakapan, kesadaran berdemokrasi, kreativitas, daya saing, estetika, kearifan, moral, harkat, martabat dan kebanggaan. Pada tingkat operasional, pendidikan harus menanamkan pentingnya kerja keras, sportifitas, kesiapan bersaing, dan sekaligus bekerjasama dan disiplin diri.

Acuan lingkungan strategis mencakup lingkungan nasional dan lingkungan global. Lingkungan nasional meliputi perubahan demografis termasuk didalamnya penyebaran penduduk yang tidak merata dan keberhasilan KB, pengaruh ekonomi yang tidak merata sehingga penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan meningkat, pengaruh sumber kekayaan alam yang pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan yang baik, pengaruh nilai sosial budaya di era global ini, dimana munculnya nilai-nilai baru di masyarakat seperti kerja keras, keunggulan, dan ketepatan waktu, pengaruh politik yang sejak era reformasi terasa sangat labil, serta pengaruh ideologi dimana pendidikan ideologi perlu terkait dengan yang universal. Lingkungan nasional yang saat ini masih dalam situasi reformasi, bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Secara nasional acuan strategis ini mengandung arti bahwa pendidikan kita harus dapat menjawab tantangan reformasi dan membawa negeri ini kepada suatu kondisi secara aktual siap untuk bersaing.

Lingkungan global ditandai antara lain dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi sehingga kita tidak bisa menjadi warga lokal dan nasional saja, tetapi juga warga dunia. Lingkungan strategis sangat berpengaruh bagaimana pendidikan masa depan tersebut hendaknya dirancang. Dalam visualisasinya konsep pendidikan Teknohumanistik di atas, dapat digambarkan sebagai berikut.


Sebagai implikasi dari globalisasi dan reformasi tersebut, terjadi perubahan pada paradigma pendidikan. Perubahan tersebut menyangkut, pertama: paradigma proses pendidikan yang berorientasi pada pengajaran dimana guru lebih menjadi pusat informasi, bergeser pada proses pendidikan yang berorientasi pada pembelajaran dimana peserta didik menjadi sumber (student center). Dengan banyaknya sumber belajar alternatif yang bisa menggantikan fungsi dan peran guru, maka peran guru berubah menjadi fasilitator. Kedua, paradigma proses pendidikan tradisional yang berorientasi pada pendekatan klasikal dan format di dalam kelas, bergeser ke model pembelajaran yang lebih fleksibel, seperti pendidikan dengan sistem jarak jauh. Ketiga, mutu pendidikan menjadi prioritas (berarti kualitas menjadi internasional). Keempat, semakin populernya pendidikan seumur hidup dan makin mencairnya batas antara pendidikan di sekolah dan di luar sekolah. Kelima, dengan makin berkembangnya pendidikan sain dan teknologi, dan demi kesejahtraan manusia dan lingkungan, maka pengembangan sain dan teknologi tersebut harus didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan.

Kondisi ini mengharuskan pendidikan menerapkan berbagai prinsip yang sangat mendasar seperti penerapan standar mutu sehingga kita bisa bersaing dengan dunia global, dan penggunaan berbagai cara belajar dengan mendayagunakan sumber belajar. Bila kita cermati ketiga acuan di atas merupakan dasar hukum dan operasional pengembangan pendidikan masa depan. Dalam pembangunan pendidikan ke depan ini, ketiga acuan tersebut merupakan dasar dalam mengembangkan cetat biru (blueprint) pendidikan nasional.

4. Prinsip-prinsip Pendidikan Teknohumanistik

Pendidikan teknohumanistik merupakan pendidikan yang mentranspormasikan sain-teknologi dan nilai-nilai keadaban yang didasarkan pada prinsip-prinsip dasar harkat kemanusiaan. Dalam pelaksanaannya pendidikan teknohumanistik mengacu pada pendidikan karakter yang efektif, yang prinsipnya adalah sebagai berikut :

  1. Pendidikan teknohumanistik hendaknya mengembangkan “Core Ethical Values” sebagai basis dari karakter kemanusiaan yang baik. Dasar pelaksanaan pendidikan teknohumanistik berawal dari prinsip-prinsip filosofi, yang secara obyektif menganggap bahwa nilai-nilai etika yang murni atau inti, seperti kepedulian, kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab, dan rasa hormat pada diri sendiri dan orang lain adalah sebagai basis daripada karakter yang baik, yang mendasari penguasaan sain dan teknologi yang makin kompleks.
  2. Karakter dan pendidikan teknohumanistik, harus didefinisikan secara komprehensif, termasuk pikiran, perasaan, dan perilaku. Dalam program pendidikan karakter sebagai inti pendidikan teknohumanistik yang umumnya menyentuh ranah kognitif, afektif, psikomotorik dan metakognitif mengandung makna yang lebih luas, dan akhirnya dapat menyangkut aspek perilaku dalam kehidupan moral. Pendidikan teknohumanistik berdasarkan pada penguasaan sain dan teknologi yang dilandasi dasar yang kokoh pada pemahaman, kepedulian tentang nilai-nilai etika dasar, dan tindakan atas dasar nilai-nilai etika yang inti.
  3. Dalam kaitan dengan pendidikan formal, pendidikan teknohumanistik yang efektif menuntut niat yang sungguh-sungguh, proaktif dan melakukan pendekatan komprehensif yang dapat memacu nilai-nilai inti pada semua tahap kehidupan sekolah. Sekolah-sekolah dalam melaksanakan pendidikan teknohumanistik, seyogyanya disorot melalui lensa moral dan lihat bagaimana sebenarnya segala sesuatu yang berpengaruh terhadap nilai-nilai di sekolah dan karakter para peserta didik.
  4. Sekolah harus menjadi “a caring community“. Sekolah itu sendiri harus menampakkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang memiliki karakter yang baik. Hal ini harus dipacu untuk maju menjadi sebuah mikrokosmos bagi rakyat banyak, menjadi masyarakat yang mantap dan peduli serta kreatif. Sekolah dapat berbuat demikian dengan menjadikan sekolah sebagai masyarakat bermoral yang bisa menolong para peserta didik untuk membina rasa kasih sayang dan rasa hormat kepada orang tua, guru, dan orang lain.
  5. Untuk mengembangkan karakter, para peserta didik memerlukan kesempatan untuk berperilaku moral. Dalam tata susila seperti pada kawasan intelektual, para peserta didik menjadi pelajar yang konstruktif, mereka belajar dengan baik sambil bekerja. Untuk mengembangkan karakter, mereka memerlukan banyak kesempatan yang bervariasi untuk mengaplikasikan nilai-nilai, seperti tanggung jawab dan kejujuran pada interaksi dan diskusi-diskusi setiap hari.
  6. Pendidikan teknohumanistik yang efektif harus melibatkan kurikulum akademik yang menantang dan bermakna, yang memperhatikan semua peserta didik dan membantunya untuk mencapai hasil belajar. Pendidikan nilai (karakter) dan pengetahuan akademik harus disusun secara terintegrasi dan saling mendukung antara yang satu dengan yang lain.
  7. Pendidikan teknohumanistik hendaknya berupaya untuk mengembangkan motivasi instrinsik para peserta didik. Sebagai peserta didik yang sedang mengembangkan karakter yang baik, mereka harus membangkitkan kemauan kuat dari dalam batin sendiri untuk mengerjakan apa yang menurut pertimbangan moral mereka, adalah benar. Sekolah, khususnya dalam menggunakan pendekatan disiplin, harus berusaha untuk mengembangkan kemauan intrinsik terhadap nilai-nilai inti.
  8. Staf sekolah (kepala sekolah, guru-guru, dan pegawai) harus menjadi masyarakat belajar dan bermoral dalam mana semua bagian bertanggung jawab pada pendidikan karakter dan pendidikan yang berbasis nilai-nilai luhur kemanusiaan dan berusaha untuk mengikuti dengan setia nilai-nilai inti yang sama, yang dapat membimbing dan dipedomani oleh para peserta didik. Dalam hubungan ini, ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, semua staf sekolah, guru-guru, administrator, konselor, pelatih, sekretaris, pekerja kantin, alat-alat permainan lapangan, semuanya harus dilibatkan dalam kegiatan belajar, diskusi-diskusi dan berbicara tentang usaha-usaha pendidikan nilai (karakter). Semua orang dewasa hendaknya menjadi model dari nilai-nilai inti dalam setiap perilakunya dan memberi manfaat pada kesempatan-kesempatan lain yang mereka miliki untuk mempengaruhi peserta didik, dengan siapa saja mereka bertemu. Kedua, nilai-nilai dan norma-norma yang sama yang membentuk kehidupan para peserta didik hendaknya terbentuk dalam kehidupan bersama dengan orang dewasa dalam masyarakat sekolah. Ketiga, sekolah hendaknya menemukan dan menjaga refleksi-refleksi staf pada masalah-masalah moral. Staf sekolah, melalui pertemuan-pertemuan atau rapat-rapat dengan dukungan kelompok-kelompok yang lebih kecil, harus secara reguler dilaksanakan.
  9. Pendidikan teknohumanistik meminta kepemimpinan moral dari staf dan para peserta didik. Para peserta didik hendaknya juga dibawa ke dalam peran-peran kepemimpinan moral melalui organisasi peserta didik, program-program penengahan terhadap konflik-konflik dalam kelompok teman sejawat, tutorial lintas usia dan lain-lain.
  10. Sekolah mesti melibatkan orang tua dan anggota-anggota masyarakat sebagai partner penuh dalam upaya pembentukan dan pengembangan nilai-nilai tentang harkat kemanusiaan peserta didik. Misi suatu pendidikan teknohumanistik harus menyebutkan secara benar dan nyata mengenai pengembangan sain dan teknologi yang sesuai dengan harkat kemanusiaan demi kesejahtraan manusia itu sendiri. Jadi dimensi aksiologi keilmuan harus dipegang teguh untuk hal ini. Sekolah (pendidikan formal) yang merupakan tempat stategis untuk mentranspormasikan sain dan teknologi, dan orang tua sebagai pendidik pertama dan terpenting bagi anak-anak harus bekerja sama saling bahu membahu. Kemudian, sekolah harus berusaha pada setiap tahap untuk berkomunikasi dengan orang tua tentang tujuan-tujuan sekolah dan kegiatan-kegiatan dalam rangka pengembangan pendidikan teknohumanistik, dan bagaimana keluarga dapat membantunya. Untuk membina kerjasama antara sekolah dan orang tua di rumah, maka sekolah hendaknya menjadi proaktif dalam melibatkan orang tua peserta didik dalam perencanaan dan pembuatan kebijakan.
  11. Penilaian pada pendidikan teknohumanistik hendaknya mengukur komitmen dan kondisi sekolah, berfungsinya staf sekolah sebagai pendidik-pendidik teknohumanistik dan diperluas pada penampilan karakter yang baik pada para peserta didik. Pendidikan teknohumanistik yang efektif harus mengupayakan untuk mengukur pengaruh program-program sekolah terhadap perkembangan moral peserta didik. Dalam kaitan ini, ada tiga bentuk yang perlu diperhatikan. Pertama, seberapa inten sekolah telah berfungsi sebagai “caring community“. Hal ini dapat diukur, misalnya dengan mengadakan survey, dengan meminta para peserta didik menunjukkan indikasi secara mendalam persetujui mereka dalam penunjukkan perilaku-perilaku seperti: “Para peserta didik dalam kelas ini memiliki rasa hormat dan penuh perhatian antara yang satu dengan yang lainnya”, dan “Kelas ini sebagai suatu keluarga”. Di samping itu, dapat juga dilakukan observasi sebagai alat yang berguna untuk mengukur karakter sekolah. Kedua, staf sekolah tumbuh sebagai pendidik karakter. Seberapa inten staf sekolah, guru-guru, administrator, dan pendukung personal lainnya telah mengembangkan pengertian-pengertian tentang apa yang mereka dapat kerjakan untuk memacu perkembangan nilai dan karakter peserta didik? Ketiga, karakter para peserta didik, seberapa inten para peserta didik menampakkan pengertian, komitmen, dan tindakan-tindakan atas dasar nilai-nilai etika inti? Untuk hal ini dapat dilakukan melalui sekolah, misalnya kumpulkan data tentang berbagai karakter yang berhubungan dengan perilaku-perilaku sebagai berikut: pernahkah para peserta didik terlambat datang ke sekolah dan apakah suka membolos? Terjadikah perkelahian antar peserta didik? Apakah vandalisme (suka merusak), cenderung menurun? Apakah insiden penyalahgunaan obat keras, telah berkurang?

C. Pendekatan Komprehensif dalam Pendidikan Teknohumanistik

Ada tiga dimensi tujuan yang tercakup dalam pendidikan teknohumanistik, yaitu penguasaan sain-teknologi, kebijakan dan kebaikan. Pendidikan untuk penguasaan sain-teknologi harus berdasar pada aksiologi keilmuan yaitu demi kemaslahatan dan kesejahtraan umat manusia. Pendidikan persekolahan (formal) yang terkait (matching) dengan aplikasi pada berbagai lapangan/sektor merupakan usaha yang strategis untuk pencapaian tujuan. Pendidikan tentang kebaikan merupakan dasar demokrasi. Pendidikan tentang nilai dalam rangka pembentukan karakter peserta didik perlu diefektifkan karena adanya berbagai pengaruh negatif yang dapat mempengaruhi perilaku peserta didik seperti kecenderungan perilaku menyimpang dari peserta didik. Memperhatikan adanya gejala-gejala negatif tersebut, nilai-nilai apakah yang perlu dibelajarkan? Dua buah nilai moral utama adalah “respect and responsibility” (rasa hormat dan tanggung jawab). Di samping itu ada sejumlah nilai yang dibelajarkan, antara lain: “honesty (kejujuran), fairness (keterbukaan), tolerance (toleransi), prudence (kehati-hatian), self-discipline (disiplin diri), helpfulness (membantu dengan tulus), compassion (rasa terharu), cooperation (bekerjasama), courage (keteguhan hati), and host of democratic values” (Lickona, 1991:43-45), yang pada akhirnya secara simultan akan membentuk karakter peserta didik.

Karakter, berkaitan dengan pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral. Karakter yang baik terdiri atas pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan berbuat kebaikan, atau kebiasaan pikiran, kebiasaan perasaan dalam hati, dan kebiasaan berperilaku yang baik. Ketiga hal inilah yang menentukan kehidupan bermoral. Komponen-komponen karakter yang baik adalah seperti tercantum pada bagan berikut (Lickona, 1991: 53)


Dalam komponen “moral knowing” (pengetahuan moral) terdapat enam aspek, yaitu (1) kesadaran moral (kesadaran hati nurani). (2) Knowing moral values (pengetahuan nilai-nilai moral), terdiri atas rasa hormat tentang kehidupan dan kebebasan, tanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, keterbukaan, toleransi, kesopanan, disiplin diri, integritas, kebaikan, perasaan kasihan, dan keteguhan hati. (3) Perspective-taking (kemampuan untuk memberi pandangan kepada orang lain, melihat situasi seperti apa adanya, membayangkan bagaimana dia seharusnya berpikir, bereaksi, dan merasakan). (4) Moral reasoning (pertimbangan moral) adalah pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan bermoral dan mengapa kita harus bermoral. (5) Decision-making (pengambilan keputusan) adalah kemampuan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah-masalah moral. (6) Self-knowledge (kemampuan untuk mengenal atau memahami diri sendiri), dan hal ini paling sulit untuk dicapai, tetapi hal ini perlu untuk pengembangan moral.

Dalam komponen “moral feeling” (perasaan moral), terdapat enam aspek penting, yaitu (1) conscience (kata hati atau hati nurani), yang memiliki dua sisi, yakni sisi kognitif (pengetahuan tentang apa yang benar) dan sisi emosi (perasaan wajib berbuat kebenaran). (2) Self-esteem (harga diri), dan jika kita mengukur harga diri sendiri berarti menilai diri sendiri; jika menilai diri sendiri berarti merasa hormat terhadap diri sendiri. (3) Empathy (kemampuan untuk mengidentifikasi diri dengan orang lain, atau seolah-olah mengalami sendiri apa yang dialami oleh orang lain dan dilakukan orang lain). (4) Loving the good (cinta pada kebaikan); ini merupakan bentuk tertinggi dari karakter, termasuk menjadi tertarik dengan kebaikan yang sejati. Jika orang cinta pada kebaikan, maka mereka akan berbuat baik dan memiliki moralitas. (5) Self-control (kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri), dan berfungsi untuk mengekang kesenangan diri sendiri. (6) Humility (kerendahan hati), yaitu kebaikan moral yang kadang-kadang dilupakan atau diabaikan, pada hal ini merupakan bagian penting dari karakter yang baik.

Dalam komponen “moral action” (tindakan moral), terdapat tiga aspek penting, (1) competence (kompetensi moral), yaitu kemampuan untuk menggunakan pertimbangan-pertimbangan moral dalam berperilaku moral yang efektif; (2) will (kemauan), yakni pilihan yang benar dalam situasi moral tertentu, biasanya merupakan hal yang sulit; (3) habit (kebiasaan), yakni suatu kebiasaan untuk bertindak secara baik dan benar.

Bagaimanakah strategi untuk membelajarkan “respect and responsibility” (rasa hormat dan tanggung jawab) yang merupakan nilai-nilai moral utama? Licknona (1991) mengemukakan suatu konsep tentang “a comprehensive approach to moral values and character education” seperti pada bagan berikut (Lickona, 1991:69)


Dalam bagan di atas terkandung ide-ide yang komprehensif mengenai pendidikan karakter yang menjiwai Pendidikan Teknohumanistik, sebagi berikut.

  1. Pada umumnya pendidikan karakter mempunyai dua tujuan utama, yaitu membantu peserta didik menjadi bijak (smart) dan membantu mereka menjadi orang yang baik. Baik, dalam arti nilai-nilai moral yang seimbang, yakni nilai-nilai yang dapat memperkokoh martabat manusia dan mengembangkan kebaikan individu dan masyarakat. Dua nilai-nilai moral universal yang merupakan nilai-nilai inti dalam masyarakat umum dan yang secara moral dapat diajarkan adalah rasa hormat dan tanggung jawab.
  2. Sekolah sebagai lembaga sosial diharapkan dapat membentuk karakter dengan menggunakan strategi pendekatan komprehensif, yang meliputi semua pendekatan terhadap pendidikan nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan sekolah untuk mencapai pengembangan karakter. Pendekatan tersebut meliputi 12 strategi di dalam kelas dan di luar kelas. Yang termasuk pendekatan komprehensif di dalam kelas adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan kegiatan pendidik (guru), antara lain sebagai berikut.

    (1) Aktivitas guru sebagai pemberi rasa hormat dan cinta, sebagai model dan sebagai mentor yang berinteraksi dengan peserta didik dengan cinta dan rasa hormat , menjadi contoh yang baik, menunjukkan perilaku yang prososial, dan berperilaku hati-hati dan cermat.

    (2) Menciptakan kelas sebagai masyarakat yang bermoral, membantu peserta didik untuk saling mengenal satu sama lainnya, rasa hormat dan penuh perhatian antara yang satu dengan yang lainnya, dan merasakan setiap anggota bernilai di dalam kelompok.

    (3) Praktikkan atau terapkan disiplin moral, ciptakan dan laksanakan aturan-aturan dalam berbagai kesempatan untuk memacu pemikiran moral, laksanakan pengendalian diri, dan menggeneralisasi perhatian dan hormat kepada orang lain.

    (4) Ciptakan lingkungan kelas yang demokratis, libatkan peserta didik dalam pengambilan keputusan dan berikan tanggung jawab untuk membuat kelas sebagai tempat yang baik untuk belajar.

    (5) Ajarkan nilai-nilai melalui kurikulum, gunakan subjek akademik sebagai wahana untuk menguji isu-isu kesusilaan (etika)

    (6) Gunakan cara belajar kooperatip untuk mengajar peserta didik tentang karakter dan keterampilan-keterampilan untuk saling membantu dan bekerjasama.

    (7) Kembangkan kesadaran tentang keahlian keterampilan dengan memacu tanggung jawab akademik pada para peserta didik dan kembangkan rasa hormat mereka terhadap nilai dari belajar dan bekerja.

    (8) Bangkitkan refleksi moral mereka melalui membaca, menulis, berdiskusi, latihan pengambilan keputusan, dan berdebat dalam diskusi.

    (9) Ajarkan cara-cara pemecahan konflik, dengan demikian peserta didik akan memiliki kemampuan dan komitmen untuk memecahkan konflik-konflik secara terbuka dan jujur, dan tidak dengan kekerasan.

    (10) Pendekatan komprehensif yang berkenaan dengan aktivitas-aktivitas sekolah harus diarahkan kepada kegiatan untuk belajar membaca lebih giat, pemeliharaan kondisi kelas dengan menggunakan model-model dan kesempatan-kesempatan bagi pelayanan sekolah dan masyarakat untuk membantu peserta didik untuk belajar memperhatikan serta memelihara suasana kelas.

    (11) Ciptakan budaya moral positif di sekolah, kembangkan seluruh lingkungan sekolah (melalui kepemimpinan kepala sekolah), memperluas disiplin sekolah, memperluas rasa kemasyarakatan di sekolah, ciptakan organisasi yang demokratis, ciptakan suasana bermoral di antara kelompok orang dewasa, dan sediakan waktu untuk memperlihatkan perilaku moral.

    (12) Ajaklah orang tua dan anggota masyarakat sebagai partner dalam pendidikan nilai-nilai, dukung orang tua sebagai pendidik moral pertama dan utama bagi anak-anaknya, doronglah orang tua untuk mendukung sekolah dalam melakukan usaha-usaha untuk memacu meningkatkan nilai-nilai yang baik, dan gunakan bantuan masyarakat (seperti pemuka-pemuka agama, kalangan pengusaha, dan media massa) dalam mengembangkan nilai-nilai yang akan diajarkan di sekolah.

    Dalam hubungan dengan pendidikan karakter ini, William J. Bennett (Ed., 1997) dalam bukunya berjudul: “The Book of Virtues: A Treasury of Great Moral Stories” mengemukakan bahwa dalam pendidikan moral, pendidik perlu mengajarkan tentang nilai-nilai moral seperti: rasa hormat kepada orang tua dan guru, jujur, terbuka, toleransi, adil, religius, bertanggung jawab terhadap masyarakat dan negara, serta memiliki rasa kasih sayang dan cinta terhadap Tuhan, masyarakat, dan lingkungan. Dengan menggunakan ilustrasi ceritra-ceritra, Bennett mengungkapkan beberapa cara untuk mengembangkan karakter yang baik, antara lain sebagai berikut.

    1. Self-discipline (disiplin diri) perlu ditanamkan pada peserta didik, para pendidik/guru, para pelatih, pembimbing, dan pada semua komponen yang terkait dengan kegiatan proses pembelajaran.
    2. Compassion (rasa terharu) yang disertai rasa kasih. Di samping disiplin diri, kita sering menyaksikan adanya rasa keterharuan, yang kadang-kadang menutup hati atau kesadaran moral. Bagaimana caranya untuk meningkatkan rasa kasihan kepada orang lain pada peserta didik? Dalam hal ini, berikanlah merka ceritra-ceritra dan pribahasa yang bermanfaat sebanyak mungkin.
    3. Responsibility (tanggung jawab). Orang yang tidak bertanggung jawab adalah suatu ciri bahwa orang itu belum matang, sebaliknya adanya rasa tanggung jawab adalah ciri kematangan seseorang. Jika kita berupaya untuk membantu peserta didik menjadi orang yang bertangung jawab, maka sesungguhnya kita membantu mereka menjadi matang.Tanggung jawab, dan upaya untuk menjadi bertanggung jawab, harus menggunakan kekuatan yang ada pada setiap orang; dan setiap orang harus melakukannya terus-menerus.
    4. Friendship (persahabatan). Ceritra-ceritra mengenai persahabatan yang baik merupakan paradigma moral bagi semua hubungan antar manusia.Pengertian persahabatan ini lebih luas daripada kenalan dan di dalamnya termasuk lebih luas dari afeksi.
    5. Work (pekerjaan), apa yang harus dikerjakan supaya kita meningkat? Ini pertanyaan yang menyangkut pekerjaan, dan sekaligus pertanyaan yang menyangkut kehidupan.
    6. Courage (keberanian dan keteguhan hati).Di samping bekerja, menghayati dan menikmati makna kerja bagi kehidupan manusia, perlu menanamkan keberanian dan keteguhan hati atau ketekunan dalam menghadapi perasaan takut, sifat ragu-ragu, gugup, bimbang, dan sifat-sifat lainnya yang sering mengganggu.
    7. Perseverance (ketekunan), perlu dibina terus. Bagaimana caranya mendorong peserta didik supaya tekun dan tetap melaksanakan usaha-usaha untuk meningkatkan keberanian dan ketekunannya sendiri? Dalam hal ini, peserta didik harus melaksanakan sendiri, dan orang tua/pendidik berada bersama-sama mereka, serta mengawasi dari belakang (Tut Wuri Handayani), dengan membimbing dan mengarahkan serta memberikan contoh-contoh yang positif.
    8. Honesty (kejujuran). Supaya bisa menjadi orang jujur, berbuatlah secara nyata, secara murni, dan bisa dipercaya. Kejujuran ini bisa diwujudkan atau diekspresikan dalam bentuk rasa hormat kepada diri sendiri dan pada orang lain. Hal ini perlu dilatih dan dipelajari sepanjang hidup supaya menjadi orang yang memiliki integritas dan kemauan yang mulia.
    9. Loyalty (loyalitas). Faktor kejujuran harus diiringi dengan prinsip loyalitas, sehingga persahabatan dan hubungan-hubungan antar manusia bisa diterima dengan baik. Loyalitas atau kesetiaan berkaitan dengan hubungan kekeluargaan, persahabatan, afiliasi keagamaan, kehidupan profesional dan lain-lain, yang kesemuanya itu dapat berubah atau berkembang.
    1. Faith (keyakinan/kepercayaan). Hal terakhir yang sangat penting bagi kehidupan manusia adalah keyakinan atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa/Ida Sang Hyang Widi Wasa. Hal ini merupakan dimensi yang sangat penting yang merupakan sumber moral manusia.

D. Metode Pendidikan Karakter dalam Pendidikan Teknohumanistik

Menurut Sommers (1993) dalam artikelnya yang berjudul: “Teaching the Virtue, a Blueprint for Moral Education”, bahwa salah satu metode penting dalam pendidikan moral adalah metode “values clarification” (klarifikasi nilai). Dengan menggunakan metode ini, pendidik/guru tidak secara langsung menyampaikan kepada peserta didik tentang “benar” atau “salah”, tetapi sebaliknya peserta didik harus diberikan kesempatan untuk menyatakan nilai-nilai dengan caranya sendiri. Lebih lanjut disarankan, bahwa (1) sekolah harus memiliki aturan-aturan tingkah laku yang menekankan pada kesopanan, kebaikan-kebaikan, disiplin diri, dan kejujuran; (2) pendidik/guru-guru jangan mengindoktrinasi peserta didik, jika mereka minta dengan tegas atas dasar kesopanan, kejujuran, dan keterbukaan; (3) peserta didik harus diberikan ceritra-ceritra yang menekankan pada prinsip-prinsip kebaikan, dan para peserta didik hendaknya gemar membaca, mempelajarai dan mendiskusikan tentang isu-isu moral. Dalam kaitan ini, para pendidik harus membantu peserta didik agar mengenal nilai-nilai moral yang diwariskan melalui literatur, internet, agama, dan filsafat. Hal ini penting karena hal-hal yang berkaitan dengan kebaikan dapat dipikirkan dan dipelajari melalui pendidikan moral.

Selanjutnya, Alfie Kohn (1991) dalam artikelnya yang berjudul: “The Role of School”, antara lain menyebutkan bahwa untuk membantu peserta didik supaya bisa tumbuh menjadi dewasa, kepada mereka harus ditanamkan nilai-nilai disiplin sejak dini melalui proses interaksi antar peserta didik, dengan guru-guru, dan orang tua. Melalui interaksi dengan teman sejawat, dengan guru-guru, orang tua, pembuat kebijakan dan lain-lain, akan dapat ditumbuhkan nilai-nilai prososial. Dalam hubungan ini dapat digunakan diantara empat pendekatan untuk mengubah perilaku dan sikap, sebagai berikut: (1) funishing (menghukum), (2) bribing (menyogok/menyuap), (3) encouraging commitment to values (mendorong komitmen terhadap nilai).

Penggunaan hukuman dengan kekerasan merupakan cara yang tidak efektif dan bahkan menyebabkan situasi menjadi lebih buruk, karena hukuman akan menimbulkan perlawanan dan kemarahan. Oleh karena itu, penggunaan hukuman ini harus benar-benar selektif dan tidak berupa hukuman fisik. Seperti yang diungkapkan oleh Gordon (1989), bahwa selama usaha kita untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan nilai-nilai yang baik, maka penggunaan hukuman kekerasan tidak diperkenankan. Selanjutnya, pendekatan dengan ‘bribing’ atau menyogok/menyuap, yang merupakan
reward (hadiah), memang belum diketahui secara pasti efektivitasnya, mana lebih efektif antara hadiah dn hukuman. Hadiah ini hanya bersifat merangsang motivasi ekstrinsik, pada hal yang lebih penting adalah membangkitkan motivasi intrinsik.

Setelah mempertimbangkan keterbatasan dari hukuman dan hadiah, kini sampailah kepada pendekatan yang dipandang lebih baik, yakni pendekatan yang mendorong komitmen terhadap nilai-nilai. Tujuan guru/pendidik tidak hanya untuk membangkitkan perilaku yang baik, tetapi juga untuk membantu peserta didik untuk melihat diri mereka sendiri sebagai orang yang baik dan bertanggung jawab serta memiliki disiplin yang kuat. Bagaimana caranya untuk meningkatkan komitmen kelompok terhadap nilai-nilai? Dalam kaitan ini, bukan saja bertujuan untuk menginternalisasi nilai-nilai yang baik di dalam masyarakat, tetapi juga untuk menginternalisasi nilai-nilai yang lainnya. Dengan demikian, sesungguhnya para pendidik menginginkan supaya dapat mengantarkan peserta didik menjadi orang yang baik, dapat menciptakan norma-norma secara bertanggung jawab terhadap apa yang mereka yakini, katakan, kerjakan, dan bagaimana caranya berhubungan dengan para peserta didik, dan bagaimana caranya mendorong peserta didik untuk saling berhubungan antara yang satu dengan yang lain.

Untuk memupuk “selflessness’ atau “mutualy” (rasa kebersamaan), yakni suatu kebutuhan untuk mengadakan pertalian interpersonal, sangat diperlukan adanya keterlibatan orang tua secara persuasif (Etzioni, 1983). Rasa kebersamaan akan terwujud, jika setiap orang memperhatikan perilakunya dalam konteks kelompok budaya yang lebih luas, dimana ia berfungsi. Hal yang sangat penting bagi pendidik adalah bahwa hal itu akan muncul jika dipelajari sejak masa kanak-kanak sebagai akibat dari proses interaksinya berkali-kali dengan orang tua mereka. Dalam hubungan ini, perlakuan orang tua tidak boleh keras, tetapi harus sebagai model yang tidak agresif. Tujuan pendidik dan orang tua adalah mengantarkan anak-anak supaya menjadi disiplin. Oleh karena itu, orang tua harus menjadi model yang bisa ditiru, dan masyarakat juga harus memberikan dorongan bagi munculnya perilaku disiplin pada anak-anak. Dalam kaitan dengan pembentukan disiplin diri, para pendidik/guru dapat melakukan hal-hal berikut: (1) para guru harus menggunakan teknik-teknik disiplin yang dapat mendorong tanggung jawab personal, (2) para guru sedapat mungkin harus menghindari penggunaan hukuman, (3) para guru harus menyadari kualitas perhatian terhadap peserta didik dan bekerja untuk menciptakan hubungan-hubungan yang baik dengan peserta didik, dan (4) para guru dan para administrator harus menciptakan hubungan yang kuat dengan orang tua peserta didik (Lisley, 1996:677). Dengan demikian jelaslah bahwa dalam pembinaan disiplin, tanggung jawab, dan rasa kebersamaan pada peserta didik, maka orang tua/pendidik harus menjadi model yang baik, dan masyarakat bertanggung jawab untuk mendorong berkembangnya perilaku disiplin. Orang tua harus menekankan pada konsekuensi tindakannya sehingga harus menghindari penggunaan hukuman dengan kekerasan dan pendidikan pada anak-anak harus didasarkan pada tanggung jawab dan cinta kasih bersama.

Demikianlah secara garis besar prinsip-prinsip umum dalam pelaksanaan pendidikan karakter yang menjiwai pendidikan teknohumanistik yang perlu dipahami, dihayati, dan dilaksanakan oleh pendidik/guru. Semua komponen dan aspek yang mendukung pembentukan karakter yang baik, perlu dimiliki oleh guru yang profesional, sebelum mengajarkan atau memberikan contoh tentang pikiran, perasaan, dan perilaku moral yang baik kepada peserta didik.

Menyimak berbagai uraian di atas, satu hal yang sangat penting direnungkan dan diresapi oleh penyelenggara pendidikan, adalah kearifan dalam menyikapi berbagai perubahan dan inovasi tersebut, sehingga tidak timbul kesan kaget, bahkan asing terhadap perubahan-perubahan itu, sebab it’s not a complete change, but a modification.

DAFTAR PUSTAKA

Aronfreed, J.& Reber, A. (1965). Internalized Behavioral Supression and The Timing of Social Punishment. Journal of Personality and Social Psychology, 1, 3-16.

Bennett, William J. (Ed., 1997). The Book of Virtues for Young People: A Treasury of Great Moral Stories. New York: Simon & Schuster.

Buchori, M., (2000). Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Gramedia.

Brown, A.L. (1975). The Development of Memory: Knowing, Knowing about Knowing, and Knowing How to Know. In: H.W. Reese (Ed.). Advances in Child Development and Behavior. (Vol.10). New York: Academic Press.

Benninga, J. (1991). Moral Character and Civic Education in the Elementary School. Nership: Teachers College Press.

Delors, J. (1996). Learning: The Treasure Within. France: UNESCO Publishing

Delors, J. et al. (1996). Learning the Treasure Within, Education for the 21th

Century.New York : UNESCO.

Deming, Edwards W. American Association of School Administrators Conference, Washington, DC, January 1992. Seperti dikutip oleh Lee Jenkins. Improving Student Learning. Applying Deming Quality Principles in Education. Milwaukee,WI: ASOQ Press

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. 2003.

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta. 2005.

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Jakarta. 2005.

Dienstbier, R.A. 1984). The Role of Emotion in Moral Socializaion. In: Izard, J. Kagan & R.B. Zajonc (Ed.). Emotions, Cognitions, and Behavior. New York: Cambridge University Press.

Etzioni, Amitai. (1997).Children Learn What They Live. The Washington Post National Weekly. Edition January 13, 1997.

Gordon, Thomas. (1989). Teaching Children Self-Disciplin. New York:Times Books.

Heath, D. (1994). School of Hope: Developing Mind and Character in Today’s Youth. San Fransisco: Jossey-Bass.

Henry, R. (1983). The Psychodinamic: Foundation of Morality. New ork: Basel.

Huffman, H. (1994). Developing a Character Education Program. Alexandria: VA, Character Education Part.

Jalal, F. & Supriadi, D., (2001). Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicipta Karya Nusa.

Kieman, Louise. (1997). Teaching More than Book Smart. Chicago Tribune Magazine, Pebruay 18, 1997, p.5.

Koyan, I.W. (2000). Pendidikan Moral: Pendekatan Lintas Budaya. Jakarta: Proyek PGSM, Ditjen Dikti.

Koyan, I.W. (2004). Pendidikan Karakter: Suatu Pendekatan Komprehensip.


Makalah.

Kohn, Alfie. (1991). Caring
Kids: The Role of The School. California: Phi Delta

Kappa.

Kilpatrick, W. (1992). Why Johnny Can’t Tell Right from Wrong. New York: Simon and Schuster.

Lickona, T. (1996). Eleven Principles of Effective Character Education. Journal of Moral Education.1, 1996, pp.93-94.

Loehrer, Michael C. (1998). How to Change a Rottern Attitude; A Manual for Building Virtue and Character in Middle and High School Students. California: Corwin Press. A Sage Publications Company.

Lasley, T.J. (1996). Teaching Selflessness in A Selfish Society. Ohio State University: Phi Delta Kappa.

Mosher, R.L. (1980). Moral Education: A First Generation of Research and Development. New York: Praeger Publishers.

Rest, J.R. (1994). Moral Development in Professions: Psychology and Applied Ethics. New Jersey: Lawrense Erlbaum Associates Publishers.

Rosen, Louis. (1997). School Discipline: Best Practice for Administrators. California: Corwin Press. A Sage Publications Company.

Rusnack, Timothy, (Ed). (1998). An Integrated Approach to Character Education. California: Corwin Press, Inc. A Sage Publications Company..

Sichel, B.A. (1988). Moral Education: Character, Community, and Ideals. Philadelphia: Temple University Press.

Semiawan, C.,(1997). Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Grasindo.

Sommers, Ch. H. (1993). Teaching Te Virtues: A Blueprint for Moral Education. Chicago Tribune Magazine, September 12, 1993.

Syarief, I. & Murtadlo, D., (2002). Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru. 70 Tahun H.A.R.Tilaar. Jakarta : Grasindo.

Download Tulisan

SUPERVISI AKADEMIK DALAM KAITANNYA DENGAN PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

SUPERVISI AKADEMIK DALAM KAITANNYA

DENGAN PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN

(Makalah disampaikan pada Diklat Kepengawasan )

Para Guru Agama Kodya Denpasar

19 April 2008

———————————————————————

Oleh : Nyoman Dantes

I.Pendahuluan

Dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi pendidikan tersebut adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip untuk dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan.

Salah satu prinsip tersebut adalah bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Implikasi dari prinsip ini adalah pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran.

Paradigma pengajaran yang telah berlangsung sejak lama lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransfer pengetahuan kepada peserta didik. Paradigma tersebut bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk menyelenggarakan proses pendidikan yang didasarkan paradigma baru tersebut, diperlukan acuan dasar bagi setiap satuan pendidikan yang meliputi serangkaian kriteria (kriteria minimal) sebagai pedoman, yang saat ini dikenal dengan delapan standar mutu nasional pendidikan.

Dalam kaitan dengan hal di atas, tujuan standar mutu pendidikan ditetapkan adalah untuk menjamin mutu proses transpormasi, mutu instrumental dan mutu kelulusan, yang meliputi : (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan. (Bab IX UUSPN). Bila digambarkan dalam suatu diagram dapat diwujudkan sbb:


Gambar 1: Keterkaitan antara Aspek-Aspek Standar Mutu

II. Kajian Konsepsional mengenai Penjaminan mutu dalam kaitannya dengan

Supervisi Akademik

1.Hakekat Penjaminan Mutu

Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, sejak tahun 1920an telah mengumandangkan pemikiran bahwa pendidikan pada dasarnya adalah pemanusiakan manusia. Untuk itu suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya, tidak ada pendidikan tanpa dasar cinta kasih. Dengan demikian pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, serta menjadi anggota masyarakat yang berguna. Manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiannya dan mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Metode pendidikan yang paling tepat adalah sistem among yaitu metode pembelajaran yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Sementara itu prinsip penyelenggaraan pendidikan perlu didasarkan pada “Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani“.

Tuntutan untuk melakukan pembaharuan yang sesuai dengan harkat peserta didik sebagai pribadi, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah melahirkan suatu cabang disiplin keilmuan yang relatif baru dan semula dikenal sebagai didaktik & metodik menjadi teknologi pembelajaran. Teknologi pembelajaran didefinisikan sebagai teori dan praktek dalam perancangan, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi proses dan sumber untuk keperluan belajar. Dalam bidang teknologi pembelajaran telah dikembangkan sejumlah teori dan praktek pembelajaran yang bersifat preskriptif, misalnya teori pembelajaran elaborasi, pembelajaran pengorganisasian awal, algoheuristik, pembelajaran inkuiri, dan pemaparan komponen.

Mengingat bahwa pendidikan itu merupakan suatu sistem dengan komponen-komponen yang saling berkaitan, maka keseluruhan sistem harus sesuai dengan ketentuan yang diharapkan atau standar. Untuk itu masing-masing komponen dalam sistem harus pula sesuai dengan standar yang ditentukan bersama. Hal ini mesti dilakukan dalam kaitan terjadinya penjaminan mutu pendidikan itu sendiri, karena; penjaminan mutu adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga konsumen, produsen, dan pihak lain yang berkepentingan memperoleh kepuasan. Bila dikaitkan dengan pengelolaan pendidikan, penjaminan mutu yang dimaksud adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan pendidikan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga stakeholders memperoleh kepuasan. Untuk itu, dalam PP 19/2005 delapan standar tersebut di atas merupakan aspek-aspek yang harus memenuhi standar mutu dalam kaitan dengan penjaminan mutu suatu lembaga.

Sehubungan dengan kerangka konsep di atas, pada awal perkembangan pendidikan, masyarakatlah yang lebih berperan dalam menentukan standar mutu tersebut – masyarakat menentukan apakah lulusan pendidikannya bermutu dengan memberikan tugas dan penghargaan kepada mereka. Dalam perkembangan selanjutnya dengan meluasnya penyelenggaraan pendidikan formal pemerintah lebih berperan dalam menentukan standar mutu tersebut. Dalam kaitannya dengan itu, konsep penjaminan mutu dapat ditinjau dari dua aspek yaitu : (1) aspek deduktif ; dimana lembaga pendidikan/sekolah mampu menetapkan dan mewujudkan visinya melalui pelaksanaan misinya, dan (2) aspek induktif; dimana lembaga pendidikan/sekolah, mampu memenuhi kebutuhan stakeholders (kebutuhan kemasyarakat/societal needs, kebutuhan dunia kerja/industrial needs, kebutuhan profesional/profesional needs). Konsep di atas dapat divisualisasi dalam gambar berikut.


III. Dasar Formal Supervisi Akademik

Dalam konstelasi antar delapan standar yang digambarkan pada pendahuluan, terlihat bahwa standar proses adalah merupakan suatu variabel yang sangat dipedulikan untuk dapat menghasilkan output yang memiliki kualitas kompetitif. Kualitas output tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitas instrumental dan lingkungan. Maka dari itu sangat diperlukan terjadinya suatu proses pendidikan/pembelajaran yang optimal. Untuk menterjadikan proses pembelajaran tersebut optimal diperlukan berbagai usaha untuk perbaikan dan peningkatan, seperti penyiapan sarana, peningkatan kualitas pengelolaan, dan lain sebagainya, termasuk pelaksanaan supervisi terhadap pengelolaan proses pembelajaran.

Dalam PP 19/2005 pasal 55 disebutkan bahwa: pengawasan satuan pendidikan meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi pelaporan, dan tindak lanjut hasil pengawasan. Sedangkan pasal 57 menyebutkan bahwa : supervisi meliputi supervisi manajerial dan akademik dilakukan secara teratur dan berkesinambungan oleh pengawas atau penilik satuan pendidikan dan kepala satuan pendidikan. Selanjutnya dalam penjelasan pasal 57 dinyatakan yang dimaksud supervisi akademik meliputi aspek-aspek pelaksanaan proses pembelajaran.

Dengan demikian jelas bahwa supervisi akademik bisa dilakukan oleh pengawas/penilik dan oleh kepala satuan pendidikan, dengan tujuan untuk perbaikan proses pembelajaran demi terjadinya optimalisasi peningkatan kualitas pembelajaran, yang pada gilirannya berdampak pada kualitas output. Bila dihubungkan dengan sisi akademik, supervisi seperti ini disebut juga dengan Supervisi Klinis (agar dirujuk tersendiri), yang telah terbukti berdampak signifikan pada kualitas pengelola proses pembelajaran.

IV. Pengawasan Proses Pembelajaran

Pengawasan proses pembelajaran adalah salah satu bentuk penjaminan mutu yang dilakukan secara internal (sekolah) untuk memberikan layanan bagi terjadinya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Sebagai bentuk pengawasan eksternal oleh pengawas/penilik, supervisi akademik juga dapat difungsikan sebagai pengawasan internal, dan dalam kaitan dengan itu, pengawasan proses pembelajaran menjadi tanggungjawab Kepala Sekolah selaku supervisor pembelajaran, guru bersangkutan sebagai proses evaluasi dan refleksi diri, serta oleh sejawat (guru) sebagai bentuk kepedulian terhadap mutu pembelajaran bidang sejenis/serumpun. Pengawasan proses pembelajaran dilakukan pada aspek perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian proses pembelajaran, yang dilaksanakan pada awal, tengah, dan akhir semester.

Pengawasan proses pembelajaran dalam pelaksanaanya mencakup kegiatan pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan langkah tindak lanjut. Pemantauan dilakukan dalam kerangka pengumpulan data, supervisi dilakukan dalam upaya pembinaan profesional guru, evaluasi dilakukan untuk mengidentifikasi sejauhmana proses pembelajaran telah dilaksanakan berdasarkan rencana, pelaporan dilakukan sebagai bentuk penyampaian hasil evaluasi, dan tindak lanjut adalah program yang perlu dikembangkan sebagai implikasi dari hasil evaluasi. Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengawasan/supervisi antara lain adalah, prinsip:

  1. Tanggung jawab dan kewenangan

    Pengawasan pembelajaran dilaksanakan sebagai bagian dari tanggung jawab dan kewenangan Pengawas-Penilik/Kepala Sekolah selaku supervisor pembelajaran, guru bersangkutan, dan sejawat guru sesuai dengan tanggung jawab dan kewenanangan masing-masing.

  2. Berkelanjutan

    Pengawasan pembelajaran dilaksanakan secara periodik dan terprogram yang harus diikuti dengan kegiatan tindak lanjut.

  3. Mendidik

    Pengawasan pembelajaran dilaksanakan dalam fungsi pendidikan, ditujukan untuk perbaikan mutu pembelajaran dan terfokus pada aktivitas pembelajaran.

  4. Pengembangan profesi

    Pengawasan pembelajaran dilaksanakan dalam fungsi pengembangan profesi guru selaku agen pembelajaran.

  5. Kerjasama kemitraan

    Pengawasan pembelajaran dilakukan dalam bentuk kerjasama kemitraan dengan mengedepankan proses sentuhan kemanusiaan (high touch) sehingga membangkitkan semangat kerja optimal bagi guru.

  6. Demokrasi

    Pengawaan pembelajaran dilaksanakan dalam suasana keterbukaan dan kebersamaan.

Agar tujuan pengawasan mencapai sasaran, petugas yang melakukan pengawasan terhadap proses pembelajaran adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut.

  1. Memiliki pemahaman dan berpengalaman dalam melaksanakan proses pembelajaran yang sesuai dengan standar proses pembelajaran dalam rumpun matapelajaran tertentu.
  2. Memiliki pemahaman dan kemampuan dalam melaksanakan seluruh rangkaian kegiatan pengawasan proses pembelajaran.
  3. Memiliki kemampuan memotivasi diri dan orang lain untuk mencapai standar proses pembelajaran yang ditetapkan.
  4. Mampu menunjukkan keteladanan dalam sikap dan perilaku yang dapat membantu guru untuk mencapai kinerja ke arah standar proses pembelajaran yang ditetapkan.
  5. Mampu menunjukkan kinerja pembelajaran yang mengaplikasikan prinsip-prinsip sebagaimana ditetapkan dalam standar proses
    pembelajaran.

Pengawasan proses pembelajaran sebagai bentuk penjaminan mutu pembelajaran, dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut.

  1. Pemantauan
    1. Kegiatan pembelajaran yang perlu dipantau adalah perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran sesuai dengan ketentuan minimal atau standar yang ditetapkan untuk masing-masing kegiatan pembelajaran dimaksudkan.
    2. Kegiatan pemantauan diselenggarakan dengan menggunakan teknik pengamatan, pencatatan, perekaman, wawancara, diskusi kelompok terfokus, kuesioner dan teknik pengumpulan data lain yang relevan.

  1. Supervisi
    1. Kegiatan supervisi pembelajaran meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, dan penilaian hasil pembelajaran sesuai dengan ketentuan minimal atau standar yang ditetapkan untuk masing-masing kegiatan pembelajaran.
    2. Supervisi pembelajaran diselenggarakan dengan menggunakan teknik pemberian contoh, saran, nasehat, dan diskusi secara perorangan, kelompok, atau klasikal kepada guru melalui media lisan, tulisan, dan atau audio visual.

  1. Evaluasi
    1. Evaluasi pembelajaran untuk menentukan kualitas pembelajaran secara keseluruhan, mencakup kegiatan (1) perencanaan proses pembelajaran, (2) pelaksanaan proses pembelajaran, dan (3) penilaian hasil pembelajaran sesuai dengan ketentuan minimal atau standar yang ditetapkan untuk masing-masing kegiatan pembelajaran.
    2. Evaluasi proses pembelajaran diselenggarakan dengan cara:
      1. membandingkan data yang diperoleh berkaitan dengan proses pembelajaran dengan ketentuan minimal atau standar yang ditetapkan untuk masing-masing kegiatan pembelajaran,
      2. mengidentifikasi kekuatan kinerja yang dapat ditunjukkan oleh guru dalam proses pembelajaran,
      3. mengidentifikasi kondisi, kemampuan, serta suasana yang belum terlaksana oleh guru dalam proses pembelajaran.
    3. Evaluasi proses pembelajaran dapat ditujukan kepada perorangan dan atau kelompok dengan memfokuskan pada keseluruhan kinerja guru dalam proses pembelajaran.

  1. Pelaporan

    Hasil kegiatan pemantauan, supervisi, dan evaluasi terhadap masing-masing kegiatan proses pembelajaran dilaporkan oleh pelaksana pengawasan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk ditindaklanjuti.

  2. Tindak lanjut
    1. Tindak lanjut dilakukan sebagai implikasi dari hasil pemantauan, supervisi, dan evaluasi baik yang berkenaan dengan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, maupun penilaian hasil pembelajaran.
    2. Bentuk program tindak lanjut yang dapat dilakukan oleh pihak terkait berkaitan dengan hasil laporan pengawasan antara lain adalah:
      1. pemberian penguatan dan penghargaan terhadap guru yang telah memenuhi standar,
      2. pemberian teguran yang bersifat mendidik terhadap guru yang belum memenuhi standar,
      3. pemberian latihan atau kesempatan untuk mengikuti pelatihan/ penataran lebih lanjut,

V. Tinjauan mengenai Standar Proses Pembelajaran

Dalam Bab I Ketentuan Umum SNP yang dimaksudkan dengan standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Tujuan standar nasional pendidikan adalah untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.

Dalam Bab IV Pasal 19 ayat (1) SNP ditentukan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi (I2M3) peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Dalam proses pembelajaran ditentukan pula agar pendidik memberikan keteladanan.

Standar yang langsung berkaitan dengan proses adalah standar kompetensi pendidik (guru) sebagai agen pembelajaran yang antara lain meliputi kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik ini merupakan kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Mutu pembelajaran dapat dikatakan gambaran mengenai baik-buruknya hasil yang dicapai oleh peserta didik dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan. Proses pembelajaran dianggap bermutu bila berhasil mengubah sikap, perilaku dan keterampilan peserta didik terkait dengan tujuan pendidikannya. Mutu pendidikan sebagai sistem selanjutnya tergantung pada mutu komponen yang membentuk sistem, serta proses pembelajaran yang berlangsung hingga membuahkan hasil.

Secara konseptual, indikator mutu poses pembelajaran diartikan secara beragam, tergantung pada situasi dan lingkungan. Penelitian yang dilaksanakan oleh Conect di Amerika Serikat, yang hasilnya divalidasikan oleh the Center for Reseach on Educational Policy dari University of Memphis pada tahun 2005, menunjukkan adanya sejumlah indikator kualitas pembelajaran (instructional quality indicators), yang dikelompokkan ke dalam 10 kategori, yaitu; (1) lingkungan fisik yang kaya dan merangsang, (2) iklim kelas yang kondusif untuk belajar, (3) harapan yang jelas dan tinggi para peserta didik, (4) pembelajaran yang koheren dan berfokus, (5) wacana ilmiah yang merangsang pikiran, (6) belajar otentik, (7) asesmen diagnostik belajar yang teratur, (8) membaca dan menulis dan berkarya sebagai kegiatan regular, (9) pemikiran matematis, dan (10) penggunaan teknologi secara efektif.

Sedangkan, Education Review Office dari New Zealand menggambarkan serangkaian jalinan indikator proses yang terdiri atas; (1) tatakelola dan manajemen yang efektif; (2) kepemimpinan profesional, dan (3) kualitas pengajaran yang tinggi. Ketiga indikator tersebut melibatkan keluarga dan masyarakat, dan merupakan jaminan untuk memperoleh indikator lulusan yang dapat diukur. Kesemuanya itu perlu berlangsung dalam kondisi lembaga pendidikan yang positif dan aman.

Berdasarkan berbagai pengkajian, konsep mutu pembelajaran dapat disimpulkan mengandung lima rujukan, yaitu kesesuaian, daya tarik, efektivitas, efisiensi dan produktivitas pembelajaran. Rujukan kesesuaian meliputi indikator sebagai berikut: sepadan dengan karakteristik peserta didik, serasi dengan aspirasi masyarakat maupun perorangan, cocok dengan kebutuhan masyarakat, sesuai dengan kondisi lingkungan, selaras dengan tuntutan zaman, dan sesuai dengan teori, prinsip, dan/atau nilai baru dalam pendidikan.

Pembelajaran yang bermutu juga harus mempunyai daya tarik yang kuat; indikatornya meliputi diantaranya: kesempatan belajar yang tersebar dan karena itu mudah dicapai dan diikuti, isi pendidikan yang mudah dicerna karena telah diolah sedemikian rupa, kesempatan yang tersedia yang dapat diperoleh siapa saja pada setiap saat diperlukan, pesan yang diberikan pada saat dan peristiwa yang tepat, keterandalan yang tinggi, terutama karena kinerja lembaga dan lulusannya yang menonjol, keanekaragaman sumber, baik yang dengan sengaja dikembangkan maupun yang sudah tersedia dan dapat dipilih serta dimanfaatkan untuk kepentingan belajar, dan suasana yang akrab, hangat, dan merangsang.

Efektivitas pembelajaran seringkali diukur dengan tercapainya tujuan, atau dapat pula diartikan sebagai ketepatan dalam mengelola suatu situasi, atau “doing the right things”. Pengertian ini mengandung ciri: bersistem (sistematik), yaitu dilakukan secara teratur atau berurutan melalui tahap perencanaan, pengembangan, pelaksanaan, penilaian, dan penyempurnaan, sensitif terhadap kebutuhan akan tugas belajar dan kebutuhan pebelajar, kejelasan akan tujuan dan karena itu dapat dihimpun usaha untuk mencapainya, bertolak dari kemampuan atau kekuatan mereka yang bersangkutan (peserta didik, pendidik, masyarakat dan pemerintah).

Efisiensi pembelajaran dapat diartikan sebagai kesepadanan antara waktu, biaya, dan tenaga yang digunakan dengan hasil yang diperoleh atau dapat dikatakan sebagai mengerjakan sesuatu dengan benar. Ciri yang terkandung meliputi: merancang kegiatan pembelajaran berdasarkan model yang mengacu pada kepentingan, kebutuhan dan kondisi peserta didik, pengorganisasian kegiatan belajar dan pembelajaran yang rapi, misalnya lingkungan atau latar yang diperhatikan, pemanfaatan berbagai sumber daya dengan pembagian tugas seimbang, dan pengembangan serta pemanfaatan aneka sumber belajar sesuai keperluan, pemanfaatan sumber belajar bersama, usaha inovatif yang merupakan penghematan, seperti misalnya pembelajaran jarak-jauh, pembelajaran terbuka tanpa harus membangun gedung dan mengangkat tenaga pendidik yang digaji secara tetap, mempertimbangkan berbagai faktor internal maupun eksternal (sistemik) untuk menyusun alternatif tindakan dan kemudian memilih tindakan yang paling menguntungkan.

Produktivitas pada dasarnya adalah keadaan atau proses yang memungkinkan diperolehnya hasil yang lebih baik dan lebih banyak. Produktivitas pembelajaran dapat mengandung arti: perubahan proses pembelajaran (dari menghafal dan mengingat ke menganalisis dan mencipta), penambahan masukan dalam proses pembelajaran (dengan menggunakan berbagai macam sumber balajar), peningkatan intensitas interaksi peserta didik dengan sumber belajar, atau gabungan ketiganya dalam kegiatan belajar-pembelajaran sehingga menghasilkan mutu yang lebih baik, keikutsertaan dalam pendidikan yang lebih luas, lulusan lebih banyak, lulusan yang lebih dihargai oleh masyarakat, dan berkurangnya angka putus sekolah.

Berbagai masukan antara lain kondisi peserta didik
(kesehatan, kebugaran dll.), kualitas pendidik, kurikulum, terbatasnya anggaran, terbatasnya sarana dsb. merupakan faktor yang terkait erat dengan mutu. Kesemuanya itu memerlukan dukungan legalitas sebagai pedoman standar proses pembelajaran yang tidak sesuai dengan harapan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya mutu pendidikan.

Bila kita melihat kondisi pendidikan kita di lapangan, hingga saat ini proses pembelajaran belum dapat berlangsung secara efektif. Selama ini masih banyak digunakan paradigma pengajaran yang lebih menitikberatkan peran pendidik (guru) dan belum banyak memberikan peran yang lebih besar kepada peserta didik. Kurikulum yang banyak digunakan secara nasional maupun institusi, masih bersifat sarat isi, dan karena itu menyiratkan agar peserta didik menghafalkan isi pelajaran. Hal ini berarti bahwa pembelajaran hanya mampu mencapai tujuan belajar tahap awal atau rendah, dan menghalangi terbentuknya kemampuan untuk memecahkan masalah dan mencipta. Penyajian pelajaran oleh guru kebanyakan bersifat verbal dan karena itu lebih banyak merangsang belahan otak kiri, sementara rangsangan terhadap belahan otak kanan dengan pendekatan visual, holistik dan kreatif kurang mendapat perhatian. Kegiatan belajar dan pembelajaran lebih banyak berfokus pada penguasaan atas isi buku teks. Semua hal ini telah menyebabkan belajar yang membosankan dan mematikan kreativitas peserta didik.

Pembelajaran seharusnya diselenggarakan secara interaktif, inspiratif dalam suasana yang menyenangkan, menggairahkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk semua itu maka diperlukan adanya standar proses pembelajaran.

Berdasarkan PP No. 19 tahun 2005 standar proses pembelajaran meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk bisa terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.

Standar perencanaan proses pembelajaran didasarkan pada prinsip sistematis dan sistemik. Sistematik berarti secara runtut dan berkesinambungan, dan sistemik berarti mempertimbangan segala komponen yang berkaitan. Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. Perencanaan itu perlu disusun secara sistemik dan sistematis. Sistemik karena perlu mempertimbangkan berbagai faktor yang berkaitan, yaitu tujuan yang perlu meliputi semua aspek perkembangan peserta didik (kognitif, afektif, dan psikomotor), karakteristik peserta didik, karakteristik materi ajar yang meliputi fakta, konsep, prosedur dan meta-kognitif, kondisi lingkungan serta hal-hal lain yang menghambat atau menunjang terlaksananya pembelajaran. Sistematis karena perlu disusun secara runtut, terarah dan terukur, mulai jenjang kemampuan rendah hingga tinggi.

Standar pelaksanaan proses pembelajaran didasarkan pada prinsip terjadinya interaksi secara optimal antara peserta didik dengan guru, antara peserta didik sendiri, serta peserta didik dengan aneka sumber belajar termasuk lingkungan. Untuk itu perlu diperhatikan jumlah maksimal peserta didik dalam setiap kelas agar dapat berlangsung interaksi yang efektif. Di samping itu perlu diperhatikan beban pembelajaran maksimal per pendidik (guru) dalam satuan pendidikan dan ketersediaan buku teks pelajaran bagi setiap peserta didik.
Namun bila kondisi riil belum memungkinkan perlu ditentukan rasio maksimal yang dapat digunakan bersama oleh peserta didik. Mengingat bahwa proses pembelajaran bukan hanya sekedar menyampaikan ajaran, melainkan juga pembentukan pribadi peserta didik yang memerlukan perhatian penuh dari pendidik, maka diperlukan ketentuan tentang rasio maksimal jumlah peserta didik setiap pendidik. Hal ini akan menjamin intensitas interaksi yang tinggi. Pengembangan daya nalar, etika, dan estetika peserta didik dapat dilakukan antara lain melalui budaya membaca dan menulis dalam proses pembelajaran. Selain itu budaya membaca dan menulis juga dapat menumbuhkan masyarakat yang gemar membaca, dan mampu mengekpresikan pikiran dalam bentuk tulisan. Pelaksanan proses pembelajaran perlu mempertimbangkan kemampuan pengelolaan kegiatan belajar.

Standar penilaian hasil pembelajaran ditentukan dengan menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh peserta didik. Teknik penilaian tersebut dapat berupa tes tertulis, observasi, tes praktek, dan penugasan perseorangan atau kelompok. Penilaian secara individual melalui observasi dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam satu semester. Untuk memantau proses dan kemajuan belajar serta memperbaiki hasil belajar peserta didik perlu digunakan teknik penilaian portofolio/hasil karya, artefak, kolokium, esai, projek, evaluasi diri, kinerja dsbnya, yang bermuara pada asesmen otentik. Secara umum penilaian dilakukan atas segala aspek perkembangan peserta didik yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan.

Standar pengawasan proses pembelajaran merupakan upaya penjaminan mutu pembelajaran bagi terwujudnya proses pembelajaran yang efektif dan efisien kearah tercapainya kompetensi yang ditetapkan. Pengawasan perlu didasarkan pada prinsip-prinsip tanggung jawab dan kewenangan, periodik, demokratis, terbuka, dan keberlanjutan. Pengawasan meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan pengambilan langkah tindak lanjut yang diperlukan. Upaya pengawasan pada hakikatnya merupakan tanggung jawab bersama semua pihak yang terkait, sesuai dengan ketentuan tentang hak, kewajiban warga negara, orangtua, masyarakat, dan pemerintah.

VI. Implementasinya dalam Standar Proses

Berdasarkan PP No. 19 tahun 2005 standar proses pembelajaran meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk bisa terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Dalam kaitan dengan diklat ini hanya dibahas tiga butir pertama.

1. Perencanaan Proses Pembelajaran

a.Pengertian

Perencanaan proses pembelajaran adalah proses perancangan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik. Berdasarkan PP No. 19 tahun 2005 pasal 20, standar perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang sekurang-kurangnya memuat tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pembelajaran, sumber belajar dan penilaian hasil belajar.

Perencanaan proses pembelajaran disusun untuk memfasilitasi terjadinya proses pembelajaran yang (I2M3) yaitu; interaktif, inspiratif, menantang, menyenangkan, dan memotivasi peserta didik dalam mencapai kompetensi. Dalam hal ini, perencanaan proses pembelajaran merupakan pedoman dalam melaksanakan, menilai, dan mengawasi proses pembelajaran.

b. Silabus
Matapelajaran

Silabus adalah rencana pembelajaran yang berisikan standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), materi pokok pembelajaran, kegiatan pembelajaran, tujuan pembelajaran/indikator pencapaian kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Silabus merupakan produk pengembangan/penjabaran kurikulum yang bersifat makro dan menyeluruh untuk mencapai SK dalam satu matapelajaran.

Silabus sebagai produk pengembangan kurikulum, secara rinci mencakup komponen identitas matapelajaran, SK, KD, indikator pencapaian, dan materi pokok, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar (bahan rujukan).

Prinsip-prinsip penyusunan silabus adalah sebagai berikut.

  1. Ilmiah

    Materi perlajaran harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan untuk mendukung penguasaan kompetensi

(b) Sistematis dan sistemik

Pengembangan silabus harus dilaksanakan secara runtut, serta berorientasi pada pencapaian kompetensi. Antar komponen silabus harus saling berhubungan secara fungsional, sinergis, dan terpadu dengan memperhatikan keseluruhan komponen pembelajaran sebagai suatu sistem yang utuh.

  1. Relevansi

    Harus ada keterkaitan antar komponen silabus mulai dari SK, KD sampai indikator pencapaian kompetensi sebagai satu kesatuan utuh dalam mencapai kompetensi.

  2. Konsistensi

    Harus ada hubungan yang konsisten antar semua komponen silabus.

  3. Kecukupan

Cakupan materi pokok, kegiatan pembelajaran, penilaian, dan sumber

belajar (alat, media, dan bahan) harus memadai dalam membantu

peserta didik mencapai kompetensi yang mencakup aspek

pengetahuan, sikap, dan keterampilan.

  1. Kontekstual dan aktual

    Penyusunan silabus dan semua komponennya harus memperhatikan kondisi lingkungan, norma dan tata nilai kehidupan masyarakat, perkembangan tuntutan masyarakat, perkembangan ipteks, dan bersifat mutakhir tidak ketinggalan jaman.

  2. Fleksibel

    Pengembangan silabus harus memperhatikan keragaman peserta didik (peserta didik), menghindari bias gender, mengakomodasikan keragaman budaya, memperhatikan kecepatan belajar dan karakteristik individu, memperhatikan ketersediaan sumber belajar, suasana dan kondisi pembelajaran, mengakomodasikan keterpaduan lintas matapelajaran dan lintas aspek belajar, serta mempertimbangkan dinamika dan kearifan lokal masyarakat.

Mekanisme penyusunan silabus; minimal meliputi langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Menuliskan identitas mata pelajaran yang terdiri dari: nama satuan pendidikan
  2. Menuliskan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) matapelajaran sesuai dengan standar isi (SI).
  3. Merumuskan indikator pencapaian kompetensi

    Indikator merupakan petunjuk tingkat atau derajat pencapaian KD yang ditandai dengan perubahan perilaku peserta didik yang dapat diamati dan diukur sebagai hasil pengalaman belajar peserta didik. Indikator dikembangkan dengan mengacu pada KD, dimulai dengan analisis KD yang memperhatikan karakteristik dan kemampuan awal peserta didik. Indikator digunakan sebagai pedoman dalam mengembangkan prosedur dan instrumen penilaian

  4. Mengembangkan materi pokok pelajaran
    1. Materi pembelajaran meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang harus dipelajari peserta didik dalam rangka menguasai SK dan KD.
    2. Pengembangan materi pembelajaran harus memperhatikan relevansinya dengan SK dan KD, struktur keilmuan, karakteristik dan kebutuhan peserta didik, kebermanfaatan, aktualitas, otentisitas, kedalaman, keluasan, dan kondisi lingkungan serta perkembangan ipteks.
  5. Materi pembelajaran dituliskan dalam bentuk materi pokok/rincian materi sesuai dengan SK dan KD.

2). Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

a. Pengertian

Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dijabarkan dari silabus, dan merupakan skenario proses pembelajaran untuk mengarahkan kegiatan belajar peserta didik dalam upaya mencapai KD. RPP memuat identitas mata pelajaran , deskripsi singkat matapelajaran, SK, KD, materi pokok/rincian materi ajar, pengalaman belajar, alokasi waktu, media dan sumber belajar, penilaian hasil belajar.

Guru pada setiap satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran terjadi secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.

b. Prinsip dalam penyusunan RPP sbb:

  1. Berorientasi pada silabus matapelajaran

    Perumusan tujuan pembelajaran/indikator pencapaian kompetensi, pemilihan materi pembelajaran, penyusunan urutan penyajian materi, serta penilaian hasil pembelajaran dilakukan dengan mengacu pada SK dan KD yang ada dalam silabus matapelajaran.

    1. Memperhatikan perbedaan individual peserta didik. RPP disusun dengan memperhatikan gender, kemampuan prasyarat, kemampuan awal, keragaman IQ, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, keragaman latar belakang budaya, norma dan tata nilai serta lingkungan peserta didik.
  2. Menerapkan teknologi secara efektif

    RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi secara terintegrasi dan sistematis dalam pembelajaran. Teknologi yang dimaksud mencakup cetak, audio, audiovisual, termasuk teknologi informasi dan komunikasi.

  3. Mendorong partisipasi aktif peserta didik

    Proses pembelajaran dirancang dengan berfokus pada peserta didik untuk mendorong motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian, dan semangat belajar, serta budaya membaca dan kemampuan menulis. Untuk itu harus diciptakan strategi pembelajaran interaktif yang memungkinkan peserta didik berupaya menemukan dan membangun sendiri pengetahuan dari apa yang dipelajari.

  4. Memberikan penguatan, umpan balik, pengayaan, dan remedial

    Dalam penyusunan RPP harus dirancang program pemberian penguatan, umpan balik positif, pengayaan, dan remedial terhadap

    peserta didik untuk mengatasi hambatan belajarnya, dan untuk lebih memacu partisipasi peserta didik dalam kegiatan belajarnya.

  5. Keterkaitan dan keterpaduan

    RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antara SK, KD, indikator pencapaian kompetensi, materi, metode, sumber belajar, penilaian, dan bahan rujukan dalam satu keutuhan pengalaman belajar. Di samping itu, RPP harus disusun dengan mengakomodasikan keterpaduan lintas matapelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya.

c. Penyusunan RPP

Standar penyusunan Satuan Acara Perkuliahan minimal meliputi langkah-langkah sebagai berikut:

(1). Menuliskan identitas matapelajaran, meliputi:

  1. nama satuan pendidikan,
  2. nama matapelajaran,
  3. kode matapelajaran,
  4. bobot SKS,
  5. semester,
  6. prasyarat,

(2) Menuliskan deskripsi singkat matapelajaran

Mencantumkan secara singkat pokok-pokok isi matapelajaran yang meliputi, ruang lingkup materi yang akan dibahas, dan kegiatan praktik/praktikum yang akan dilakukan (jika ada).

  1. Menuliskan SK dan KD dari silabus matapelajaran yang akan dicapai pada kegiatan pembelajaran tertentu.

(4). Mengembangkan materi pokok / rincian materi pelajaran (bila ini sudah

lengkap dicantumkan disilabus, dapat dipindahkan saja ke RPP)

  1. Materi pembelajaran meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang harus dipelajari peserta didik dalam rangka menguasai SK dan KD.
  2. Pengembangan materi pembelajaran harus memperhatikan relevansinya dengan SK dan KD, struktur keilmuan, karakteristik dan kebutuhan peserta didik, kebermanfaatan, aktualitas, otentisitas, kedalaman, keluasan, dan kondisi lingkungan serta perkembangan ipteks.
  3. Materi pembelajaran dituliskan dalam bentuk materi pokok/rincian materi sesuai dengan SK dan KD.

(5). Merancang pengalaman belajar

Merancang pengalaman belajar pada hakikatnya akan berimplikasi dengan penggunaan model, pendekatan, strategi, metode, atau teknik pembelajaran yang memungkinkan peserta didik berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menantang, menyenangkan, dan memotivasi peserta didik untuk mengembangkan prakarsa dan kemandiriannya. Pengalaman belajar dapat berupa tuntutan aktivitas psikologis maupun pisik, seperti mengkaji, mendeskripsika, menjelaskan, berlatih, pemetaan, mengerjakan tugas-tugas secara individu/kelompok, dan sebagainya.Mencantumkan sumber belajar yang diperoleh dari berbagai sumber di lingkungan sekitar, atau melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Sumber belajar berupa media cetak dan elektronik, nara sumber, sumber yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya.

(6). Menentukan alokasi waktu (jam pertemuan) yang diperlukan untuk

melaksanakan kegiatan pembelajaran untuk setiap KD.

(7). Menentukan media dan sumber belajar

(a). Buku teks yang diwajibkan, buku referensi dan pengayaan.

(b). Sumber belajar lain yang relevan dengan mata pelajaran, baik dalam

bentuk pesan, orang, bahan, alat, teknik, maupun lingkungan.

c) Mencantumkan sumber belajar yang diperoleh dari berbagai sumber di

lingkungan sekitar, atau melalui pemanfaatan teknologi informasi dan

komunikasi. Sumber belajar berupa media cetak dan elektronik, nara

sumber, sumber yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi,

serta lingkungan pisik, sosial, alam dan budaya.

(8). Merancang penilaian (asesmen);untuk pencapaian standar kompetensi

sesuai dengan indikator pencapaian kompetensi yang telah dirumuskan, untuk pembelajaran tingkat peserta didik (adult education), harus dirancang secara eksplisit dalam penilaian proses dan produk. Bila mungkin dicantumkan prosedur penilaiannya, tugas dan tagihan yang harus dipenuhi peserta didik, bobot masing-masing tugas dan penilaian sebagai kriteria ketuntasan belajar.

2. Pelaksanaan Proses Pembelajaran

a. Pengertian

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan formal dilaksanakan dengan sistem klasikal yang menggunakan pendekatan kelompok besar, kelompok kecil, dan individual di dalam kelas maupun di luar kelas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain intensitas interaksi antara peserta didik dengan guru, antar peserta didik, dan antara peserta didik dengan sumber belajar,sarana dan prasarana, dan sebagainya

Untuk mewujudkan proses pembelajaran yang efektif dan efisien serta berpusat pada peserta didik, pelaksanaan proses pembelajaran harus memenuhi sejumlah prinsip, persyaratan, dan mekanisme tertentu.

b. Prinsip

Pelaksanaan proses pembelajaran harus memenuhi prinsip-prinsip:

1). Interaktif

Adanya hubungan timbal balik antara guru dengan peserta didik dan antar peserta didik.

2). Inspiratif

Mendorong semangat belajar dan memunculkan gagasan baru pada peserta didik

3). Menyenangkan

Peserta didik merasa aman, nyaman, betah, dan asyik mengikuti pembelajaran.

4). Menantang

Peserta didik tertarik untuk memecahkan/menyelesaikan masalah, melakukan percobaan untuk menjawab keingintahuannya, dan tidak mudah menyerah, sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik/peserta didik.

5). Memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif

Peserta didik terlibat dalam setiap peristiwa belajar yang sedang dilakukan, misalnya aktif bertanya, mengerjakan tugas, dan aktif berdiskusi.

7). Mengembangkan prakarsa, kreativitas, dan kemandirian peserta didik

Proses pembelajaran harus dapat memberikan ruang yang cukup bagi berkembangnya prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik.

8). Memberi keteladanan

Guru memberikan keteladanan dalam bersikap, bertindak, dan bertuturkata baik di dalam maupun di luar kelas.

9). Mengembangkan budaya membaca dan menulis

Guru memberi tugas membaca dan menulis/membuat karya untuk mendorong peserta didik gemar membaca dan menulis.

10). Memberikan penguatan dan umpan balik

Dalam situasi tertentu, pendidik/guru memberikan pujian atau memperbaiki respon peserta didik. Namur demikian tetap menjaga suasana agar peserta didik berani untuk berpendapat.

11). Memperhatikan perbedaan karakteristik peserta didik

Guru memberikan pengayaan bagi peserta didik yang berkemampuan lebih dan remedial bagi peserta didik yang berkemampuan kurang atau mengalami kesulitan belajar. Guru menggunakan strategi pembelajaran yang bervariasi guna mengakomodasi keragaman karakteristik peserta didik.

12). Mengembangkan kerjasama dan kompetisi untuk mencapai prestasi

Guru mengembangkan kemampuan bekerjasama melalui kerja kelompok, dan kemampuan berkompetisi melalui kerja individual, untuk memperoleh hasil optimal bukannya untuk saling menjatuhkan.

13). Memanfaatkan aneka sumber belajar

Guru menggunakan berbagai sumber belajar yang meliputi pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan lingkungan.

14). Mengembangkan kecakapan hidup

Tumbuhnya kompetensi peserta didik dalam memecahkan/ menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari, termasuk berkomunikasi dengan baik dan efektif, baik lisan maupun tulisan, mencari informasi, dan berargumentasi secara logis.

15). Menumbuhkan budaya akademis, nilai-nilai kehidupan, dan pluralisme

Terbangunnya suasa hubungan peserta didik dan guru yang saling menerima, menghargai, akrab, terbuka, hangat, dan penuh empati, tanpa membedakan latar belakang dan status sosial-ekonomi.

d. Mekanisme

Berlandaskan prinsip di atas, proses pembelajaran, dapat mengacu pelaksanaannya pada 5 tahapan, yaitu keterlibatan, eksplorasi, elaborasi, konfirmasi, dan penilaian hasil belajar.

1) Pendahuluan

Keterlibatan/engagement

Keterlibatan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk memfokuskan perhatian peserta didik agar mereka siap untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap keterlibatan, antara lain melalui pemberian pertanyaan-pertanyaan pemicu oleh guru kepada peserta didik untuk mengkaitkan pengalaman belajar atau pengetahuan awal peserta didik dengan tujuan/indicator pencapaian kompetensi atau cakupan materi yang akan dipelajari.

(2) Inti

Eksplorasi

Eksplorasi merupakan kegiatan dalam berupaya mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari. Topik/tema materi didasarkan pada Silabus dan RPP. Eksplorasi dilakukan berdasarkan panduan atau langkah-langkah pemandu yang telah disiapkan guru/ ditentukan bersama peserta didik dengan memanfaatkan beraneka sumber belajar yang tersedia. Beragam pendekatan pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menantang, menyenangkan, dan memotivasi serta menarik minat peserta didik diterapkan dalam kegiatan eksplorasi. Langkah-langkah pemandu yang disiapkan guru mencerminkan langkah-langkah kegiatan belajar yang esensial untuk berbagai ranah pembelajaran. Dalam ranah pengetahuan (kognitif), di antara langkah belajar perlu ada kegiatan mengkaji dan menganalisis topik/tema materi. Dalam ranah keterampilan (psikomotor), di antara langkah belajar perlu ada kegiatan praktek melakukan keterampilan yang dipelajari. Sementara itu, dalam ranah sikap (afektif), di antara langkah belajar perlu ada kegiatan menghayati melalui berbagai aktivitas, misalnya pemodelan, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dll.

Dalam eksplorasi peserta didik terlibat dalam kegiatan belajar yang kooperatif dan kolaboratif melalui pembuatan peta konsep, diskusi, mendengarkan pendapat secara cermat dan kritis, mencari informasi di internet, membaca buku acuan atau media cetak lainnya, mendengarkan informasi melalui kaset atau radio, menonton informasi visual melalui video atau siaran televisi, melakukan apresiasi, melakukan observasi di alam sekitarnya, melakukan percobaan-percobaan di laboratorium atau studio. Peserta didik, secara individual maupun secara kelompok, membuat catatan dan menulis laporan proses eksplorasi yang dilakukan. Dalam kegiatan eksplorasi, guru berfungsi sebagai nara sumber yang menjawab pertanyaan peserta didik jika peserta didik memperoleh kesulitan, yang memberi acuan informasi kepada peserta didik untuk melakukan eksplorasi lebih jauh, atau memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang berpartisipasi aktif.

Elaborasi

Elaborasi merupakan kegiatan peserta didik untuk menyampaikan hasil eksplorasi yang telah dilakukan secara lebih teliti, cermat dan rinci. Elaborasi dilakukan dalam bentuk penyajian hasil kerja kelompok, pameran produk yang dihasilkan peserta didik dalam eksplorasi, atau turnamen antar kelompok. Dalam kegiatan elaborasi, peserta didik memberikan komentar dan pertanyaan yang bersifat konstruktif terhadap hasil kerja yang disampaikan oleh temannya. Di samping itu, dalam elaborasi, peserta didik juga melakukan pengecekan hasil eksplorasi yang telah dilakukan terhadap sumber-sumber acuan lain yang tersedia.

Konfirmasi

Konfirmasi merupakan kegiatan interaktif antara guru sebagai nara sumber ahli/ fasilitator dengan peserta didik untuk memberikan umpan balik terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi. Dalam kegiatan ini, guru juga dapat memanfaatkan berbagai sumber acuan untuk memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik. Sementara itu, peserta didik melakukan refleksi terhadap pengalaman belajar yang telah dilakukan. Dari kegiatan konfirmasi, peserta didik akan mencapai kebermaknaan belajar dari pengalaman belajar yang telah dijalankan. Dampak pengiring dari kegiatan konfirmasi adalah rasa ingin tahu untuk menindaklanjuti kegiatan eksplorasi lebih luas dan lebih dalam.

(3) Penutup

Penilaian hasil belajar

Penilaian hasil belajar merupakan kegiatan pendidik bersama peserta didik untuk mengukur hasil yang diperoleh dari proses belajar. Hasil belajar diwujudkan dalam berbagai bentuk tugas mandiri yang dapat dipamerkan, diobservasi, atau dikumpulkan dalam portofolio peserta didik. Di samping itu, pengukuran hasil belajar juga dapat dilakukan melalui tes tertulis, tugas-tugas yang menunjukkan kumpulan kompetensi yang telah dicapai peserta didik, atau unjuk kerja. Hasil penilaian proses pembelajaran ditindaklanjuti dengan memberikan pembelajaran remedial, pengayaan, atau penugasan baik secara individual maupun kelompok. Di samping pada kegiatan penutup, penilaian proses juga dapat dilakukan pada saat kegiatan inti.

VII. Penjabarannya menjadi APKG

Berdasarkan kajian teoretik (referensi dan landasan formal) di atas, diharapkan pengelola proses pembelajaran khususnya di pendidikan formal oleh pendidik (guru) mendapatkan input atau masukan dari supervisor. Untuk mendapatkan kesepakatan akademik mengenai berbagai hal yang menyangkut perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru, diajukan suatu (alternatif) Alat Penilaian Kemampuan Guru dalam mengelola proses pembelajaran. APKG ini diajukan dengan pertimbangan : (1) menyambut implementasi KTSP dipendidikan dasar dan menengah, dan (2) keperaktisan serta fesibilitas penggunaannya. APKG berikut terdiri dari APKG 1 (menyangkut Kemampuan Merencanakan Pembelajaran) dan APKG 2 (menyangkut Kemampuan Melaksanakan Pembelajaran)

APKG 1

Alat Penilaian Kemampuan Guru

(Kemampuan Merencanakan Pembelajaran)

Nama Guru :

NIP :

Sekolah :

Mata Pelajaran :

Standar Kompetensi (SK) :

Kompetensi Dasar (KD) :

Materi Pokok :

Kelas/Semester :

Alokasi Waktu :

Tanggal :

No

Aspek Yang Dinilai

S k a l a/skor

Total

1 2 3 4 5
1 Perumusan Indikator Pencapaian/ tujuan pembelajaran
a. Kejelasan dan kelengkapan

cakupan rumusan

b. Kesesuaian dengan KD
c. Kesesuaian banyaknya

indikator pencapaian dengan

alokasi waktu

2 Pengorganisasian Pengalaman Belajar /kegiatan belajar siswa
a. Variasi perumusan

pengalaman belajar siswa

b. Perumusan pengalaman

belajar sesuai dengan

indikator pencapaian

c. Lavel perumusan

pengalaman belajar siswa

sesuai dengan Indikator

pencapaian

3 Pengorganisasian Materi Pembelajaran
a. Pemilihan Materi Pembelajaran

sesuai dengan indikator

pencapaian

b. Sistematika dan urutan materi

pembelajaran

c. Materi Pembelajaran sesuai

dengan karakteristik siswa

4 Pendekatan dalam Pembelajaran
a.Kesesuaian Pendekatan

(Strategi/metode) pembelajaran

Dengan pengalaman belajar

yang dirancang

b. Kesesuaian Pendekatan

(Strategi/metode) pembelajaran

Dengan materi pembelajaran

c Variasi Pendekatan

(Strategi/metode) pembelajaran

Yang dirancang

5 Kesesuaian Sumber/ Media Pembelajaran, dengan :
a. Pencapaian indikator

pencapaian

b. Materi Pembelajaran
c. Karakteristik siswa
6. Ketepatan dan kesesuaian Rancangan Langkah-langkah Pembelajaran
a. Rancangan langkah

pembelajaran meliputi :

tahapan peterlibatan siswa

(engagement), eksplorasi,

elaborasi, konfirmasi dan

penilaian/ evaluasi

b. Ketepatan dan kesesuaian isi

rancangan setiap langkah

Pembelajaran dengan materi

pembelajaran

c. Ketepatan dan kesesuaian isi

rancangan setiap langkah

Pembelajaran dengan

pengalaman belajar yang

dirancang

7 Penilaian hasil belajar
a. Kesesuaian teknik penilaian

dengan indikator pencapaian

b. Rancangan penilaian proses
c. Rancangan penilaian produk
8 Penunjang
a. Kebersihan dan kerapian

persiapan

b. Ketepatan penggunaan bahasa tulis

S k o r Total APKG 1

APKG 2

Alat Penilaian Kemampuan Guru

(Kemampuan Melaksanakan Pembelajaran)

Nama Guru :

NIP :

Sekolah :

Mata Pelajaran :

Standar Kompetensi (SK) :

Kompetensi Dasar (KD) :

Materi Pokok :

Kelas/Semester :

Alokasi Waktu :

Tanggal :

No

Aspek Yang Dinilai

S k a l a/skor

Total

1 2 3 4 5
1 Penyiapan Awal Kondisi Pembelajaran
a. Penyiapan klas/lab/lapangan
b. Memeriksa kehadiran siswa
c. Penyiapan media/alat

pembelajaran

2 Membuka Pembelajaran
a. Melakukan kegiatan


engagement dan atau

apersepsi

b. Menyampaikan KD yang akan

dicapai

3 Pengorganisasian Materi Pembelajaran pada kegiatan Inti
a. Penguasaan materi

pembelajaran

b. Sistematika dan urutan

penyampaian materi

pembelajaran

c. Terjadinya kegiatan eksplorasi,

elaborasi dan konfirmasi

dalam proses pembelajaran

yang sesuai dengan indikator

pencapaian

d. Ketepatan penggunaan alokasi

waktu yang disediakan sesuai

dengan tahapan/langkah

pembelajaran

4 Pendekatan dalam Pembelajaran
a.Penggunaan berbagai

Pendekatan (Strategi/metode)

Pembelajaran secara tepat,

logis dan variatif sesuai dengan

pengalaman belajar yang

dirancang

b.Kesesuaian penggunaan

Pendekatan (Strategi/metode)

pembelajaran dengan materi

Pembelajaran

c Terciptanya proses

pembelajaran yang kondusif

dan I2M3

5 Penggunaan Sumber/ Media Pembelajaran
a. Penggunaan sumber/media

dan alat bantu pembelajaran

secara tepat

b. Perancangan media dan alat

bantu pembelajaran menarik

minat siswa

6 Penilaian hasil belajar
a. Penilaian proses dilakukan

secara variatif untuk

tercapainya indikator

pencapaian dan materi

pembelajaran

b. Penilaian produk dilakukan

sesuai dengan indikator

pencapaian

7 Penunjang
a. Penggunaan bahasa
b. Gaya mengajar
c. Penampilan
8 Menutup Pembelajaran
a. Melakukan refleksi dan

membuat rangkuman dengan

melibatkan siswa

b. Melaksanakan tindak lanjut

(pengayaan, remidial, tugas

lainnya)

S k o r Total APKG 2

VII. Skoring APKG


Skoring (proses pemberian skor) untuk APKG 1 dan APKG 2, dapat dilakukan dengan berbagai cara, Salah satu cara yang sederhana dapat dilakukan dengan weighting aditive (dalam skala 100) sbb:

1.Penentuan skor APKG1 :

a. Hitung skor individu dengan jalan menjumlahkan skor

masing-masing butir ()

  1. Skor maksimal ideal () adalah 23×5= 115
  2. Ubah skor individu menjadi skla 100 dengan jalan sbb:

Skala = x 100

  1. Contoh : seorang guru mendapat skor total 85, maka

    Skalanya =

2. Penentuan skor APKG 2:

a. Hitung skor individu dengan jalan menjumlahkan skor

masing-masing butir ()

b. Skor maksimal ideal () adalah 21×5= 105

c. Ubah skor individu menjadi skla 100 dengan jalan sbb:

Skala = x 100

  1. Contoh : seorang Guru mendapat skor total 85, maka

    Skalanya = x100= 80,95

3. Menentukan skala (skor) gabungan dengan cara sbb :


Skor skala =

= 78,13

4. Menentukan Nilai Perolehan dengan kriteria PAP sbb :

Kriteria skla

Nilai/ Kualifikasi

90 – 100

4 / A (Sangat baik)

75 – 89

3 / B (Baik)

65 – 74

2 / C (Cukup)

40 – 64

1 / D (Kurang)

0 – 39

0 / E (Sangat kurang)

Sehingga Guru tersebut di atas memperoleh peringkat baik ( nilai 4 / B)

VIII. Penutup

Konsep di atas (diajukan sebagai pertimbangan saja) dan dirumuskan berdasarkan beberapa kajian teori dan antisipasi pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Hal tersebut baru menyangkut aspek yang terkait dengan penilaian Rencana dan Pelaksanaan Pembelajaran saja. Mengenai penilaian yang menyangkut komponen tugas non-mengajar dan komponen yang menyangkut supervisi managerial tidak dibahas dalam tulisan ini. Semoga bermanfaat dan selamat bertugas.

Daftar Pustaka

Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : BSNP

Beeby, C.E., (1979). Assessment of Indonesia Education. London: Oxford University Press.

Buchori, M. (2000). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Penerbit

Kanisius.

Delors, J. (1996). Learning: The Treasure Within. France: UNESCO

Publishing.

Deming, Edwards W. American Association of School Administrators Conference, Washington, DC, January 1992. Seperti dikutip oleh Lee Jenkins. Improving Student Learning. Applying Deming Quality Principles in Education. Milwaukee,WI: ASOQ Press

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. 2003.

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta. 2005.

Hoy, Charles, Colin Bayne-Jardine and Margaret Wood. (2000). Improving Quality in Education. London: Falmer Press. 2006.

Miarso, Yusufhadi.(2004). Menyemai benih Teknologi Pembelajaran. Jakarta : Pustekkom Diknas & Kencana.

Nitko A.J. (1996). Educational Assessment of Students, 2nd Ed. Columbus Ohio : Prentice Hall.

O’Malley, J.M. & Valdez Pierce, L. (1996). Authentic Assessment for English Language Learners. New York: Addison-Wesley Publishing Company.

Popham, W.J. (1995). Classroom Assessment, What Teachers Need to Know. Boston: Allyn and Bacon.

Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. (2002). Kurikulum Berbasis

Kompetensi. Jakarta :Depdiknas R.I.

Salvia, J. & Ysseldyke, J.E. (1996). Assessment. 6th Edition. Boston: Houghton Mifflin Company.

Rolheiser, C. & Ross, J. A. (2005) Student Self-Evaluation: What Research Says and What Practice Shows. Internet download.

Wyaatt III, R.L. & Looper, S. (1999). So You Have to Have A Portfolio, a Teacher’s Guide to Preparation and Presentation. California: Corwin Press Inc.

Download Tulisan

SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN ANTARA TANTANGAN DAN PELUANG

SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN

ANTARA TANTANGAN DAN PELUANG

—————————————————————————————

Oleh:

NYOMAN DANTES

1.Pendahuluan

Saat ini kita berada pada abad global dan hal ini menyangkut setiap aspek kehidupan. Globalisasi mengandung arti terjadinya keterbukaan, kesejagatan, persaingan, tuntutan kualitas, dimana batas-batas negara tidak lagi menjadi penting. Salah satu yang menjadi trend dan merupakan ciri globalisasi adalah adanya tuntutan yang tajam dalam bidang kualitas dan persamaan hak. Dalam konteks pendidikan, persamaan hak itu tentunya berarti bahwa setiap individu berhak mendapat pendidikan yang setinggi-tingginya dan sebaik-baiknya tanpa memandang bangsa, ras, latar belakang ekonomi, maupun jenis kelamin. Dengan adanya kesamaan hak ini, terjadi kehidupan yang penuh dengan persaingan karena dunia telah menjadi sangat kompetitif. Karena itu, mau tidak mau setiap orang mesti berusaha untuk menguasai ilmu dan teknologi agar dapat ikut dalam persaingan.

Terkait dengan itu, pendidikan mesti dapat menjawab tantangan tersebut. Dengan kata lain, pendidikan harus menyediakan kesempatan bagi setiap peserta didik untuk memperoleh bekal pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai sebagai bekal mereka memasuki persaingan dunia yang kian hari semakin ketat itu. Di samping tersedianya kesempatan yang seluas-luasnya, namun yang penting juga adalah memberikan pendidikan yang bermakna (meaningful learning). Karena, hanya dengan pendidikan yang bermakna peserta didik dapat dibekali keterampilan hidup, sedangkan pendidikan yang tidak bermakna (meaningless learning) hanya akan menjadi beban hidup.

Peran pendidik (baca guru) merupakan faktor vital dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermakna dan berwawasan masa depan. Pendidikan berwawasan masa depan diartikan sebagai pendidikan yang dapat menjawab tantangan masa depan, yaitu suatu proses yang dapat melahirkan individu-individu yang berbekal pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk hidup dan berkiprah dalam era globalisasi.

Komisi Internasional bagi Pendidikan Abad ke 21 yang dibentuk oleh UNESCO melaporkan bahwa di era global ini pendidikan dilaksanakan dengan bersandar pada empat pilar pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together (Delors, 1996). Dalam learning to know peserta didik belajar pengetahuan yang penting sesuai dengan jenjang pendidikan yang diikuti. Dalam learning to do peserta didik mengembangkan keterampilan dengan memadukan pengetahuan yang dikuasai dengan latihan (law of practice), sehingga terbentuk suatu keterampilan yang memungkinkan peserta didik memecahkan masalah dan tantangan kehidupan. Dalam learning to be, peserta didik belajar menjadi individu yang utuh, memahami arti hidup dan tahu apa yang terbaik dan sebaiknya dilakukan, agar dapat hidup dengan baik. Dalam learning to live together, peserta didik dapat memahami arti hidup dengan orang lain, dengan jalan saling menghormati, saling menghargai, serta memahami tentang adanya saling ketergantungan (interdependency). Dengan demikian, melalui keempat pilar pendidikan ini diharapkan peserta didik tumbuh menjadi individu yang utuh, yang menyadari segala hak dan kewajiban, serta menguasai ilmu dan teknologi untuk bekal hidupnya.

Sebagai implikasi dari globalisasi dan reformasi tersebut, terjadi perubahan pada paradigma pendidikan. Perubahan tersebut menyangkut, pertama: paradigma proses pendidikan yang berorientasi pada pengajaran dimana guru lebih menjadi pusat informasi, bergeser pada proses pendidikan yang berorientasi pada pembelajaran dimana peserta didik menjadi sumber (student center). Dengan banyaknya sumber belajar alternatif yang bisa menggantikan fungsi dan peran guru, maka peran guru berubah menjadi fasilitator. Kedua, paradigma proses pendidikan tradisional yang berorientasi pada pendekatan klasikal dan format di dalam kelas, bergeser ke model pembelajaran yang lebih fleksibel, seperti pendidikan dengan sistem jarak jauh. Ketiga, mutu pendidikan menjadi prioritas (berarti kualitas menjadi internasional). Keempat, semakin populernya pendidikan seumur hidup dan makin mencairnya batas antara pendidikan di sekolah dan di luar sekolah.

Dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi pendidikan tersebut adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip untuk dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan.

Salah satu prinsip tersebut adalah bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Implikasi dari prinsip ini adalah pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran.

Paradigma pengajaran yang telah berlangsung sejak lama lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransfer pengetahuan kepada peserta didik. Seperti telah disebutkan pada pendahuluan , dewasa ini paradigma tersebut telah bergeser menuju paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk menyelenggarakan proses pendidikan yang didasarkan paradigma baru tersebut, diperlukan acuan dasar bagi setiap satuan pendidikan yang meliputi serangkaian kriteria dan kriteria minimal sebagai pedoman, yang saat ini dikenal dengan delapan standar mutu nasional pendidikan.

Tujuan standar mutu pendidikan ditetapkan adalah untuk menjamin mutu proses transpormasi, mutu instrumental dan mutu kelulusan, yang meliputi : (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan. (Bab IX UUSPN). Konsep tersebut di atas dapat diwujudkan pada diagram berikut:


Gambar 1: Keterkaitan antara Aspek-Aspek Standar Mutu

Bila dikaji lebih dalam situasi pendidikan masa depan dan bagaimana peran tenaga pendidik (guru) sebagai pengemban paradigma pendidikan yang berpusat pada pembelajaran, maka kualifikasi dan kompetensi guru sebagai pemangku jabatan ahli haruslah menjadi salah satu fokus utama. Jabatan guru adalah jabatan profesi, dimana suatu jabatan profesi harus diampu oleh seorang yang profesional, yang memiliki keahlian dalam bidangnya. Sehingga jabatan guru harus dipegang oleh seorang profesional. Maka dari itu keprofesionalan tersebut harus dibuktikan dengan pencapaian kualifikasi, penguasaan keahlian dan kompetensi dalam bidangnya. Dalam UU No.14/2005 dan PP No. 19/2005, disebutkan bahwa guru yang profesional adalah guru yang memiliki kualifikasi pendidikan sarjana (S1/D4) dalam bidang studi yang diajarkan, dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran yaitu : kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompotensi sosial, dan kompetensi keperibadian. Untuk semua tujuan di atas, secara prioritas pada guru-guru dalam jabatan perlu dilakukan sertifikasi pendidik.

Sudah dua tahun berjalan ini sertifikasi guru dalam jabatan dilaksanakan. Berbagai kecenderungan dan pertanyaan bermunculan di kalangan guru, dari pertanyaan apa memang perlu mengikuti sertifikasi, apa kegunaannya, baimana pengaruhnya pada peningkatan kualitas pembelajaran dan juga kesejahteraan, dan lain sebagainya. Untuk itu perlu dibahas beberapa pemikiran berikut ini, apa sebenarnya yang diharapkan dari sertifikasi itu?, apa gunanya bagi kualitas pendidikan?, dan bagaimana proses itu dilakukan?.

2. Sertifikasi guru dan peningkatan profesionalisme

a. Pengertian dan Fungsi

UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN), UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), menyatakan bahwa : guru ádalah pendidik profesional dengan tugas utama adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Untuk menjawab hal tersebut, guru dipersyaratkan memiliki kualifikasi akademik minimal S1/D4 sesuai dengan bidang studi yang diajarkan, dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran. Pemenuhan persyaratan penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi keperibadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik.

Menindaklanjuti proses sertifikasi tersebut, dikeluarkan Permen Diknas No 18/2007 tentang sertifikasi guru dalam jabatan. Dalam Permen tersebut dinyatakan untuk tahap sekarang ini sertifikasi guru dalam jabatan dilakukan berdasarkan penilaian Portofolio guru dalam 10 komponen.

Dalam kaitan dengan itu, Portofolio yang dimaksud adalah bukti fisik (dokumen) yang menggambarkan pengalaman berkarya/prestasi yang dicapai dalam menjalankan tugas profesi sebagai guru dalam interval waktu tertentu. Dokumen ini terkait dengan unsur pengalaman, karya, dan prestasi selama guru yang bersangkutan menjalankan peran sebagai agen pembelajaran (kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial). Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan, komponen portofolio meliputi: (1) kualifikasi akademik, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) pengalaman mengajar, (4) perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, (5) penilaian dari atasan dan pengawas, (6) prestasi akademik, (7) karya pengembangan profesi, (8) keikutsertaan dalam forum ilmiah, (9) pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan (10) penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Fungsi portofolio dalam sertifikasi guru (khususnya guru dalam jabatan) untuk menilai kompetensi guru dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai agen pembelajaran. Kompetensi pedagogik dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial dinilai antara lain melalui dokumen penilaian dari atasan dan pengawas. Kompetensi profesional dinilai antara lain melalui dokumen kualifikasi akademik, pendidikan dan pelatihan, pengalaman mengajar, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, dan prestasi akademik.

Portofolio juga berfungsi sebagai: (1) wahana guru untuk menampilkan dan/atau membuktikan unjuk kerjanya yang meliputi produktivitas, kualitas, dan relevansi melalui karya-karya utama dan pendukung; (2) informasi/data dalam memberikan pertimbangan tingkat kelayakan kompetensi seorang guru, bila dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan; (3) dasar menentukan kelulusan seorang guru yang mengikuti sertifikasi (layak mendapatkan sertifikat pendidikan atau belum); dan (4) dasar memberikan rekomendasi bagi peserta yang belum lulus untuk menentukan kegiatan lanjutan sebagai representasi kegiatan pembinaan dan pemberdayaan guru.

  1. Komponen Portofolio

Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru Dalam Jabatan, komponen portofolio meliputi:

  1. kualifikasi akademik,
    1. pendidikan dan pelatihan,
    2. pengalaman mengajar,
    3. perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran,
    4. penilaian dari atasan dan pengawas,
    5. prestasi akademik,
    6. karya pengembangan profesi,
    7. keikutsertaan dalam forum ilmiah,
    8. pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial, dan
    9. penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Kualifikasi akademik yaitu tingkat pendidikan formal yang telah dicapai sampai dengan guru mengikuti sertifikasi, baik pendidikan gelar (S1, S2, atau S3) maupun nongelar (D4 atau Post Graduate diploma), baik di dalam maupun di luar negeri. Bukti fisik yang terkait dengan komponen ini dapat berupa ijazah atau sertifikat diploma.

Pendidikan dan Pelatihan yaitu pengalaman dalam mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan dalam rangka pengembangan dan/atau peningkatan kompetensi dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik, baik pada tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Bukti fisik komponen ini dapat berupa sertifikat, piagam, atau surat keterangan dari lembaga penyelenggara diklat.

Pengalaman mengajar yaitu masa kerja guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan surat tugas dari lembaga yang berwenang (dapat dari pemerintah, dan/atau kelompok masyarakat penyelenggara pendidikan). Bukti fisik dari komponen ini dapat berupa surat keputusan/surat keterangan yang sah dari lembaga yang berwenang.

Perencanaan pembelajaran yaitu persiapan mengelola pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam kelas pada setiap tatap muka. Perencanaan pembelajaran ini paling tidak memuat perumusan tujuan/kompetensi, pemilihan dan pengorganisasian materi, pemilihan sumber/media pembelajaran, skenario pembelajaran, dan penilaian hasil belajar. Bukti fisik dari sub komponen ini berupa dokumen perencanaan pembelajaran (RP/RPP/SP) yang diketahui/ disahkan oleh atasan.

Pelaksanaan pembelajaran yaitu kegiatan guru dalam mengelola pembelajaran di kelas. Kegiatan ini mencakup tahapan pra pembelajaran (pengecekan kesiapan kelas dan apersepsi), kegiatan inti (penguasaan materi, strategi pembelajaran, pemanfaatan media/sumber belajar, evaluasi, penggunaan bahasa), dan penutup (refleksi, rangkuman, dan tindak lanjut). Bukti fisik yang dilampirkan berupa dokumen hasil penilaian oleh kepala sekolah dan/atau pengawas tentang pelaksanaan pembelajaran yang dikelola oleh guru dengan format terlampir.

Penilaian dari atasan dan pengawas yaitu penilaian atasan terhadap kompetensi kepribadian dan sosial, yang meliputi aspek-aspek: ketaatan menjalankan ajaran agama, tanggung jawab, kejujuran, kedisiplinan, keteladanan, etos kerja, inovasi dan kreativitas, kemamampuan menerima kritik dan saran, kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan bekerjasama dengan menggunakan Format Penilaian Atasan terlampir.

Prestasi akademik yaitu prestasi yang dicapai guru, utamanya yang terkait dengan bidang keahliannya yang mendapat pengakuan dari lembaga/panitia penyelenggara, baik tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Komponen ini meliputi lomba dan karya akademik (juara lomba atau penemuan karya monumental di bidang pendidikan atau nonkependidikan), pembimbingan teman sejawat (instruktur, guru inti, tutor), dan pembimbingan siswa kegiatan ekstra kurikuler (pramuka, drumband, mading, karya ilmiah remaja-KIR). Bukti fisik yang dilampirkan berupa surat penghargaan, surat keterangan atau sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga/panitia penyelenggara.

Karya pengembangan profesi yaitu suatu karya yang menunjukkan adanya upaya dan hasil pengembangan profesi yang dilakukan oleh guru. Komponen ini meliputi buku yang dipublikasikan pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, atau nasional; artikel yang dimuat dalam media jurnal/majalah/buletin yang tidak terakreditasi, terakreditasi, dan internasional; menjadi reviewer buku, penulis soal EBTANAS/UN; modul/buku cetak lokal (kabupaten/kota) yang minimal mencakup materi pembelajaran selama 1 (satu) semester; media/alat pembelajaran dalam bidangnya; laporan penelitian tindakan kelas (individu/kelompok); dan karya seni (patung, rupa, tari, lukis, sastra, dll). Bukti fisik yang dilampirkan berupa surat keterangan dari pejabat yang berwenang tentang hasil karya tersebut.

Keikutsertaan dalam forum ilmiah yaitu partisipasi dalam kegiatan ilmiah yang relevan dengan bidang tugasnya pada tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional, atau internasional, baik sebagai pemakalah maupun sebagai peserta. Bukti fisik yang dilampirkan berupa makalah dan sertifikat/piagam bagi nara sumber, dan sertifikat/piagam bagi peserta.

Pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial yaitu pengalaman guru menjadi pengurus organisasi kependidikan dan sosial dan atau mendapat tugas tambahan. Pengurus organisasi di bidang kependidikan antara lain: pengurus PGRI, Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), Himpunan Evaluasi Pendidikan Indonesia (HEPI), Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), Ikatan Sarjana Manajemen Pendidikan Indoensia (ISMaPI), dan asosiasi profesi kependidikan lainnya. Pengurus organisasi sosial antara lain: ketua RT, ketua RW, ketua LMD/BPD, dan pembina kegiatan keagamaan. Mendapat tugas tambahan lain: kepala sekolah, wakil kepala sekolah, ketua jurusan, kepala lab, kepala bengkel, kepala studio. Bukti fisik yang dilampirkan adalah surat keputusan atau surat keterangan dari pihak yang berwenang.

Penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan yaitu penghargaan yang diperoleh karena guru menunjukkan dedikasi yang baik dalam melaksanakan tugas dan memenuhi kriteria kuantitatif (lama waktu, hasil, lokasi/geografis), kualitatif (komitmen, etos kerja), dan relevansi (dalam bidang/rumpun bidang), baik pada tingkat kabupaten/kota, provinsi, nasional, maupun internasional. Bukti fisik yang dilampirkan berupa fotokopi sertifikat, piagam, atau surat keterangan.

  1. Pengisian Istrumen Portofolio
  2. Identitas guru peserta sertifikasi. Identitas guru peserta sertifikasi, meliputi: nama (lengkap dengan gelar akadmeik), nomor peserta, NIP/NIK, pangkat/golongan, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, pendidikan terakhir, akta mengajar, sekolah tempat tugas (nama, alamat, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nomor telepon, e-mail, nomor statistik sekolah), guru matapelajaran/guru kelas, dan beban mengajar perminggu. Pangkat dan golongan bagi guru non-PNS mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Halaman identitas ini ditandatangani oleh penyusun dan disahkan oleh Kepala Sekolah dan Pengawas Pendidikan setelah portofolio selesai disusun.
  3. Daftar isi. Peserta sertifikasi perlu melengkapi dokumen portofolio dengan daftar isi agar memudahkan tim penilai (asesor) dalam melaksanakan tugasnya. Daftar isi ini menjelaskan tentang nama komponen dan di halaman berapa komponen tersebut disusun.
  4. Dokumen portofolio. Dokumen portofolio ini memuat sepuluh komponen portofolio yang di dalam instrumen ditampilkan dalam bentuk tabel. Peserta sertifikasi diminta untuk mengisi tabel tersebut sesuai dengan pengalaman dan hasil karya yang dimiliki secara jujur dan bertanggungjawab. Peserta juga diminta melampirkan bukti-bukti fisik berupa dokumen dan/atau hasil karya sesuai dengan yang dituliskan dalam tabel. Untuk dokumen-dokumen seperti sertifikat/ piagam/surat keterangan dapat berupa foto kopi dokumen-dokumen tersebut yang telah dilegalisasi oleh atasan. Untuk dokumen foto kopi ijazah/akta mengajar harus dilegalisasi oleh perguruan tinggi yang mengeluarkannya atau oleh Direkktorat Jenderal Pendidikan Tinggi untuk ijazah luar negeri.
  5. Penutup. Komponen penutup ini berisi pernyataan dari penyusun dan pemilik dokumen yang memuat tentang jaminan keaslian dan tidak melanggar kode etik dalam membuat dan atau mendapatkannya. Di samping itu, pernyataan juga berisi kesiapan menerima sanksi atas pelanggaran yang terkait dengan hak cipta, apabila ditemukan atau di kemudian hari ditemukan bukti terjadinya pelanggaran.

  1. Prosedur Pengajuan dan Pelaksanaan Penilaian Portofolio

Prosedur pengajuan dan penilaian portofolio oleh para guru dapat digambarkan seperti bagan berikut.



e. Rubrik Penilaian Portofolio

1). Kualifikasi akademik

Ijazah Relevansi

Skor

S1 / D4

Kependidikan sesuai bidang studi (mapel)*

150

Nonkependidikan sesuai bidang studi (mapel) mimiliki Akta Mengajar

150

Kependidikan sesuai dengan rumpun bidang studi (mapel)**

140

Nonkependidikan sesuai bidang studi (mapel)

130

Kependidikan tidak sesuai bidang studi dan rumpun bidang studi (mapel)

120

Nonkependidikan tidak sesuai bidang studi dan rumpun bidang studi memiliki Akta Mengajar

120

Nonkependidikan tidak sesuai bidang studi dan rumpun bidang studi

110

Post Graduate Diploma

Sesuai bidang studi

80

Tidak sesuai

50

S2

Kependidikan sesuai bidang studi (mapel)

175

Kependidikan sesuai dengan rumpun bidang studi (mapel)

160

Nonkependidikan sesuai bidang studi (mapel)

160

Kependidikan tidak sesuai bidang studi dan rumpun bidang studi

145

Nonkependidikan tidak sesuai bidang studi dan rumpun bidang studi

130

S3

Kependidikan sesuai bidang studi (mapel)

200

Kependidikan sesuai dengan rumpun bidang studi (mapel)

180

Nonkependidikan sesuai bidang studi (mapel)

180

Kependidikan tidak sesuai bidang studi dan rumpun bidang studi

160

Nonkependidikan tidak sesuai bidang studi dan rumpun bidang studi

140

Catatan:

* Untuk mata pelajaran produktif di SMK, program keahlian analog dengan

bidang studi (mapel)

** Untuk mata pelajaran produktif di SMK, bidang keahlian analog dengan

rumpun bidang studi S1, S2, atau S3 yang kedua dan seterusnya

diperhitungkan dengan skor 25% dari skor yang ditetapkan dalam rubrik ini.

2). Pendidikan dan Pelatihan

Lama Diklat

(Jam Pelatihan)

Internasional

Nasional

Provinsi

Kab/Kota

Kecamatan

R

TR

R

TR

R

TR

R

TR

R

TR

> 640

60

45

50

40

45

35

40

30

35

25

481 – 640

55

40

45

35

40

30

35

25

30

20

161 – 480

45

35

40

30

35

25

30

20

25

15

81 – 160

40

30

35

25

30

20

25

15

20

10

30 – 80

35

25

30

20

25

15

20

10

15

7

8 – 29

30

20

25

15

20

10

15

5

10

3

Keterangan:

R: relevan; materi diklat mendukung pelaksanaan tugas profesional guru

TR: tidak relevan; materi diklat tidak mendukung pelaksanaan tugas profesional guru.

Pendididikan prajabatan atau STPPL,sebagai persyaratan untuk menjadi PNS tidak diperhitungkan.

3). Pengalaman Mengajar

Masa Kerja Guru

Skor

> 25 tahun

160

23 – 25 tahun

145

20 – 22 tahun

130

17 – 19 tahun

115

14 – 16 tahun

100

11 – 13 tahun

85

8 – 10 tahun

70

5 – 7 tahun

55

Catatan: tugas belajar diperhitungkan dalam pengalaman mengajar

4). Perencanaan dan Pelaksanaan Pembelajaran

a. Perencanaan Pembelajaran

Mengumpulkan 5 buah RP/RPP/SP yang berbeda

Aspek yang dinilai

Skor maks

  1. Perumusan tujuan pembelajaran
  2. Pemilihan dan pengorganisasian materi ajar
  3. Pemilihan sumber /media pembelajaran
  4. Skenario atau kegiatan pembelajaran
  5. Penilaian hasil belajar

5

10

5

10

10

Catatan: Lima RP/RPP/SP dinilai oleh asesor dengan menggunakan Instrumen Penilaian RPP dan dihitung skor reratanya.

Khusus untuk Guru Bimbingan dan Konseling

  1. Perencanaan Program Layanan Bimbingan dan Konseling


Mengumpulkan 5 buah RP/RPP/SP yang berbeda

Aspek yang dinilai

Skor maks

  1. Perumusan tujuan pelayanan
  2. Pemilihan dan pengorganisasian materi layanan
  3. Pemilihan instrumen dan media
  4. Strategi pelayanan
  5. Waktu dan beaya
  6. Rencana evaluasi dan tindak lanjut

4

8

8

8

4

4

Mengumpulkan program semesterandan program tahunan

1. Program semesteran Bimbingan dan

Konseling

2.Program tahunan Bimbingan dan Konseling

2

2

Jumlah skor

40

Catatan :

Kumpulkan lima buah Program Pelayanan Bimbingan Konseling (PPBK) yg mencakup bidang (1) pendidikan/belajar, (2) karir, (3) pribadi, (4) sosial, (5) akhlak mulia/budi pekerti.

RPPBK dinilai oleh asesor dengan menggunakan instrumen penilaian RPPBK dan dihitung skor reratanya

b. Pelaksanaan Pembelajaran

Mengumpulkan dokumen hasil penilaian oleh kepala sekolah dan/atau pengawas tentang pelaksanaan pembelajaran

Aspek yang dinilai

Skor maks
  1. Prapembelajaran (pengecekan kesiapan kelas dan apersepsi)
  2. Kegiatan inti:
  • penguasaan materi
  • strategi pembelajaran
  • pemanfaatan media/sumber belajar
  • evaluasi
  • penggunaan bahasa
  1. Penutup (refleksi, rangkuman, dan tindak lanjut)

10

100

10

Khusus untuk Guru Bimbingan dan Konseling

  1. Pelaksanaan Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling


Laporan pelaksanaan program pelayanan bimbingan konseling

Aspek yang dinilai

Skor maks

  • Agenda kerja guru BK
  • Daftar konseli (siswa)
  • Data kebutuhan dan permasalahan konseli
  • Laporan bulanan
  • Laporan semesteran/tahunan
  • Aktivitas pelayanan bimbingan dan konseling
  1. Pemahaman (antara lain: sosiometri,

kunjungan rumah, catatan anekdot,

konferensi kasus)

  1. Pelayanan langsung (antara lain ; konseling individual, konseling kelompok, konsultasi, bimbingan kelompok, bimbingan klasikal, referal)
  2. Pelayanan tidak langsung (antara lain; papan bimbingan, kotak masalah, bibliokonseling, audiovisual, audio, media cetak: liflet, buku saku)
  • Laporan hasil evaluasi program, proses, dan produk bimbingan dan konseling, serta tindak lanjutnya.

5

5

10

5

5

20

40

15

15

Jumlah skor

120

Laporan Pelaksanaan Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling dinilai oleh asesor.

5). Penilaian dari atasan dan pengawas

Bukti

Aspek yang dinilai

Skor maks

Dokumen hasil penilaian oleh atasan dan/atau pengawas tentang kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial
  • Ketaatan menjalankan ajaran agama
  • Tanggung jawab
  • Kejujuran
  • Kedisiplinan
  • Keteladanan
  • Etos kerja
  • Inovasi dan kreativitas
  • Kemampuan menerima kritik dan saran
  • Kemampuan berkomunikasi
  • Kemampuan bekerja sama

5

5

5

5

5

5

5

5

5

5

Jumlah

50

6). Prestasi Akademik

a. Lomba dan karya akademik

Prestasi

Tingkat*

Skor

Bukti juara lomba akademik Internasional

Nasional

Provinsi

Kabupaten/Kota

Kecamatan

60

40

30

20

10

Sertifikat keahlian/keterampilan (Guru SMK, Guru OR) Internasional

Nasional

Regional

30

20

10

Bukti menemukan karya monumental Pendidikan

Nonpendidikan

60

40

*Yang dimaksud juara adalah juara I, II, dan III. Kejuaraan dinilai pada setiap

kegiatan (event).

b. Pembimbingan kepada teman sejawat / siswa

Jenis Pembimbingan teman sejawat/siswa

Skor

Instruktur Internasional : 40 per-keg

Nasional : 30 per-keg

Kab/Kota : 20 per-keg

Guru Inti/Tutor/Pemandu

20 per-periode kegiatan

Pamong PPL calon guru 1-4 orang per-semester : 10

5-8 orang per-semester : 15

Lebih dari 8 orang per-semester : 20

Pembimbingan siswa dalam berbagai lomba/karya sampai meraih juara


Tingkat Internasional     : 40

Tingkat Nasional     : 25

Tingkat Provinisi     : 20

Tingkat Kabupaten/Kota    : 15

Tingkat Kecamatan     : 10

Pembimbngan siswa dalam berbagai lomba/karya tidak mencapai juara

5 per-keg

Catatan : Jenis pembimbingan teman sejawat sebagai instruktur, guru inti, guru pemandu, atau tutor diakui (diberi skor) apabila guru ybs telah memiliki hak untuk tugas tsb yg dibuktikan dengan pernah mengikuti dan memiliki sertifikat trainingof trainer (TOT).

7). Karya Pengembangan Profesi

Jenis Dokumen / Karya

Publikasi

Skor

Relevan

Tidak relevan

  1. Buku*
Nasional

50

35

Provinsi

40

25

Kabupaten/Kota

30

15

  1. Artikel
Jurnal Terakreditasi

25

20

Jurnal Tdk Terakreditasi

10

8

Majalah/koran nasional

10

8

Majalah/koran local

5

3

  1. Menjadi reviewer buku, penulis soal EBTANAS/UN/UASDA

2 per kegiatan

  1. Modul/Diktat dicetak local (Kab/Kota)
Minimal mencakup materi 1 semester skor 20
  1. Media/Alat pelajaran
Setiap membuat satu media/alat pelajaran diberi skor 5
  1. Laporan penelitian di bidang pendidikan
Setiap satu laporan diberi skor maksimum 15**

Sebagai ketua 60% dan anggota 40%

  1. Karya teknologi (TTG) dan karya seni (patung, kriya, lukis, sastra, musik, tari,dll)
Setiap karya seni diberi skor maksimum 15***

*)Buku publikasi nasional adalah buku yang dipakai secara nasional dan ber-ISBN dan ditetapkan oleh BSNP sebagai buku standar; publikasi provinsi adalah buku ber-ISBN; publikasi kab/kota adalah buku yang tidak ber-ISBN.

**Penskoran mempertimbangkan kualitas laporan yg meliputi aspek masalah, telaah teoretik, metode, hasil, dan tata tulis ilmiah.

***Penskoran mempertimbangkan kualitas, karya teknologi mempertimbangkan manfaat, dan karya seni mempertimbangkan estetika.

8). Keikutsertaan dalam forum ilmiah

Tingkat

Relevan

Tidak Relevan

Pemakalah

Peserta

Pemakalah

Peserta

Internasional

50

10

25

5

Nasional

40

8

20

4

Provinsi

30

6

15

3

Kabupaten/Kota

20

4

10

2

Kecamatan

10

2

5

1

Dinilai relevan apabila materi forum ilmiah mendukung kompetensi professional dan pedagogik

9). Pengalaman menjadi pengurus organisasi di bidang kependidikan dan

sosial

a. Pengurus organisasi di bidang kependidikan dan sosial

Tingkat Organisasi

Skor per tahun

Kependidikan

Sosial

Internasional

10

7

Nasional

7

5

Provinsi

5

4

Kabupaten/Kota

4

3

Kecamatan

3

2

Desa/Kelurahan

2

1

b. Tugas Tambahan

Tugas Tambahan Skor per tahun
Kepala sekolah

4

Wakil kepala sekolah/ketua jurusan/kepala lab/ kepala bengkel

2

Pembina kegiatan ekstra kuriluler (pramuka, drumband, mading, KIR, dsb.)

1

10). Penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan

Tingkat

Skor

Internasional

Nasional

Provinsi

Kabupaten/Kota

30

20

10

5

Melaksanakan tugas di daerah khusus*

Setiap tahun 10

Daerah khusus adalah daerah yg terpencil atau terbelakang; daerah dengan kondisi masyarakat adat yg terpencil; daerah perbatasan dengan negara lain; daerah yg mengalami bencana alam; bencana sosial, atau daerah yang berada dalam keadaan darurat lain.

Ketentuan Kelulusan

Batas minimal kelulusan (passing grade) adalah 850, dengan mengikuti ketentuan pengelompokan sepuluh komponen portofolio ke dalam unsur A, B, dan C sebagai berikut :

Unsur A, Kualifikasi dan Tugas Pokok (total skor unsur A minimal 340 dan semua sub unsur tidak boleh kosong, dan skor komponen perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran/A.3 minimal 120). Unsurnya terdiri dari :

1.

Kualifikasi akademik

2.

Pengalaman mengajar

3.

Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran


Unsur B, Pengembangan Profesi (total skor unsur B minimal 300 , khusus untuk Guru yang ditugaskan pada daerah khusus minimuml 200, dan skor komponen penilaian dari atasan dan pengawas/ B.2 minimal 35). Unsur ini terdiri dari empat komponen sbb:

1.

Pendidikan dan pelatihan

2.

Penilaian dari atasan dan pengawas

3.

Prestasi akademik

4.

Karya pengembangan profesi


Unsur C, Pendukung Profesi (total skor unsur C tidak boleh nol ). Unsur C terdiri dari komponen sbb:

1.

Keikutsertaan dalam forum ilmiah

2.

Pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial

3.

Penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan

3. Penutup

Telah dibahas tantangan pendidikan kita untuk masa depan dan bagaimana guru harus ditingkatkan profesionalismenya. Mau tidak mau dunia pendidikan kita harus bahu membahu meningkatkan diri agar bisa menjawab tantangan tersebut. Dalam kaitan dengan itu, sesungguhnya pendidikan kita menghadapi kendala yang tak kurang seriusnya dibandingkan dengan tantangan tersebut.

Dalam kaitan dengan itu, minimal dapat diidentifikasi dua kendala pokok yaitu: pertama, kesiapan teknis komponen-komponen yang terkait dengan upaya perbaikan pendidikan. Dengan adanya berbagai upaya perbaikan seperti otonomi pendidikan memang memberikan angin segar bagi kebermaknaan pendidikan. Pengalaman beberapa tahun ini adalah pengalaman yang sangat berharga bagi daerah otonom untuk memperbaiki kinerjanya yang masih kelihatan secara nyata kedodoran diberbagai aspek yang terkait dengan inovasi penyelenggaraan tersebut. Kedua, faktor budaya meminta petunjuk yang masih kental kelihatan bagi penyelenggara pendidikan. Malah diberbagai kesempatan wawancara dengan guru menggambarkan kondisi yang mengkhawatirkan, seperti ketidak berdayaan guru untuk merumuskan kurikulum yang sesuai dengan tingkat satuan pendidikannya, bingungnya menghadapi uji sertifikasi guru dan lain sebagainya. Hal tersebut tidak boleh terjadi, lebih-lebih dikalangan guru sebagai ujung tombak. Idealisme keguruan, kreativitas, komitmen guru harus tumbuh dalam rangka peningkatan profesinya. Guru kita harus profesional, profesionalisme guru menyangkut minimal tiga hal, yaitu : (i) keahlian (expertise), (ii) komitmen dan tanggungjawab (responsibility), dan (iii) keterlibatan dalam organisasi profesi (involvement in professional organizations).

Keahlian menyangkut konten keilmuan yang harus dikuasai guru sesuai dengan bidang yang didalami; dan hal ini diperoleh melalui pendidikan formal. Komitmen dan tanggungjawab merupakan nilai profesi yang dianut terkait dengan pelaksanaan tugas (tugas pokok guru) demi kemaslahatan peserta didik. Sedangkan keterlibatan dalam suatu organisasi profesi diperlukan dalam rangka meningkatkan secara berkelanjutan keahlian maupun komitmen guru terhadap profesinya. Sertifikasi guru merupakan salah satu pendekatan untuk meningkatkan profesionalisme guru kita. Berdasarkan konsep di atas, bila dirumuskan dalam suatu formula, maka profesi guru dapat dirumuskan sebagai fungsi dari keahlian (KA), komitmen (KM), dan kinerja (KR); sehingga dapat diformulasi sebagai berikut: Profesi = f (KA + KM + KR), dan bila digambarkan secara kuadrantik terujud sbb:



DAFTAR BACAAN

Buchori, M., (2000). Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Gramedia.

Delors, J. et al. (1996). Learning the Treasure Within, Education for the 21th

Century. New York : UNESCO.

Depdiknas R.I (2003). UUSPN RI No. 20 Tahun 2003. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas R.I (2005) UUGD RI No. 14 Tahun 2005. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas R.I (2005) PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas R.I (2007) Permen Diknas Nomor 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi

Guru. Jakarta: Depdiknas

Depdiknas R.I. (2007). Panduan Sertifikasi Guru Dalam Jabatan. Jakarta :

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Jalal, F. & Supriadi, D., (2001). Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi

Daerah. Yogyakarta: Adicipta Karya Nusa.

Download Tulisan

EDUCATIONAL-BASED UNIVERSITY CURRICULUM

EDUCATIONAL-BASED UNIVERSITY CURRICULUM

(Competency-Based Curriculum for Wider Mandate University)

(Disampaikan dalam Seminar Kurikulum pada IKIP Saraswati Tabanan)

25 Agustus 2007

—————————————————————————————————–

Oleh

Nyoman Dantes

—————————————————————————————————–

A. Pengantar

1.Rasional

Konstruksi masyarakat masa depan ditandai dengan semakin menguatnya semangat Bhineka Tunggal Ika yang terwujudkan dalam implementasinya pada sistim sosial yang mengakar pada masyarakat, ekonomi yang berorientasi pasar dengan perspektif global, akulturasi multikultur dalam bidang pendidikan, serta moralitas hukum. Hal tersebut mengindikasikan orientasi pembangunan yang mengedepankan kepentingan mayoritas yang berimplikasi pada perlunya diupayakan peningkatan mutu sember daya manusia, peningkatan aktivitas sektor ekonomi riil, pengembangan kreativitas dan produktivitas kelembagaan, model akomodasi multikultur masyarakat dalam bidang pendidikan, dan pengembangan hati nurani kemanusiaan melalui sektor pendidikan.

Paradigma baru pembangunan pendidikan tinggi yang digariskan oleh pemerintah, seiring dengan pemberlakuan otonomi pendidikan, telah menghadirkan warna baru bagi setiap pelaku dan “penikmat” lulusan pendidikan tinggi (stake holder). Pada Renstra Depdiknas 2005-2009 tentang pendidikan tinggi, dengan tegas telah digariskan bahwa pengelolaan pendidikan tinggi harus mengedepankan: (1) meningkatkan pemerataan dan perluasan akses terhadap pendidikan tinggi, (2) meningkatkan mutu dan relevansi sesui dengan kebutuhan pasar kerja, dan dengan kebutuhan pengembangan ilmu pengetahuan (iptek) dalam rangka memberikan sumbangan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa, dan (3) meningkatkan kinerja perpendidik (guru/dosen)an tinggi dengan jalan meningkatan produktivitas, efisiensi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan layanan pendidikan tinggi secara otonom melalui Badan Hukum Pendidikan (BHP) atau Badan Layanan Umum (BLU).

Dengan diundangkannya UU. RI No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta diikuti dengan PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan terjadi perubahan mandasar pada paradigma pendidikan di Indonesia. Dalam pembaharuan tersebut ditetapkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional dirumuskan sebagai terwujutnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua Warga Negara Indonesia, berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip yang dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan.

Salah satu prinsip tersebut adalah bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Paradigma pengajaran yang telah berlangsung sejak lama lebih menitikberatkan peran pendidik (guru/dosen) dalam mentransfer pengetahuan kepada peserta didik. Paradigma tersebut bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Untuk dapat menyelenggarakan pendidikan berdasarkan pergeseran paradigma tersebut, diperlukan acuan dasar bagi setiap satuan pendidikan yang meliputi serangkaian kriteria (kriteria minimal) sebagai pedoman untuk kendali mutu yang bersifat demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreativitas dan dialogis

Dalam kaitan dengan hal di atas, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di Indonesia , mengalami tantangan baru, baik dalam pengelolaan programnya maupun dalam rancangan program (kurikulum). Lebih-lebih saat ini semua LPTK Negeri telah mengkonversi diri menjadi Universitas, yang sudah pasti juga dituntut untuk berbenah dan mengantisipasi berbagai dinamika pembangunan pendidikan yang sering tidak terprediksi dengan akurat oleh para pelaku pendidikan itu sendiri. Melalui wadah baru itu LPTK diharapkan mampu menyesuaikan berbagai program dan aktivitas akademiknya sejalan dengan karakteristik universitas, walaupun harus tetap menjadikan “pendidikan” sebagai “roh atau jiwa” dari segala program yang direncanakan dan dilaksanakan. Bagi LPTK yang masih tetap pada statusnya semula, juga tidak terlepas dengan permasalahan yang mendasar dalam memformat kurikulumnya, dikarenakan dengan adanya peluang yang terbuka bagi para sarjana non LPTK untuk ikut berkiprah pada profesi pendidikan. Hal ini menjadikan profesi pendidik terbuka, yang sudah tentenya akan memunculkan berbagai permasalahan kualitas ketenagaan ke depan.

Terkait dengan hal di atas, ditinjau dari dimensi akademik, setiap LPTK dengan pasti dalam Renstra-nya harus menggariskan bahwa pendidikan tetap menjadi inti dan dasar pijakan utama pada setiap program atau aktivitasnya. Persoalannya sekarang adalah, bagaimanakah model dari pengemasan “pendidikan” atau program-program di LPTK mampu berfungsi multy entry dan multy exit, dalam pengembangan dan pembinaan keilmuan dan lulusannya. Untuk itu, diperlukan sebuah model kurikulum yang mampu “menjadikan bidang pendidikan sebagai core values dalam pengembangan kompetensi lulusan selanjutnya. Pengembangan kurikulum yang seperti itu, lazim dikenal dengan “education-based university” (EBU). Pendekatan kurikulum ini sangat cocok (menurut hemat penulis) dikembangkan pada LPTK yang wider mandate dan perlu dirintis pada LPTK yang non wider mandate (walaupun secara pasti harus meredisain program akademiknya). Pendekatan ini memberikan beberapa peluang dan potensi yang bisa dioptimalkan, baik dari sisi penguatan bekal keilmuan lulusan maupun penguatan “daya jual” kelembagaan secara terintegrasi. Adapun peluang dan added values dari pendekatan ini diantaranya adalah: (1) memberikan keleluasaan kepada setiap jurusan/prodi untuk meningkatkan student body dan kualitas lulusannya dilihat dari perspektif kesiapan lulusan bersaing di masyarakat, (2) memperluas nilai dan aplikasi demokratisasi dalam pendidikan serta mengurangi angka dropout, (3) meningkatkan daya jual dan akuntabilitas lembaga di mata masyarakat dan kompetensi antar lembaga pendidikan tinggi, (4) memberikan peluang terwujudnya multy-entry dan multy-exit dalam proses kegiatan instruksional, (5) memberikan peluang bagi staf edukatif untuk berkreasi secara akademik bagi kepentingan dan tanggungjawab profesionalnya, (6) memberikan peluang dan kebebasan kepada mahasiswa untuk memilih kualifikasi kesarjanaan yang benar-benar sesuai dengan kapabilitas personal dan tuntutan pangsa pasar kerja di masyarakat, dan (7) meningkatkan daya saing lembaga dalam pelaksanaan program-program kependidikan, khususnya peningkatan profesi kependidikan.

Berdasarkan beberapa keunggulan di atas, tampaknya model EBU layak dikaji/dikembangkan sebagai sebuah “inovasi dan kreasi akademik” yang mencerminkan keunggulan dan aktualisasi jati diri masing-masing LPTK.

2. Landasan Formal

Ada sejumlah landasar hukum material dan formal yang menjadi dasar pengembangan Kurikulum Model EBU ini, yaitu :

  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ketentuan dalam UU 20/2003 yang mengatur KTSP, adalah Pasal 1 ayat (19); Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 32 ayat (1), (2), (3); Pasal 35 ayat (2); Pasal 36 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3); Pasal 38 ayat (1), (2).
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Ketentuan di dalam PP 19/2005 yang mengatur KTSP, adalah Pasal 1 ayat (5), (13), (14), (15); Pasal 5 ayat (1), (2); Pasal 6 ayat (6); Pasal 7 ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8); Pasal 8 ayat (1), (2), (3); Pasal 10 ayat (1), (2), (3); Pasal 11 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 13 ayat (1), (2), (3), (4); Pasal 14 ayat (1), (2), (3); Pasal 16 ayat (1), (2), (3), (4), (5); Pasal 17 ayat (1), (2); Pasal 18 ayat (1), (2), (3); Pasal 20. Sedangkan untuk beban SKS minimal dan maksimal program pendidikan pada perpendidik (guru/dosen)an tinggi dirumuskan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Permen.
  • Kepmen P dan K RI No: 0217/V/1995, 25 Juli 1995, tentang Kurikulum Nasional Program Studi Sarjana Pendidikan.
  • Kepmen DIKNAS RI No: 232/V/2000, tanggal 20 Desember 2000, tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa
  • Kepmen DIKNAS RI No: 045/V/2002, tanggal 2 April 2002, tentang Kurikulum Inti PT.
  • Standar Isi.(SI) mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Termasuk dalam SI adalah : kerangka dasar dan struktur kurikulum, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) setiap mata pelajaran/kuliah pada setiap semester dari setiap jenis dan jenjang pendidikan dasar dan menengah termasuk di Perguruan Tinggi (PT)-walaupun untuk PT harus diupayakan sendiri oleh PT masing-masing dengan mengacu pada standar nasional pendidikan (SNP).
  • Standar Kompetensi Lulusan. SKL merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagaimana tercantum pada ketentuan umum PP 19 Tahun 2005.

B. Tujuan Pengembangan Model EBU

Secara rinci, tujuan dari pengembangan model EBU dapat dideskripsikan sebagai berikut:

  1. merealisasikan visi dan misi LPTK secara komprehensif dan berkelanjutan.
  2. mendukung prakarsa pemerintah dalam meningkatkan kesempatan memperoleh pendidikan bagi masyarakat dengan sistim multy-entry dan multy-exit.
  3. memberikan peluang yang optimal kepada mahasiswa untuk memilih kualifikasi yang terbaik bagi dirinya dan pemenuhan kebutuhan kualifikasi ketenagaan yang sesuai dengan pangsa pasar di masyarakat.
  4. menjadikan pendidikan sebagai core values dalam penyelenggaraan segala aktivitas akademik secara melembaga.
  5. menjawab tantangan dinamika kebutuhan kualifikasi tenaga kependidikan dan nonkependidikan yang sejalan dengan paradigma baru penyelenggaraan pendidikan tinggi yang telah digariskan oleh Departemen Pendidikan Nasional.
  6. memperkuat basik keilmuan lulusan, khususnya tenaga kependidikan sehingga lebih berdaya dalam berkompetisi di pangsa pasar.
  7. meningkatkan daya saing lembaga dalam pelaksanaan program-program kependidikan, khususnya peningkatan profesi kependidikan.

Model EBU diharapkan dapat menghasilkan: (1) pengelolaan kurikulum yang dapat membantu mahasiswa mengembangkan potensi diri secara optimal dan sesuai dengan tuntutan pangsa pasar, (2) model demokratisasi dan pemerataan pendidikan bagi masyarakat secara meluas, dan (3) model otonomi pengelolaan pendidikan dengan meningkatkan peranan jurusan dan staf dosen dalam mengembangkan berbagai inovasi demi peningkatan kualitas lulusan.

C. Pendekatan, Strategi, dan Prosedur Pelaksanaan EBU

Model EBU berupaya mengurangi angka dropout di kalangan mahasiswa, dengan memberikan peluang yang optimal untuk berakselerasi dan “memilih” selama mengikuti pendidikan, sehingga nantinya lahir lulusan yang berkualitas dan benar-benar sesuai dengan jenis kualifikasi tenaga yang dibutuhkan oleh pangsa pasar. Upaya ini menggunakan pendekatan: (1) sinergis-mutualis, dengan mengurai setiap indikator kependidikan dalam keluasan kewenangan keilmuan, sehingga “derajat” kependidikan dengan sendirinya semakin ditinggikan, baik secara keilmuan maupun daya jualnya di masyarakat, (2) pendekatan kolaboratif-demokratis, dengan asumsi bahwa lembaga pendidikan tinggi harus membuka kesempatan secara luas bagi setiap komponen masyarakat untuk memperoleh pendidikan tinggi, sehingga terpola kolaborasi yang saling menguntungkan bagi kemaslahatan umat manusia, (3) berkelanjutan, dengan asumsi bahwa semua mahasiswa akan memperoleh sertifikat kualifikasi formal bilamana mereka telah mengikuti pendidikan minimal satu tahun, sesuai dengan bidang keilmuan yang dipilih, sehingga tidak ada proses pendidikan yang harus berhenti atau dihentikan oleh waktu maupun kesempatan, dan (4) multicultur-competency, dengan asumsi bahwa keragaman budaya dan kemampuan personal masyarakat akan dapat terakomodasi secara optimal, bilamana dimediasi oleh sebuah program pendidikan (kurikulum) yang bersifat multy-entry dan multy-exit.

Untuk merealisasikan model EBU, ada seperangkat strategi yang perlu dikembangkan, antara lain: (1) pengumpulan dan pengkajian secara komprehensif berbagai dokumen kebijakan Dirjen Pendidikan Tinggi yang terkait, melaksanakan studi kelayakan, dan pelaporan resmi tentang target kompetensi unggulan, (2) diskusi secara optimal dengan para pakar internal untuk menentukan arah kebijakan dan perancangan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator keberhasilan, dan sebaran kompetensi profesi dan keilmian, serta struktur kurikulum, (3) studi lapangan untuk menggali dan menganalisis fakta kebutuhan tenaga profesi kependidikan dan non kependidikan dalam rangka perencanaan, implementasi, dan evaluasi model EBU, (4) desiminasi dan seminar internal, dari level rektorat sampai pada level staf edukatif dan administrasi untuk penyamaan pemahaman secara terperinci tentang mekanisme perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi model EBU serta kekuatan dan kelemahannya, (5) pengembangan kuisioner dan wawacara untuk memperoleh informasi dari berbagai tingkatan termasuk mahasiswa terkait dengan pelaksanaan model EBU.

Melalui strategi ini, diharapkan akan diperoleh profil yang akurat dan komprehensif tentang EBU sebagai sebuah “center of excellen LPTK” dalam konstalasi penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia.

Prosedur lapangan dalam implementasi model EBU dilakukan melalui: (1) identifikasi dan analisis kebutuhan serta tantangan lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan di era otonomi dan kehidupan global, (2) perencanaan program-program (kegiatan) yang sistemik, yang terdiri atas tujuan, komponen dan proses, sebaran dan bobot kompetensi termasuk penyusunan karakteristik profesional dan keilmuan masing-masing Jurusan/Prodi, dan mekanisme jaminan standar mutunya di masing-masing tingkatan, (3) implementasi model secara utuh dan menyeluruh, dan (4) gradualisasi evaluasi serta pengembangan.

D. Refleksi – Analisis Model (Education-Based University Curriculum)

Saat ini secara umum dikenal dua model penyelenggaraan pendidikan prajabatan pendidik (guru/dosen), yaitu: concurrent dan consecutive models. Dalam concurrent model, materi bidang studi disiplin ilmu diberikan bersama atau paralel sejak di tingkat I dengan materi kependidikan, khususnya materi tentang instructional strategy. Model ini dapat dikatakan menjadi “satu-satunya” model yang secara luas dianut oleh LPTK dimasa lalu. Pada model yang kedua (consecutive model), para calon pendidik (guru/dosen) dibekali terlebih dahulu — selama masa pendidikan tertentu—dengan penguasaan materi bidang studi disiplin ilmu yang akan dibelajarkannya kelak, baru kemudian mereka diberi materi kependidikan (jadi dilakukan secara berurutan) atau bilamana berniat jadi pendidik (guru/dosen), maka kepada mereka diberikan pendidikan profesi. Kedua model ini mempunyai argumen masing-masing, juga memiliki pendukung yang luas dilakangan dunia pendidikan tinggi.

Sebagai contoh argumentatif, mengingat tugas pendidik (guru/dosen) bukan hanya mengajar melainkan juga membina kepribadian peserta didik, maka menurut pendukung concurrent model, pembinaan calon pendidik (guru/dosen) seharusnya dilakukan sejak mahasiswa masuk ke institusi kependidik, agar kepribadiannya sebagai calon pendidik (guru/dosen) dan kecintaannya akan profesi kependidikan tumbuh dengan baik. Pembinaan hal-hal yang sifatnya kepribadian tersebut diyakini tidak bisa dilakukan sesaat, hanya beberapa bulan di akhir pendidikan. Sebaliknya proponent consecutive model berargumen bahwa yang paling penting bagi pendidik (guru/dosen) adalah penguasaan materi bidang studi, sedangkan aspek kependidikannya lebih merupakan “supported factor“, sehingga dapat diberikan kemudian dengan masa pendidikan yang lebih singkat. Argumen klasik dari kelompok ini adalah dengan menyebut beberapa contoh, bahwa seseorang bisa menjadi pendidik (guru/dosen) yang baik tanpa pernah secara sistimatis mempelajari ilmu pendidikan dan pengajaran. Pendukung aliran ini juga menyebutkan bahwa penganut model concurrent yang menjadi “lawannya” kadangkala terlalu asyik dengan aspek metodologis dalam pendidikan keguruan, sehingga mengabaikan aspek materi bidang studinya.

Diskusi dan berbagai penelitian masih terus “terbuka” untuk membuktikan keunggulan dari masing-masing model ini. Bahkan ada beberapa IKIP yang telah berubah menjadi universitas terus mempertahankan model concurrent, namun realitasnya lulusan mereka “kalah saing” dengan lulusan universitas (setelah memperoleh akte mengajar) dalam memperebutkan lowongan kerja di bidang kependidikan, yang sebenarnya merupakan trade mark-nya. Kondisi ini tentu merupakan sesuatu yang tidak termimpikan oleh para universitas eks IKIP. Dilema ini diperkuat lagi dengan disahkannya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang SPN dan pemberlakuan UU Guru dan Dosen, yang salah satu klausulnya “membuka” kepada lulusan universitas untuk menjadi tenaga kependidikan dengan tambahan pendidikan profesi antara 36 – 40 SKS.

Merefleksi “perdebatan terhadap dua model” di atas, dan mengantisipasi dinamika kebijakan dalam bidang pendidikan, khususnya untuk tenaga profesional, tampaknya model kurikulum LPTK harus dikemas ke dalam sebuah wadah yang mampu menjadikan pendidikan sebagai core values dalam keluasan bidang garapan bidang keilmuan murni. Tentu merancang model seperti ini bukanlah pekerjaan mudah dan dapat terlaksana dalam waktu yang singkat. Oleh sebab itu, komitmen dan kontribusi dari segenap civitas akademik merupakan taruhan bagi keberhasilan kerja tersebut. Seperti telah dijelaskan pada bagian rasional, model kurikulum yang dipandang visibel untuk dikembangkan oleh LPTK adalah model education-based university (EBU). Pada tataran aplikasinya, model ini akan memberikan peluang yang sama kepada program pendidikan dan non kependidikan dari awal untuk berjalan beriringan, namun pada limit tertentu akan dilakukan “free-choice stage” untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memilih kualifikasi kesarjanaan apa yang diinginkan, walaupun di awal masuknya mereka ada di kapling yang berbeda. Di sisi lain, bilamana mahasiswa “harus berhenti” karena sesuatu hal pada tingkatan setelah akhir semester 2 (tahun I), maka dengan pemberian tambahan syarat (legalisasi kualifikasi yang terencana khusus pada bidang keterampilan/vocasi) tertentu kepadanya dapat diberikan ijasah/sertifikat kualifikasi vocasional sesuai dengan “titik” dimana mereka berhenti mengikuti perkuliahan.

Model pengelolaan kurikulum yang seperti ini mencerminkan dimensi: multy-entry dan multy-exit, demokratisasi pendidikan, penguatan basis keilmuan tenaga kependidikan, dan wawasan keunggulan lembaga. Namun dalam aplikasinya, masih perlu dikaji beban SKS minimal dan maksimal yang harus “terselesaikan” oleh setiap mahasiswa untuk dapat “dikatagorikan” sebagai sarjana pendidikan yang profesional (sarjana pendidikan dengan sertifikat profesi kependidikan) atau sarjana keilmuan yang mandiri. Berdasarkan paparan di atas, dapat kita lihat bahwa model EBU “jauh lebih fleksibel dan menjanjikan” dibandingkan kedua model (concurrent dan consecutive) di atas, walaupun “roh atau jiwa” dari kedua model tersebut teraplikasikan secara lebih baik pada model EBU itu sendiri. Apa yang tertulis dan ditawarkan pada sajian ini masih “terbuka lebar” ruang bagi segenap civitas akademik untuk mendiskusikannya.

E. Aplikasi Konsep EBU Secara Diagramatik

Ada sejumlah tahapan yang harus dilakukan dalam rangka pengembangan model EBU, sehingga sampai pada terminal lulusan yang berkualitas dengan daya saing yang tinggi. Adapun tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Penetapan program studi kependidikan dan non kependidikan yang akan diselenggarakan (mengacu pada Renstra dan Renop) di masing-masing Fakultas yang ada di lingkungan LPTK.
  2. Penetapan standar setiap jurusan/program studi
  3. Penetapan standar kompetensi dan kompetensi dasar serta struktur kurikulum secara bertahap untuk masing-masing mata kuliah.
  4. Penetapan jumlah beban satuan kredit semester dan/atau tingkat (mengacu pada rancangan multy-entry dan multy-exit).
  5. Penetapan mekanisme pengelolaan pada level Institusi, fakultas, dan jurusan, serta kewenangan dari masing-masing level untuk “berkreasi secara akademik” dalam koridor kelembagaan (setelah langkah-langkah di atas dilaksanakan, maka diperlukan Tim Pengembang di setiap Jurusan dan/atau Program Studi sesuai dengan visi dan misinya masing-masing dengan mengacu pada butir a sampai dengan g di atas).
  6. Pengembangan candraan kompetensi keilmuan dan kependidikan yang akan ditawarkan kepada mahasiswa di setiap tingkatan dan/atau satuan semester dengan mempertimbangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ada.
  7. Pengorganisasian materi pada setiap tingkatan dan jalur kualifikasi (kependidikan dan non kependidikan).
  8. Penetapan model dan jumlah penawaran beban SKS pada setiap semester/tingkatan untuk masing-masing kualifikasi yang dikembangkan oleh fakultas dan/atau jurusan.

Secara diagramatik, mekanisme di atas dapat dijabarkan sebagai berikut.

Sementara desain aplikasi dari model EBU pada konteks sebaran beban kompetensi dari masing-masing jalur kualifikasi dapat dijabarkan sebagai berikut:


Keterangan:

  1. Untuk semua jenis kualifikasi (kependidikan maupun non kependidikan), dari semester I sampai dengan semester VI akan diberikan materi bidang studi dengan bobot SKS yang sama, yaitu berkisar antara 108 – 120 SKS.
  2. Memasuki semester VII sampai dengan semester VIII, untuk jenis kualifikasi kependidikan akan diberikan mata kuliah bidang studi dan pendidikan profesi antara 36 – 40 SKS (16 SKS pendidikan profesi I, dan 24 bidang studi). Sedangkan untuk jenis kualifikasi non kependidikan, akan diberikan materi bidang studi (keilmuan) antara 36 – 40 SKS.
  3. Total SKS yang harus diselesaikan oleh seorang mahasiswa untuk memperoleh gelar kesarjanaan, baik sarjana pendidikan bidang studi maupun sarjana keilmuan (bidang studi) berkisar antara 144 – 160 SKS.
  4. Bagi sarjana pendidikan, untuk menempuh pendidikan profesi II akan diwajibkan untuk mengikuti kuliah dengan beban 24 SKS untuk memperoleh pendidikan profesi II (prasyarat untuk dapat diterima sebagai “pelamar” tenaga pendidik (guru/dosen)) sesuai dengan UU Guru dan Dosen, serta PP 19/2005, yang kisarannya kurang lebih 1 tahun.
  5. Bagi sarjana bidang studi/keilmuan, untuk memperoleh sertifikat profesi kependidikan, diwajibkan untuk mengikuti perkuliahan dengan beban 36 – 40 SKS. Sertifikat profesi ini akan menunjukkan bahwa seseorang berwenang sebagai pendidik (guru/dosen) bidang studi tertentu sesuai dengan kualifikasi keilmuannya, sehingga bidang studinya harus linier, yang ditempuh selama ± 1,5 tahun. Contoh, seorang lulusan sarjana fisika, untuk memperoleh kewenangan sebagai pendidik (guru/dosen) fisika, maka dia harus mengambil pendidikan profesi bidang fisika.
  6. Bagi mahasiswa, baik yang awalnya berada pada jalur kependidikan maupun non kependidikan, bilamana mereka “berhenti” mengikuti program perkuliahan minimal setelah menyelesaikan pendidikannya selama 1 tahun (akhir semester 2), dengan tambahan beberapa SKS bidang keterampilan vocasi, dapat dirancang untuk diberikan ijasah/sertifikat Diploma I atau disesuaikan dengan “titik” dimana mereka berhenti, dengan catatan bahwa mereka wajib mengikuti program praktek lapangan atau program lain yang dirancang oleh masing-masing Jurusan/Prodi. Setelah itu, barulah kepada mereka akan diberikan ijasah Diploma.
  7. Bagi mahasiswa yang di awal masuknya memilih jenis kualifikasi kependidikan, namun setelah mengakhiri semester VI (akhir tahun ke-3), dimungkinkan untuk pindah jalur ke non-kependidikan, sehingga mereka nantinya keluar sebagai sarjana murni (keilmuan).
  8. Pengorganisasian sebaran kompetensi ke dalam elemen kompetensi dirumuskan oleh masing-masing Jurusan/Prodi sehingga sesuai dengan visi dan misi yang diembannya.
  9. Untuk standarisasi isi dan proses, perlu dibentuk “tim khusus” dari masing-masing Jurusan/Prodi, sehingga akuntabilitas akademik dan sosialnya dapat ditinggikan serta sesuai dengan tuntutan kedepan.
  10. Adapun contoh sebaran kompetensi dan elemen kompetensi yang saat ini masih diberlakukan sesuai dengan “kebijakan formal bidang pendidikan” dapat dijabarkan sebagai berikut: Jumlah keseluruhan beban untuk pendidikan profesi, baik untuk jenis kualifikasi kependidikan maupun nonkependidikan adalah 40 SKS, namun sebaran dan waktu pemunculannya (penawarannya) yang berbeda. Jika pada jalur kependidikan, dimunculkan pada semester VII, VIII, IX, dan X, maka untuk jalur nonkependidikan dirancang dalam 3 (tiga) semester, yaitu pada semester IX, X, dan XI.
  11. Untuk Jurusan yang belum memiliki Program Studi nonkependidikan, maka sebaran dan beban SKS pada setiap semesternya dapat dijabarkan sebagai berikut (Alternatif untuk persiapan menyelenggarakan program studi paralel yaitu kependidikan dan nonkependidikan).

Keterangan:

Pada semester I – VI diberikan mata kuliah bidang studi dengan beban antara 80 – 120 SKS. Dan pada semester VII – VIII ditambahkan lagi mata kuliah bidang studi sebanyak 24 SKS. Sementara untuk mata kuliah Pendidikan Profesi I sebesar 24 SKS bisa disebarkan penawarannya mulai di semester III sampai dengan semester VIII. Setelah mereka menyelesaikan semester VIII (Bidang Studi dan Pendidikan Profesi I), maka kepada mereka diwajibkan lagi untuk mengambil mata kuliah Pendidikan Profesi II sebanyak 16 SKS di semester IX. Dengan pola tersebut, seorang mahasiswa akan dapat lulus dengan ijasah sarjana pendidikan bidang studi (S.Pd. Matematika atau S.Pd. PKn), dalam jangka waktu 4,5 tahun (9 semester), dengan beban antara 152 – 160 SKS.

(m) Pemetaan yang bisa dirancang saat ini, sesuai dengan landasan hukum formal

bidang pendidikan yang ada adalah sebagai berikut:

Menurut Kepmen 232/2000 dan Kepmen 045/2002, sebaran kompetensi dan elemen kompetensi yang dimungkinkan dapat dijabarkan sebagai berikut.

Elemen Kompetensi

Kompetensi

MPK

MKK **

MKB

MPB

MBB

  1. UTAMA (60 – 80 %)
  1. PENUNJANG (20-40)
  1. LAIN

TOTAL SKS (S1)

144-160

= Bidang Studi

** = Dasar Keilmuan

Sementara menurut UU Nomor 14 Tahun 2005 dan PP Nomor 19/2005, untuk pindah profesi sebaran kompetensi yang harus dimiliki dan bila dikonvergensi dengan ketentuan di atas, khususnya menyangkut elemen kompetensi yang harus ada dan dikembangkan dapat dijabarkan sebagai berikut.

Elemen Kompetensi

Kompetensi

MPK

MKK **

MKB

MPB

MBB

  1. Pedagogik
  1. Profesional
  1. Kepribadian
  1. Sosial

Total SKS (S1)

152 SKS

Bagaimana pengelompokan dan sebaran kompetensi dan elemen kompetensi untuk setiap jenis kualifikasi (kependidikan dan non kependidikan), perlu dirancang secara bertahap, yaitu mulai dari masing-masing Jurusan/Prodi.

Ada satu alternatif yang bisa dikembangkan, dengan catatan harus adanya komitmen bersama dari level Rektorat sampai level Jurusan untuk menyepakati mekanisme dan pertanggungjawaban akademik terkait dengan upaya pengembangan lembaga kedepan, yaitu:

Keterangan :

  • Untuk alternatif ini, setiap Jurusan awalnya hanya membuka 1 (satu) disiplin keilmuan dari semester I sampai dengan semester VI. Di akhir semester VI (memasuki semester VII), kepada mahasiswa diperbolehkan untuk memilih, apakah akan terus di bidang non kependidikan (jalur disiplin keilmuan/bidang studi) atau ke jalur pendidikan dengan tambahan pendidikan profesi sebanyak 36 – 40 SKS.
  • Untuk jalur pendidikan, mata kuliah (beban SKS) pendidikan profesi bisa disebar dari semester VII sampai dengan semester X dengan proporsi yang disesuaikan dengan struktur dan penawaran mata kuliah bidang studi di masing-masing Jurusan.
  • Total SKS Bidang Studi untuk Jalur Non Kependidikan adalah = 144 – 160 SKS
  • Total SKS Bidang Studi untuk Jalur Pendidikan + Pendidikan Profesi = 160 – 176 SKS

Selamat Bekerja—tiada alternatif bila tidak dicoba

Daftar Pustaka

Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : BSNP

Beeby, C.E., (1979). Assessment of Indonesia Education. London: Oxford University Press.

Buchori, M. (2000). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Penerbit

Kanisius.

Delors, J. (1996). Learning: The Treasure Within. France: UNESCO

Publishing.

Deming, Edwards W. American Association of School Administrators Conference, Washington, DC, January 1992. Seperti dikutip oleh Lee Jenkins. Improving Student Learning. Applying Deming Quality Principles in Education. Milwaukee,WI: ASOQ Press

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. 2003.

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta. 2005.

Hoy, Charles, Colin Bayne-Jardine and Margaret Wood. (2000). Improving Quality in Education. London: Falmer Press. 2006.

Miarso, Yusufhadi.(2004). Menyemai benih Teknologi Pembelajaran. Jakarta : Pustekkom Diknas & Kencana.

Nitko A.J. (1996). Educational Assessment of Students, 2nd Ed. Columbus Ohio : Prentice Hall.

O’Malley, J.M. & Valdez Pierce, L. (1996). Authentic Assessment for English Language Learners. New York: Addison-Wesley Publishing Company.

Popham, W.J. (1995). Classroom Assessment, What Teachers Need to Know. Boston: Allyn and Bacon.

Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. (2002). Kurikulum Berbasis

Kompetensi. Jakarta :Depdiknas R.I.

Salvia, J. & Ysseldyke, J.E. (1996). Assessment. 6th Edition. Boston: Houghton Mifflin Company.

Rolheiser, C. & Ross, J. A. (2005) Student Self-Evaluation: What Research Says and What Practice Shows. Internet download.

Wyaatt III, R.L. & Looper, S. (1999). So You Have to Have A Portfolio, a Teacher’s Guide to Preparation and Presentation. California: Corwin Press Inc.


Download Tulisan

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DAN INOVASI PEMBELAJARAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBAHARUAN SISTEM PEMDIDIKAN

KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN DAN INOVASI PEMBELAJARAN DALAM KAITANNYA DENGAN PEMBAHARUAN SISTEM PEMDIDIKAN

(Disampaikan dalam Lokakarya Pengembangan Pendekatan Pembelajaran Pada Para Guru di Kabupaten Buleleng)

5 Oktober 2008

——————————————————————————

Oleh : Nyoman Dantes

——————————————————————–

I. Pendahuluan

Dalam pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional adalah terwujutnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua Warga Negara Indonesia, berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip yang dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan.

Salah satu prinsip tersebut adalah bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran.

Paradigma pengajaran yang telah berlangsung sejak lama lebih menitikberatkan peran guru dalam mentransfer pengetahuan kepada peserta didik. Paradigma tersebut bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Untuk dapat menyelenggarakan pendidikan berdasarkan pergeseran paradigma tersebut, diperlukan acuan dasar bagi setiap satuan pendidikan yang meliputi serangkaian kriteria (kriteria minimal) sebagai pedoman untuk kendali mutu yang bersifat demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreativitas dan dialogis.

Dengan mengingat kebhinekaan budaya, keragaman latar belakang dan karakteristik peserta didik ( sebagai masukan) dalam sistem pembelajaran, dan di sisi lain adanya tuntutan agar proses pembelajaran mampu menghasilkan lulusan yang bermutu, maka proses pembelajaran harus dipilih, dikembangkan, dan diterapkan secara luwes dan bervariasi dengan memenuhi kriteria standar.

Pada jalur pendidikan formal proses pembelajaran lebih banyak terjadi dalam lingkungan kelas dengan sejumlah peserta didik di bawah pembinaan seorang guru, dan lazim disebut sebagai kelas klasikal. Kelas klasikal ini sering disalah artikan sebagai kelas konvensional yang menganggap peserta didik dalam satu kelas sebagai kelompok homogin, sehingga dapat diperlakukan secara sama untuk memperoleh hasil yang sama. Perlakuan yang seharusnya adalah bahwa peserta didik merupakan kelompok heterogin yang terdiri atas pribadi-pribadi yang mempunyai karakteristik, kondisi dan kebutuhan yang berbeda, sehingga oleh karena itu perlu mendapat perlakuan sedemikian rupa sehingga potensi masing-masing pribadi tersebut dapat berkembang secara optimal., Pemberdayaan peserta didik agar mereka mampu untuk membangun diri sendiri berdasarkan rangsangan yang diperolehnya sesuai dengan taraf perkembangan psikis, fisik dan sosial memerlukan interaksi aktif antara guru dengan peserta didik, antar peserta didik, dan antara peserta didik dengan lingkungan, dalam suasana yang menyenangkan dan menggairahkan, serta sesuai dengan kondisi dan nilai-nilai yang ada dalam ling-kungannya.

Tidak ada satupun model proses pembelajaran yang berlaku untuk setiap matapelajaran di dalam kelas dengan peserta didik yang beragam. Untuk itu semua guru harus mampu memilih, mengembangkan dan menerapkan proses pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik mata kuliah, karakteristik peserta didik, serta kondisi dan situasi lingkungan. Hal ini menunjukkan posisi penting proses pembelajaran dalam menghasilkan lulusan yang bermutu. Untuk itu, betul-betul diperlukan guru yang profesional., maka dari itu pendidikan dan pelatihan pada calon guru untuk mencapai tujuan tersebut harus dilakukan secara serius dan sungguh-sungguh, sehingga mampu menterjadikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahklak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam kaitannya dengan hal di atas,
Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, sejak tahun 1920an telah mengumandangkan pemikiran bahwa pendidikan pada dasarnya adalah memanusiakan manusia. Untuk itu suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya, tidak ada pendidikan tanpa dasar cinta kasih. Dengan demikian pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, serta menjadi anggota masyarakat yang berguna. Manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiannya dan mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Metode pendidikan yang paling tepat adalah sistem among yaitu metode pembelajaran yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Sementara itu prinsip penyelenggaraan pendidikan perlu didasarkan pada “Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani“.

Pengaruh modernisasi yang menuntut pemerataan kesempatan pendidikan kepada lebih banyak orang dalam waktu yang lebih cepat dan biaya lebih murah, serta dengan standar hasil yang mudah diukur, telah mengakibatkan berkembangnya proses pembelajaran seperti halnya proses industri. Proses industri ini mengolah bahan baku untuk menjadi produk sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Sekolah diibaratkan sebagai pabrik, peserta didik sebagai bahan mentah, dan guru sebagai tukang yang menjalankan peralatan pabrik. Proses pembelajaran diarahkan pada terjadinya transfer pengetahuan dari pendidik ke peserta didik melalui kegiatan menghafal dan mengingat. Pendekatan ini jelas telah mengabaikan harga diri dan kepentingan peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya.

Tuntutan untuk melakukan pembaharuan yang sesuai dengan harkat peserta didik sebagai pribadi, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah melahirkan suatu cabang disiplin keilmuan yang relatif baru dan semula dikenal sebagai didaktik & metodik menjadi teknologi pembelajaran. Teknologi pembelajaran didefinisikan sebagai teori dan praktek dalam perancangan, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan evaluasi proses dan sumber untuk keperluan belajar. Dalam bidang teknologi pembelajaran telah dikembangkan sejumlah teori dan praktek pembelajaran yang bersifat preskriptif, misalnya teori pembelajaran elaborasi, pembelajaran pengorganisasian awal, algoheuristik, pembelajaran inkuiri, dan pemaparan komponen.

II. Tinjauan mengenai Standar Proses Pembelajaran

Dalam Bab I Ketentuan Umum SNP yang dimaksudkan dengan standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Tujuan standar nasional pendidikan adalah untuk menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.

Dalam Bab IV Pasal 19 ayat (1) SNP ditentukan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi (I2M3) peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Dalam proses pembelajaran ditentukan pula agar pendidik memberikan keteladanan.

Standar yang langsung berkaitan dengan proses adalah standar kompetensi pendidik (guru) sebagai agen pembelajaran yang antara lain meliputi kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik ini merupakan kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

Mutu pembelajaran dapat dikatakan gambaran mengenai baik-buruknya hasil yang dicapai oleh peserta didik dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan. Proses pembelajaran dianggap bermutu bila berhasil mengubah sikap, perilaku dan keterampilan peserta didik (peserta didik) dikaitkan dengan tujuan pendidikannya. Mutu pendidikan sebagai sistem selanjutnya tergantung pada mutu komponen yang membentuk sistem, serta proses pembelajaran yang berlangsung hingga membuahkan hasil.

Secara konseptual, indikator mutu poses pembelajaran diartikan secara beragam, tergantung pada situasi dan lingkungan. Penelitian yang dilaksanakan oleh Conect di Amerika Serikat, yang hasilnya divalidasikan oleh the Center for Reseach on Educational Policy dari University of Memphis pada tahun 2005, menunjukkan adanya sejumlah indikator kualitas pembelajaran (instructional quality indicators), yang dikelompokkan ke dalam 10 kategori, yaitu; (1) lingkungan fisik yang kaya dan merangsang, (2) iklim kelas yang kondusif untuk belajar, (3) harapan yang jelas dan tinggi para peserta didik, (4) pembelajaran yang koheren dan berfokus, (5) wacana ilmiah yang merangsang pikiran, (6) belajar otentik, (7) asesmen diagnostik belajar yang teratur, (8) membaca dan menulis dan berkarya sebagai kegiatan regular, (9) pemikiran matematis, dan (10) penggunaan teknologi secara efektif.

Sedangkan, Education Review Office dari New Zealand menggambarkan serangkaian jalinan indikator proses yang terdiri atas; (1) tatakelola dan manajemen yang efektif; (2) kepemimpinan profesional, dan (3) kualitas pengajaran yang tinggi. Ketiga indikator tersebut melibatkan keluarga dan masyarakat, dan merupakan jaminan untuk memperoleh indikator lulusan yang dapat diukur. Kesemuanya itu perlu berlangsung dalam kondisi lembaga pendidikan yang positif dan aman.

Berdasarkan berbagai pengkajian, konsep mutu pembelajaran dapat disimpulkan mengandung lima rujukan, yaitu kesesuaian, daya tarik, efektivitas, efisiensi dan produktivitas pembelajaran. Rujukan kesesuaian meliputi indikator sebagai berikut: sepadan dengan karakteristik peserta didik, serasi dengan aspirasi masyarakat maupun perorangan, cocok dengan kebutuhan masyarakat, sesuai dengan kondisi lingkungan, selaras dengan tuntutan zaman, dan sesuai dengan teori, prinsip, dan/atau nilai baru dalam pendidikan.

Pembelajaran yang bermutu juga harus mempunyai daya tarik yang kuat; indikatornya meliputi diantaranya: kesempatan belajar yang tersebar dan karena itu mudah dicapai dan diikuti, isi pendidikan yang mudah dicerna karena telah diolah sedemikian rupa, kesempatan yang tersedia yang dapat diperoleh siapa saja pada setiap saat diperlukan, pesan yang diberikan pada saat dan peristiwa yang tepat, keterandalan yang tinggi, terutama karena kinerja lembaga dan lulusannya yang menonjol, keanekaragaman sumber, baik yang dengan sengaja dikembangkan maupun yang sudah tersedia dan dapat dipilih serta dimanfaatkan untuk kepentingan belajar, dan suasana yang akrab, hangat, dan merangsang.

Efektivitas pembelajaran seringkali diukur dengan tercapainya tujuan, atau dapat pula diartikan sebagai ketepatan dalam mengelola suatu situasi, atau “doing the right things”. Pengertian ini mengandung ciri: bersistem (sistematik), yaitu dilakukan secara teratur atau berurutan melalui tahap perencanaan, pengembangan, pelaksanaan, penilaian, dan penyempurnaan, sensitif terhadap kebutuhan akan tugas belajar dan kebutuhan pebelajar, kejelasan akan tujuan dan karena itu dapat dihimpun usaha untuk mencapainya, bertolak dari kemampuan atau kekuatan mereka yang bersangkutan (peserta didik, pendidik, masyarakat dan pemerintah).

Efisiensi pembelajaran dapat diartikan sebagai kesepadanan antara waktu, biaya, dan tenaga yang digunakan dengan hasil yang diperoleh atau dapat dikatakan sebagai mengerjakan sesuatu dengan benar. Ciri yang terkandung meliputi: merancang kegiatan pembelajaran berdasarkan model yang mengacu pada kepentingan, kebutuhan dan kondisi peserta didik, pengorganisasian kegiatan belajar dan pembelajaran yang rapi, misalnya lingkungan atau latar yang diperhatikan, pemanfaatan berbagai sumber daya dengan pembagian tugas seimbang, dan pengembangan serta pemanfaatan aneka sumber belajar sesuai keperluan, pemanfaatan sumber belajar bersama, usaha inovatif yang merupakan penghematan, seperti misalnya pembelajaran jarak-jauh, pembelajaran terbuka tanpa harus membangun gedung dan mengangkat tenaga pendidik yang digaji secara tetap, mempertimbangkan berbagai faktor internal maupun eksternal (sistemik) untuk menyusun alternatif tindakan dan kemudian memilih tindakan yang paling menguntungkan.

Produktivitas pada dasarnya adalah keadaan atau proses yang memungkinkan diperolehnya hasil yang lebih baik dan lebih banyak. Produktivitas pembelajaran dapat mengandung arti: perubahan proses pembelajaran (dari menghafal dan mengingat ke menganalisis dan mencipta), penambahan masukan dalam proses pembelajaran (dengan menggunakan berbagai macam sumber balajar), peningkatan intensitas interaksi peserta didik dengan sumber belajar, atau gabungan ketiganya dalam kegiatan belajar-pembelajaran sehingga menghasilkan mutu yang lebih baik, keikutsertaan dalam pendidikan yang lebih luas, lulusan lebih banyak, lulusan yang lebih dihargai oleh masyarakat, dan berkurangnya angka putus sekolah.

Berbagai masukan antara lain kondisi peserta didik (kesehatan, kebugaran dll.), kualitas pendidik, kurikulum, terbatasnya anggaran, terbatasnya sarana dsb. merupakan faktor yang tekait erat dengan mutu. Kesemuanya itu memerlukan dukungan legalitas sebagai pedoman standar proses pembelajaran yang tidak sesuai dengan harapan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya mutu pendidikan.

Bila kita melihat kondisi pendidikan kita di lapangan, hingga saat ini proses pembelajaran belum dapat berlangsung secara efektif. Selama ini masih banyak digunakan paradigma pengajaran yang lebih menitikberatkan peran pendidik (guru) dan belum banyak memberikan peran yang lebih besar kepada peserta didik. Kurikulum yang banyak digunakan secara nasional maupun institusi, masih bersifat sarat isi, dan karena itu menyiratkan agar peserta didik menghafalkan isi pelajaran. Hal ini berarti bahwa pembelajaran hanya mampu mencapai tujuan belajar tahap awal atau rendah, dan menghalangi terbentuknya kemampuan untuk memecahkan masalah dan mencipta. Penyajian pelajaran oleh guru kebanyakan bersifat verbal dan karena itu lebih banyak merangsang belahan otak kiri, sementara rangsangan terhadap belahan otak kanan dengan pendekatan visual, holistik dan kreatif kurang mendapat perhatian. Kegiatan belajar dan pembelajaran lebih banyak berfokus pada penguasaan atas isi buku teks. Semua hal ini telah menyebabkan belajar yang membosankan dan mematikan kreativitas peserta didik.

Pembelajaran seharusnya diselenggarakan secara interaktif, inspiratif dalam suasana yang menyenangkan, menggairahkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk semua itu maka diperlukan adanya standar proses pembelajaran.

Berdasarkan PP No. 19 tahun 2005 standar proses pembelajaran meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk bisa terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.

Standar perencanaan proses pembelajaran didasarkan pada prinsip sistematis dan sistemik. Sistematik berarti secara runtut dan berkesinambungan, dan sistemik berarti mempertimbangan segala komponen yang berkaitan. Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. Perencanaan itu perlu disusun secara sistemik dan sistematis. Sistemik karena perlu mempertimbangkan berbagai faktor yang berkaitan, yaitu tujuan yang perlu meliputi semua aspek perkembangan peserta didik (kognitif, afektif, dan psikomotor), karakteristik peserta didik, karakteristik materi ajar yang meliputi fakta, konsep, prosedur dan meta-kognitif, kondisi lingkungan serta hal-hal lain yang menghambat atau menunjang terlaksananya pembelajaran. Sistematis karena perlu disusun secara runtut, terarah dan terukur, mulai jenjang kemampuan rendah hingga tinggi.

Standar pelaksanaan proses pembelajaran didasarkan pada prinsip terjadinya interaksi secara optimal antara peserta didik dengan guru, antara peserta didik sendiri, serta peserta didik dengan aneka sumber belajar termasuk lingkungan. Untuk itu perlu diperhatikan jumlah maksimal peserta didik dalam setiap kelas agar dapat berlangsung interaksi yang efektif. Di samping itu perlu diperhatikan beban pembelajaran maksimal per pendidik (guru) dalam satuan pendidikan dan ketersediaan buku teks pelajaran bagi setiap peserta didik. Namun bila kondisi riil belum memungkinkan perlu ditentukan rasio maksimal yang dapat digunakan bersama oleh peserta didik. Mengingat bahwa proses pembelajaran bukan hanya sekedar menyampaikan ajaran, melainkan juga pembentukan pribadi peserta didik yang memerlukan perhatian penuh dari pendidik, maka diperlukan ketentuan tentang rasio maksimal jumlah peserta didik setiap pendidik. Hal ini akan menjamin intensitas interaksi yang tinggi. Pengembangan daya nalar, etika, dan estetika peserta didik dapat dilakukan antara lain melalui budaya membaca dan menulis dalam proses pembelajaran. Selain itu budaya membaca dan menulis juga dapat menumbuhkan masyarakat yang gemar membaca, dan mampu mengekpresikan pikiran dalam bentuk tulisan. Pelaksanan proses pembelajaran perlu mempertimbangkan kemampuan pengelolaan kegiatan belajar.

Standar penilaian hasil pembelajaran ditentukan dengan menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh peserta didik. Teknik penilaian tersebut dapat berupa tes tertulis, observasi, tes praktek, dan penugasan perseorangan atau kelompok. Penilaian secara individual melalui observasi dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam satu semester. Untuk memantau proses dan kemajuan belajar serta memperbaiki hasil belajar peserta didik perlu digunakan teknik penilaian portofolio/hasil karya, artefak, kolokium, esai, projek, evaluasi diri, kinerja dsbnya, yang bermuara pada asesmen otentik. Secara umum penilaian dilakukan atas segala aspek perkembangan peserta didik yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan.

Standar pengawasan proses pembelajaran merupakan upaya penjaminan mutu pembelajaran bagi terwujudnya proses pembelajaran yang efektif dan efisien kearah tercapainya kompetensi yang ditetapkan. Pengawasan perlu didasarkan pada prinsip-prinsip tanggung jawab dan kewenangan, periodik, demokratis, terbuka, dan keberlanjutan. Pengawasan meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan pengambilan langkah tindak lanjut yang diperlukan. Upaya pengawasan pada hakikatnya merupakan tanggung jawab bersama semua pihak yang terkait, sesuai dengan ketentuan tentang hak, kewajiban warga negara, orangtua, masyarakat, dan pemerintah.

III. Implementasinya dalam Standar Proses

Berdasarkan PP No. 19 tahun 2005 standar proses pembelajaran meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk bisa terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Dalam kaitan dengan lokakarya ini hanya dibahas tiga butir pertama.

1.Perencanaan Proses Pembelajaran

a.Pengertian

Perencanaan proses pembelajaran adalah proses perancangan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik. Berdasarkan PP No. 19 tahun 2005 pasal 20, standar perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang sekurang-kurangnya memuat tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pembelajaran, sumber belajar dan penilaian hasil belajar.

Perencanaan proses pembelajaran disusun untuk memfasilitasi terjadinya proses pembelajaran yang (I2M3) yaitu; interaktif, inspiratif, menantang, menyenangkan, dan memotivasi peserta didik dalam mencapai kompetensi. Dalam hal ini, perencanaan proses pembelajaran merupakan pedoman dalam melaksanakan, menilai, dan mengawasi proses pembelajaran.

b. Silabus
Matapelajaran

Silabus adalah rencana pembelajaran yang berisikan standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD), materi pokok pembelajaran, kegiatan pembelajaran, tujuan pembelajaran/indikator pencapaian kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar. Silabus merupakan produk pengembangan/penjabaran kurikulum yang bersifat makro dan menyeluruh untuk mencapai SK dalam satu matapelajaran.

Silabus sebagai produk pengembangan kurikulum, secara rinci mencakup komponen identitas matapelajaran, SK, KD, indikator pencapaian, dan materi pokok, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar (bahan rujukan).

Prinsip-prinsip penyusunan silabus adalah sebagai berikut.

  1. Ilmiah

    Materi perlajaran harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan untuk mendukung penguasaan kompetensi

(b) Sistematis dan sistemik

Pengembangan silabus harus dilaksanakan secara runtut, serta berorientasi pada pencapaian kompetensi. Antar komponen silabus harus saling berhubungan secara fungsional, sinergis, dan terpadu dengan memperhatikan keseluruhan komponen pembelajaran sebagai suatu sistem yang utuh.

  1. Relevansi

    Harus ada keterkaitan antar komponen silabus mulai dari SK, KD sampai indikator pencapaian kompetensi sebagai satu kesatuan utuh dalam mencapai kompetensi.

  2. Konsistensi

    Harus ada hubungan yang konsisten antar semua komponen silabus.

  3. Kecukupan

Cakupan materi pokok, kegiatan pembelajaran, penilaian, dan sumber

belajar (alat, media, dan bahan) harus memadai dalam membantu

peserta didik mencapai kompetensi yang mencakup aspek

pengetahuan, sikap, dan keterampilan.

  1. Kontekstual dan aktual

    Penyusunan silabus dan semua komponennya harus memperhatikan kondisi lingkungan, norma dan tata nilai kehidupan masyarakat, perkembangan tuntutan masyarakat, perkembangan ipteks, dan bersifat mutakhir tidak ketinggalan jaman.

  2. Fleksibel

    Pengembangan silabus harus memperhatikan keragaman peserta didik (peserta didik), menghindari bias gender, mengakomodasikan keragaman budaya, memperhatikan kecepatan belajar dan karakteristik individu, memperhatikan ketersediaan sumber belajar, suasana dan kondisi pembelajaran, mengakomodasikan keterpaduan lintas matapelajaran dan lintas aspek belajar, serta mempertimbangkan dinamika dan kearifan lokal masyarakat.

Mekanisme penyusunan silabus; minimal meliputi langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Menuliskan identitas mata pelajaran yang terdiri dari: nama satuan pendidikan( Fak/Jur, program, nama matapelajaran, kode matapelajaran, bobot SKS, semester, prasyarat (jika ada).
  2. Menuliskan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) matapelajaran sesuai dengan standar isi (SI).
  3. Merumuskan indikator pencapaian kompetensi

    Indikator merupakan petunjuk tingkat atau derajat pencapaian KD yang ditandai dengan perubahan perilaku peserta didik (peserta didik) yang dapat diamati dan diukur sebagai hasil pengalaman belajar peserta didik. Indikator dikembangkan dengan mengacu pada KD, dimulai dengan analisis KD yang memperhatikan karakteristik dan kemampuan awal peserta didik. Indikator digunakan sebagai pedoman dalam mengembangkan prosedur dan instrumen penilaian

  4. Mengembangkan materi pokok perkuliahan
    1. Materi perkuliahan/ pembelajaran meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang harus dipelajari peserta didik (peserta didik) dalam rangka menguasai SK dan KD.
    2. Pengembangan materi pembelajaran harus memperhatikan relevansinya dengan SK dan KD, struktur keilmuan, karakteristik dan kebutuhan peserta didik, kebermanfaatan, aktualitas, otentisitas, kedalaman, keluasan, dan kondisi lingkungan serta perkembangan ipteks.
  5. Materi pembelajaran dituliskan dalam bentuk materi pokok/rincian materi sesuai dengan SK dan KD.

2). Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

a. Pengertian

Rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dijabarkan dari silabus, dan merupakan skenario proses pembelajaran untuk mengarahkan kegiatan belajar peserta didik dalam upaya mencapai KD. RPP memuat identitas mata pelajaran , deskripsi singkat matapelajaran, SK, KD, materi pokok/rincian materi ajar, pengalaman belajar, alokasi waktu, media dan sumber belajar, penilaian hasil belajar.

Guru pada setiap satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran terjadi secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.

b. Prinsip dalam penyusunan RPP sbb:

  1. Berorientasi pada silabus matapelajaran

    Perumusan tujuan pembelajaran/indikator pencapaian kompetensi, pemilihan materi pembelajaran, penyusunan urutan penyajian materi, serta penilaian hasil pembelajaran dilakukan dengan mengacu pada SK dan KD yang ada dalam silabus matapelajaran.

  2. Memperhatikan perbedaan individual peserta didik (peserta didik)

    RPP disusun dengan memperhatikan gender, kemampuan prasyarat, kemampuan awal, keragaman IQ, minat, motivasi belajar, bakat, potensi, kemampuan sosial, emosi, gaya belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, keragaman latar belakang budaya, norma dan tata nilai serta lingkungan peserta didik.

  3. Menerapkan teknologi secara efektif

    RPP disusun dengan mempertimbangkan penerapan teknologi secara terintegrasi dan sistematis dalam pembelajaran. Teknologi yang dimaksud mencakup cetak, audio, audiovisual, termasuk teknologi informasi dan komunikasi.

  4. Mendorong partisipasi aktif peserta didik

    Proses pembelajaran dirancang dengan berfokus pada peserta didik (peserta didik) untuk mendorong motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, kemandirian, dan semangat belajar, serta budaya membaca dan kemampuan menulis. Untuk itu harus diciptakan strategi pembelajaran interaktif yang memungkinkan peserta didik berupaya menemukan dan membangun sendiri pengetahuan dari apa yang dipelajari.

  5. Memberikan penguatan, umpan balik, pengayaan, dan remedial

    Dalam penyusunan RPP harus dirancang program pemberian penguatan, umpan balik positif, pengayaan, dan remedial terhadap

    peserta didik untuk mengatasi hambatan belajarnya, dan untuk lebih memacu partisipasi peserta didik dalam kegiatan belajarnya.

  6. Keterkaitan dan keterpaduan

    RPP disusun dengan memperhatikan keterkaitan dan keterpaduan antara SK, KD, indikator pencapaian kompetensi, materi, metode, sumber belajar, penilaian, dan bahan rujukan dalam satu keutuhan pengalaman belajar. Di samping itu, RPP harus disusun dengan mengakomodasikan keterpaduan lintas matapelajaran, lintas aspek belajar, dan keragaman budaya.

c. Penyusunan RPP

Standar penyusunan Satuan Acara Perkuliahan/RPP minimal meliputi langkah-langkah sebagai berikut:

(1). Menuliskan identitas matapelajaran, meliputi:

  1. nama satuan pendidikan,
  2. nama matapelajaran,
  3. kode matapelajaran,
  4. bobot SKS,
  5. semester,
  6. prasyarat,

(2) Menuliskan deskripsi singkat matapelajaran

Mencantumkan secara singkat pokok-pokok isi matapelajaran yang meliputi, ruang lingkup materi yang akan dibahas, dan kegiatan praktik/praktikum yang akan dilakukan (jika ada).

  1. Menuliskan SK dan KD dari silabus matapelajaran yang akan dicapai pada kegiatan pembelajaran tertentu.

(4). Mengembangkan materi pokok / rincian materi perkuliahan (bila ini sudah

lengkap dicantumkan disilabus, dapat dipindahkan saja ke RPP)

  1. Materi pembelajaran meliputi pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang harus dipelajari peserta didik (peserta didik) dalam rangka menguasai SK dan KD.
  2. Pengembangan materi pembelajaran harus memperhatikan relevansinya dengan SK dan KD, struktur keilmuan, karakteristik dan kebutuhan peserta didik, kebermanfaatan, aktualitas, otentisitas, kedalaman, keluasan, dan kondisi lingkungan serta perkembangan ipteks.
  3. Materi pembelajaran dituliskan dalam bentuk materi pokok/rincian materi sesuai dengan SK dan KD.

(5). Merancang pengalaman belajar

Merancang pengalaman belajar pada hakikatnya akan berimplikasi dengan penggunaan model, pendekatan, strategi, metode, atau teknik pembelajaran yang memungkinkan peserta didik berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menantang, menyenangkan, dan memotivasi peserta didik untuk mengembangkan prakarsa dan kemandiriannya. Pengalaman belajar dapat berupa tuntutan aktivitas psikologis maupun pisik, seperti mengkaji, mendeskripsika, menjelaskan, berlatih, pemetaan, mengerjakan tugas-tugas secara individu/kelompok, dan sebagainya.Mencantumkan sumber belajar yang diperoleh dari berbagai sumber di lingkungan sekitar, atau melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Sumber belajar berupa media cetak dan elektronik, nara sumber, sumber yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya.

(6). Menentukan alokasi waktu (jam pertemuan) yang diperlukan untuk

melaksanakan kegiatan pembelajaran untuk setiap KD.

(7). Menentukan media dan sumber belajar

(a). Buku teks perkuliahan yang diwajibkan, buku referensi dan pengayaan.

(b). Sumber belajar lain yang relevan dengan mata pelajaran, baik dalam

bentuk pesan, orang, bahan, alat, teknik, maupun lingkungan.

c) Mencantumkan sumber belajar yang diperoleh dari berbagai sumber di

lingkungan sekitar, atau melalui pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.

Sumber belajar berupa media cetak dan elektronik, nara sumber, sumber yang

berbasis teknologi informasi dan komunikasi, serta lingkungan pisik, sosial, alam

dan budaya.

(8). Merancang penilaian (asesmen);untuk pencapaian standar kompetensi sesuai dengan indikator pencapaian kompetensi yang telah dirumuskan, untuk pembelajaran tingkat peserta didik (adult education), harus dirancang secara eksplisit dalam penilaian proses dan produk. Bila mungkin dicantumkan prosedur penilaiannya, tugas dan tagihan yang harus dipenuhi peserta didik, bobot masing-masing tugas dan penilaian sebagai kriteria ketuntasan belajar.

2. Pelaksanaan Proses Pembelajaran

a. Pengertian

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan formal dilaksanakan dengan sistem klasikal yang menggunakan pendekatan kelompok besar, kelompok kecil, dan individual di dalam kelas maupun di luar kelas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain intensitas interaksi antara peserta didik dengan guru, antar peserta didik, dan antara peserta didik dengan sumber belajar,sarana dan prasarana, dan sebagainya

Untuk mewujudkan proses pembelajaran yang efektif dan efisien serta berpusat pada peserta didik, pelaksanaan proses pembelajaran harus memenuhi sejumlah prinsip, persyaratan, dan mekanisme tertentu.

b. Prinsip

Pelaksanaan proses pembelajaran harus memenuhi prinsip-prinsip:

1). Interaktif

Adanya hubungan timbal balik antara guru dengan peserta didik dan antar peserta didik.

2). Inspiratif

Mendorong semangat belajar dan memunculkan gagasan baru pada peserta didik

3). Menyenangkan

Peserta didik/peserta didik merasa aman, nyaman, betah, dan asyik mengikuti pembelajaran.

4). Menantang

Peserta didik/peserta didik tertarik untuk memecahkan/menyelesaikan masalah, melakukan percobaan untuk menjawab keingintahuannya, dan tidak mudah menyerah, sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik/peserta didik.

5). Memotivasi peserta didik/peserta didik untuk berpartisipasi aktif

Peserta didik terlibat dalam setiap peristiwa belajar yang sedang dilakukan, misalnya aktif bertanya, mengerjakan tugas, dan aktif berdiskusi.

7). Mengembangkan prakarsa, kreativitas, dan kemandirian peserta didik

Proses pembelajaran harus dapat memberikan ruang yang cukup bagi berkembangnya prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik.

8). Memberi keteladanan

Guru memberikan keteladanan dalam bersikap, bertindak, dan bertuturkata baik di dalam maupun di luar kelas.

9). Mengembangkan budaya membaca dan menulis

Guru memberi tugas membaca dan menulis/membuat karya untuk mendorong peserta didik/peserta didik gemar membaca dan menulis.

10). Memberikan penguatan dan umpan balik

Dalam situasi tertentu, pendidik/guru memberikan pujian atau memperbaiki respon peserta didik. Namur demikian tetap menjaga suasana agar peserta didik berani untuk berpendapat.

11). Memperhatikan perbedaan karakteristik peserta didik

Guru memberikan pengayaan bagi peserta didik yang berkemampuan lebih dan remedial bagi peserta didik yang berkemampuan kurang atau mengalami kesulitan belajar. Guru menggunakan strategi pembelajaran yang bervariasi guna mengakomodasi keragaman karakteristik peserta didik/peserta didik.

12). Mengembangkan kerjasama dan kompetisi untuk mencapai prestasi

Guru mengembangkan kemampuan bekerjasama melalui kerja kelompok, dan kemampuan berkompetisi melalui kerja individual, untuk memperoleh hasil optimal bukannya untuk saling menjatuhkan.

13). Memanfaatkan aneka sumber belajar

Guru menggunakan berbagai sumber belajar yang meliputi pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan lingkungan.

14). Mengembangkan kecakapan hidup

Tumbuhnya kompetensi peserta didik/peserta didik dalam memecahkan/ menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari, termasuk berkomunikasi dengan baik dan efektif, baik lisan maupun tulisan, mencari informasi, dan berargumentasi secara logis.

15). Menumbuhkan budaya akademis, nilai-nilai kehidupan, dan pluralisme

Terbangunnya suasa hubungan peserta didik/peserta didik dan guru yang saling menerima, menghargai, akrab, terbuka, hangat, dan penuh empati, tanpa membedakan latar belakang dan status sosial-ekonomi.

d.Mekanisme

Berlandaskan prinsip di atas, proses pembelajaran, dapat mengacu pelaksanaannya pada 5 tahapan, yaitu keterlibatan, eksplorasi, elaborasi, konfirmasi, dan penilaian hasil belajar.

1) Pendahuluan

Keterlibatan

Keterlibatan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk memfokuskan perhatian peserta didik agar mereka siap untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap keterlibatan, antara lain melalui pemberian pertanyaan-pertanyaan pemicu oleh guru kepada peserta didik untuk mengkaitkan pengalaman belajar atau pengetahuan awal peserta didik dengan tujuan/indicator pencapaian kompetensi atau cakupan materi yang akan dipelajari.

(2) Inti

Eksplorasi

Eksplorasi merupakan kegiatan dalam berupaya mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang akan dipelajari. Topik/tema materi didasarkan pada Silabus dan RPP. Eksplorasi dilakukan berdasarkan panduan atau langkah-langkah pemandu yang telah disiapkan guru/ ditentukan bersama peserta didik dengan memanfaatkan beraneka sumber belajar yang tersedia. Beragam pendekatan pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menantang, menyenangkan, dan memotivasi serta menarik minat peserta didik diterapkan dalam kegiatan eksplorasi. Langkah-langkah pemandu yang disiapkan guru mencerminkan langkah-langkah kegiatan belajar yang esensial untuk berbagai ranah pembelajaran. Dalam ranah pengetahuan (kognitif), di antara langkah belajar perlu ada kegiatan mengkaji dan menganalisis topik/tema materi. Dalam ranah keterampilan (psikomotor), di antara langkah belajar perlu ada kegiatan praktek melakukan keterampilan yang dipelajari. Sementara itu, dalam ranah sikap (afektif), di antara langkah belajar perlu ada kegiatan menghayati melalui berbagai aktivitas, misalnya pemodelan, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dll.

Dalam eksplorasi peserta didik terlibat dalam kegiatan belajar yang kooperatif dan kolaboratif melalui pembuatan peta konsep, diskusi, mendengarkan pendapat secara cermat dan kritis, mencari informasi di internet, membaca buku acuan atau media cetak lainnya, mendengarkan informasi melalui kaset atau radio, menonton informasi visual melalui video atau siaran televisi, melakukan apresiasi, melakukan observasi di alam sekitarnya, melakukan percobaan-percobaan di laboratorium atau studio. Peserta didik, secara individual maupun secara kelompok, membuat catatan dan menulis laporan proses eksplorasi yang dilakukan. Dalam kegiatan eksplorasi, guru berfungsi sebagai nara sumber yang menjawab pertanyaan peserta didik jika peserta didik memperoleh kesulitan, yang memberi acuan informasi kepada peserta didik untuk melakukan eksplorasi lebih jauh, atau memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang berpartisipasi aktif.

Elaborasi

Elaborasi merupakan kegiatan peserta didik untuk menyampaikan hasil eksplorasi yang telah dilakukan secara lebih teliti, cermat dan rinci. Elaborasi dilakukan dalam bentuk penyajian hasil kerja kelompok, pameran produk yang dihasilkan peserta didik dalam eksplorasi, atau turnamen antar kelompok. Dalam kegiatan elaborasi, peserta didik memberikan komentar dan pertanyaan yang bersifat konstruktif terhadap hasil kerja yang disampaikan oleh temannya. Di samping itu, dalam elaborasi, peserta didik juga melakukan pengecekan hasil eksplorasi yang telah dilakukan terhadap sumber-sumber acuan lain yang tersedia.

Konfirmasi

Konfirmasi merupakan kegiatan interaktif antara guru sebagai nara sumber ahli/ fasilitator dengan peserta didik untuk memberikan umpan balik terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi. Dalam kegiatan ini, guru juga dapat memanfaatkan berbagai sumber acuan untuk memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik. Sementara itu, peserta didik melakukan refleksi terhadap pengalaman belajar yang telah dilakukan. Dari kegiatan konfirmasi, peserta didik akan mencapai kebermaknaan belajar dari pengalaman belajar yang telah dijalankan. Dampak pengiring dari kegiatan konfirmasi adalah rasa ingin tahu untuk menindaklanjuti kegiatan eksplorasi lebih luas dan lebih dalam.

(3) Penutup

Penilaian hasil belajar

Penilaian hasil belajar merupakan kegiatan pendidik bersama peserta didik untuk mengukur hasil yang diperoleh dari proses belajar. Hasil belajar diwujudkan dalam berbagai bentuk tugas mandiri yang dapat dipamerkan, diobservasi, atau dikumpulkan dalam portofolio peserta didik. Di samping itu, pengukuran hasil belajar juga dapat dilakukan melalui tes tertulis, tugas-tugas yang menunjukkan kumpulan kompetensi yang telah dicapai peserta didik, atau unjuk kerja. Hasil penilaian proses pembelajaran ditindaklanjuti dengan memberikan pembelajaran remedial, pengayaan, atau penugasan baik secara individual maupun kelompok. Di samping pada kegiatan penutup, penilaian proses juga dapat dilakukan pada saat kegiatan inti.

IV. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

1. Pengantar

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.

Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada SI dan SKL serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP.

Panduan pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik untuk :

(a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa,

(b) belajar untuk memahami dan menghayati,

(c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,

(d) belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan

(e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.

  1. Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

    KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.. KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

    1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.

b. Beragam dan terpadu

  1. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
  2. Relevan dengan kebutuhan kehidupan.
  3. Menyeluruh dan berkesinambungan
  4. Belajar sepanjang hayat
  5. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan

daerah

KTSP disusun dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut.

  1. Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia

    Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun agar sejauh mungkin semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.

  2. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan



tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik

Pendidikan merupakan proses sistematik untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik yang memungkinkan potensi diri (afektif, kognitif, psikomotor) berkembang secara optimal. Sejalan dengan itu, kurikulum disusun dengan memperhatikan potensi, tingkat perkembangan, minat, kecerdasan intelektual, emosional dan sosial, spritual, dan kinestetik peserta didik.

  1. Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan

lingkungan

Daerah memiliki potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman karakteristik lingkungan. Masing-masing daerah memerlukan pendidikan sesuai dengan karakteristik daerah dan pengalaman hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kurikulum harus memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan pengembangan daerah.

  1. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional

    Dalam era otonomi dan desentralisasi untuk mewujudkan pendidikan yang otonom dan demokratis perlu memperhatikan keragaman dan mendorong partisipasi masyarakat dengan tetap mengedepankan wawasan nasional. Untuk itu, keduanya harus ditampung secara berimbang dan saling mengisi.

  2. Tuntutan dunia kerja

    Kegiatan pembelajaran harus dapat mendukung tumbuh kembangnya pribadi peserta didik yang berjiwa kewirausahaan dan mempunyai kecakapan hidup. Oleh sebab itu, kurikulum perlu memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja. Hal ini sangat penting terutama bagi satuan pendidikan kejuruan dan peserta didik yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

  3. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni

    Pendidikan perlu mengantisipasi dampak global yang membawa masyarakat berbasis pengetahuan di mana IPTEKS sangat berperan sebagai penggerak utama perubahan. Pendidikan harus terus menerus melakukan adaptasi dan penyesuaian perkembangan IPTEKS sehingga tetap relevan dan kontekstual dengan perubahan. Oleh karena itu, kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan perkembangan Ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

g. Agama

Kurikulum harus dikembangkan untuk mendukung peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia dengan tetap memelihara toleransi dan kerukunan umat beragama. Oleh karena itu, muatan kurikulum semua mata pelajaran harus ikut mendukung peningkatan iman, taqwa dan akhlak mulia.

  1. Dinamika perkembangan global

    Pendidikan harus menciptakan kemandirian, baik pada individu maupun bangsa, yang sangat penting dalam dinamika perkembangan global dimana pasar bebas sangat berpengaruh pada semua aspek kehidupan semua bangsa. Pergaulan antarbangsa yang semakin dekat memerlukan individu yang mandiri dan mampu bersaing serta mempunyai kemampuan untuk hidup berdampingan dengan suku dan bangsa lain.

  2. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan

    Pendidikan diarahkan untuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan peserta didik yang menjadi landasan penting bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka NKRI. Kurikulum harus dapat mendorong berkembangnya wawasan dan sikap kebangsaan serta persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam wilayah NKRI. Muatan kekhasan daerah harus dilakukan secara proporsional.

  3. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat

    Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang pelestarian keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi pada budaya setempat harus terlebih dahulu ditumbuhkan sebelum mempelajari budaya dari daerah dan bangsa lain.

k. Kesetaraan Jender

Kurikulum harus diarahkan kepada terciptanya pendidikan yang berkeadilan dan mendukung upaya kesetaraan jender.

  1. Karakteristik satuan pendidikan

    Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan pendidikan.

V. Komponen Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

1. Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan

Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.

a. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

  1. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
  2. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.

2. Struktur dan Muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

Struktur dan muatan KTSP pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang tertuang dalam SI meliputi lima kelompok mata pelajaran sebagai berikut.

(a) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia

(b) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian

(c) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi

(d) Kelompok mata pelajaran estetika

(e) Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan

Kelompok mata pelajaran tersebut dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan pembelajaran sebagaimana diuraikan dalam PP 19/2005 Pasal 7.

VII Inovasi Model Pembelajaran

Laporan UNESCO (Delors, dkk. 1996) telah menetapkan empat pilar pendidikan sebagai landasan pendidikan era global, yaitu: (1) learning to know, yakni peserta didik mempelajari pengetahuan, (2) learning to do, yakni peserta didik menggunakan pengetahuannya untuk mengembangkan keterampilan, (3) learning to be, yakni peserta didik meningkatkan dan menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk hidup, dan (4) learning to live together, yakni peserta didik menyadari bahwa adanya saling ketergantungan sehingga diperlukan adanya saling menghargai antara sesama manusia.

Laporan itu juga mengatakan bahwa untuk memenuhi tuntutan kehidupan masa depan, pendidikan tradisional yang sangat quantitatively-oriented and knowledge-based tidak lagi relevan. Melalui pendidikan, setiap individu mesti disediakan berbagai kesempatan belajar sepanjang hayat; baik untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap maupun untuk dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang kompleks dan penuh dengan saling ketergantungan. Dalam hal itu pendidikan agama sangat memegang peranan yang sangat vital karena itu sangat terkait dengan penanaman nilai-nilai moral dan kehidupan.

Tindak lanjut dari landasan pendidikan tersebut adalah munculnya orientasi pada pembentukan kompetensi yang relevan dengan tuntutan dunia nyata. Kompetensi meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap. Pendidikan tradisional yang sangat berorientasi kuantitatif dan menyandarkan pada pemahaman pengetahuan semata, seperti disebutkan di atas, dianggap tidak dapat membekali peserta didik dengan kompetensi yang diperlukan dalam kehidupan. Dengan demikian, pendidikan yang dikehendaki dewasa ini adalah pendidikan yang berlangsung secara kontekstual. Pendidikan kontekstual dicirikan oleh proses pembelajaran yang diarahkan pada pemecahan masalah, menggunakan konteks yang bervariasi, menghargai keberagaman individu, mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning), menggunakan kelompok belajar secara kooperatif, dan menggunakan asesmen otentik (Clifford dan Wilson, 2000).

Tindak lanjut pertama dari orientasi tersebut sudah tentu adalah reorientasi pada kurikulum; dari kurikulum tradisional yang cenderung subject-matter oriented menuju kepada competency-based. Sesuai dengan hakikat kurikulum berbasis kompetensi, maka pembelajaran harus berpusat pada peserta didik dan bersifat kontekstual. Model-model pembelajaran inovatif yang berbasis kompetensi dan asesmen otentik menjadi tulang punggung untuk menyukseskan kurikulum berbasis kompetensi.

1. Pembelajaran Yang Berpusat Pada Peserta Didik

Menurut sejarahnya, pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (untuk selanjutnya, dalam makalah ini akan digunakan istilah asingnya yaitu Student-Centered Learning, disingkat SCL) lahir pada awal abad ke-20, yaitu pada saat orang-orang mulai meyakini bahwa pendidikan harus memperhitungkan peserta didik sebagai unsur aktif dalam proses inkuiri, yaitu proses memecahkan masalah yang dihadapinya sendiri. Di bawah pengaruh perspektif pendidikan yang disebut Progressive Education (lahir di Amerika Serikat) yang meyakini bahwa pengalaman langsung adalah inti dari belajar. Para pendukung Progressive Education menentang pembelajaran yang menganggap bahwa peserta didik sebagai kantong kosong yang baru berisi bila diisi oleh guru (teori Tabularasa). Peran guru adalah sebagai fasilitator dan pemandu dalam proses pemecahan masalah peserta didik.

John Dewey adalah pelopor pandangan progresif ini. Dia menegaskan bahwa kelas adalah laboratorium yang memotret kehidupan yang sebenarnya. Dia mengajak guru untuk menggunakan masalah riil sehari-hari untuk dipecahkan oleh peserta didik, sebagai bahan pembelajaran. Dewey menekankan bahwa pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang memuat masalah-masalah nyata yang sedang dihadapi, tidak tentang hal-hal yang abstrak bagi peserta didik. Dewey dikenal dengan filosofi pendidikan learning by doing.

SCL dilandasi oleh paham konstruktivisme. Konstruktivisme berarti bahwa peserta didik membangun (to construct) pemahamannya tentang dunia. Berbicara mengenai konstruktivisme bukanlah berbicara tentang suatu teknik tertentu dalam pembelajaran, melainkan kita berfikir tentang proses perolehan pengetahuan dan asesmennya. Ada dua kata kunci dalam konstruktivisme, yaitu aktif (active) dan makna (meaning) (Elliott, dkk, 2000); dimana pembelajaran konstruktivis tersebut digambarkan sebagai berikut:

“Peserta didik tidak semata-mata merekam atau mengingat materi yang dipelajari, melainkan mengkonstruksi suatu representasi mental yang unik tentang materi tersebut, tugas yang akan dipentaskan, memilih informasi yang dianggapnya relevan, dan memahami informasi tersebut berdasarkan pengetahuan yang ada padanya, dan kebutuhannya. Peserta didik menambahkan informasi yang diperlukannya tidak selalu dari materi yang disediakan guru. Ini merupakan suatu proses yang aktif karena peserta didik harus melakukan berbagai kegiatan kognitif, afektif, dan psikomotorik agar informasi tersebut bermakna bagi dirinya “(p. 15).


Belakangan, berbagai interpretasi muncul tentang bagaimana konstruksi pengetahuan itu terwujud pada peserta didik; ada yang mengatakan bahwa peserta didik itu sendiri (individu) mampu membangunnya, tapi ada pula yang mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi dalam interaksi sosial seperti teman sebaya, dan keluarga. Yang pertama diwakili oleh J. Piaget, yang mengatakan bahwa konstruksi makna terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah akuisisi pengetahuan yang sesuai dengan yang telah ada sebelumnya; dan akomodasi adalah proses akuisisi terhadap hal-hal baru yang belum ada dalam skema (pengetahuan yang tersimpan dibenak) yang bersangkutan. Di lain pihak, Vygotsky mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi melalui proses interaksi sosial dengan orang lain yang lebih mampu (dalam istilah Vygotsky: skilled individuals). Diyakini bahwa konstruksi makna akan terjadi jika proses akuisisi pengetahuan dilakukan dalam lingkungan sosial budaya yang sesuai.

Berdasarkan hakikat SCL tersebut di atas, maka dapat dilihat perbedaan antara SCL dengan pembelajaran yang berpusat pada guru dan berorientasi pencapaian materi (Teacher-centered, content-oriented/TCCO), sebagai berikut:

Teacher Centered

Student-Centered Learning

Pengetahuan ditransfer dari guru ke peserta didik

Peserta didik secara aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya

Peserta didik menerima pengetahuan secara pasif

Peserta didik secara aktif terlibat didalam mengelola pengetahuannya

Lebih menekankan pada penguasaan materi

Penguasaan materi dan juga mengembangkan karakter peserta didik (life-long learning)

Biasanya memanfaatkan media tunggal

Multimedia

Fungsi guru sebagai pensuplai informasi utama dan evaluator

Guru sebagai fasilitator, evaluasi dilakukan bersama dengan peserta didik

Proses pembelajaran dan asesmen dilakukan secara terpisah

Terpadu dan berkesinambungan

Menekankan pada jawaban yang benar saja

Menekankan pada pengembangan pengetahuan. Kesalahan menunjukkan proses belajar dan dapat digunakan sebagai salahsatu sumber belajar

Cocok untuk pengembangan ilmu dalam satu disiplin saja

Untuk pengembangan ilmu interdisipliner

Iklim belajar lebih individual dan kompetitif

Iklim yang tercipta lebih bersifat kolaboratif, suportif, dan kooperatif

Proses pembelajaran hanya terjadi pada peserta didik

Peserta didik dan guru belajar bersama dalam mengembangkan, konsep, dan keterampilan

Proses pembelajaran mengambil porsi waktu terbanyak

Pembelajaran dan berbagai kegiatan lain dalam proses belajar

Penekanan pada ketuntasan materi

Penekanan pada pencapaian target kompetensi

Penekanan pada cara pembelajaran yang dilakukan oleh guru

Penekanan pada bagaimana cara peserta didik belajar. Penekanan pada problem-based learning dan skill competency

Sumber: Tanya Jawab Seputar Unit Pengembangan Materi dan Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi, Ditjen Dikti Depdiknas, 2005.

Pertanyaan mendasar yang akan muncul secara abstraksi konsep, bagaimanakah pola pendekatan pembelajaran dalam bidang studi bila ditinjau dari perkembangan mental anak?, untuk iti secara diagram dapat digambarkan sbb:


3. PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (Contextual Teaching and Learning)

Di bawah pengaruh perspektif konstruktivis, pembelajaran yang dianggap dapat menjawab tantangan pendidikan global sekarang ini (pendidikan yang bermakna, bukan pendidikan yang membebani hidup) adalah pembelajaran yang bersifat kontektual (dikenal dengan istilah Contextual Teaching and Learning, disingkat CTL).

CTL adalah strategi pembelajaran yang menghubungkan antara konten pelajaran dengan situasi kehidupan nyata, dan mendorong peserta didik mengaitkan antara pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya di sekolah dengan kehidupannya sebagai anggota keluarga, warganegara, dan dunia kerja.

CTL merupakan respons dari ketidakpuasan praktek pembelajaran yang sangat menekankan pada pengetahuan abstrak atau konseptual semata-mata. Pembelajaran demikian memang cocok untuk melahirkan para akademisi, tetapi tidak menyiapkan peserta didik untuk menjadi seorang professional; dengan kata lain, pembelajaran yang terlampau abstrak telah mengabaikan aspek kontekstual atau terapan dari pengetahuan tersebut.

Bagi peserta didik, proses pembelajaran tradisional yang menekankan pada pengetahuan abstrak/konseptual lebih pasif daripada pembelajaran yang kontekstual. Pada proses pembelajaran tradisional tersebut, peserta didik diharapkan untuk memahami dan menyusun informasi dalam pikirannya melalui kegiatan mendengarkan guru dan membaca materi yang ditugaskan. Sesuai dengan itu, maka metode pengajaran lebih berpusat pada guru. Tidak semua peserta didik memiliki kemampuan untuk menyerap nformasi secara abstrak, oleh karena itu banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar. Juga banyak yang lulus sekolah tetapi tidak mampu berada di masyarakat sebagai anggota yang bermutu.

Penguasaan terhadap pengetahuan faktual atau ‘a need-to-know basis‘ masih tetap diperlukan sebagai landasan pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi pengetahuan itu lebih mudah untuk dipahami jika diperoleh dari pengalaman langsung, daripada peserta didik hanya menghafal dan menyimpan informasi itu dalam pikirannya sampai suatu saat nanti diperlukan.

Apprenticeship (belajar untuk mencapai keahlian tertentu, magang) adalah suatu metode pembelajaran yang menghubungkan pembelajaran dengan dunia nyata. Dalam CTL, pembelajaran konsep-konsep abstrak dilakukan dengan prinsip-prinsip apprenticeship tersebut. Karena yang dipelajari adalah konsep (yang lebih berkaitan dengan kognisi daripada keterampilan, maka pembelajarannya disebut dengan cognitive apprenticeship. Dalam pembelajaran agama hal ini dapat dilakukan dengan kreasi tertentu dalam pola implementasi, umpama yang menyangkut upakara.

Cognitive apprenticeship adalah suatu metode melatih peserta didik dalam menyelesaikan suatu tugas. Ada tiga hal utama yang harus dilakukan guru sebelum pembelajaran dilakukan, yaitu: (1) terlebih dahulu menetapkan kompetensi yang harus dicapai peserta didik, (2) menunjukkan manfaat dari tugas yang diberikan, dan (3) memberi peluang untuk keberagaman cara belajar peserta didik.

Dalam cognitive apprenticeship, dilakukan visualisasi konsep-konsep abstrak, memahami konsep, dan menggunakannya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Terkait dengan konsep keberagaman tersebut, dalam CTL perlu dilakukan diversified learning strategies, yaitu penggunaan strategi pembelajaran yang bervariasi namun kontekstual. Metode ceramah dalam hal yang tepat tetap masih diperlukan, tetapi metode-metode yang berpusat pada peserta didik (student-centered) seperti metode inkuiri dan metode kooperatif akan lebih membantu peserta didik mengembangkan kompetensi dengan baik. Begitu juga, perlu dilakukan differentiated teaching strategies, yaitu pembelajaran yang demokratis dimana peserta didik mendapat peluang yang luas untuk memahami informasi sesuai dengan kecenderungan yang dimiliki masing-masing. Disini kita diingatkan dengan konsep multiple intelligence dari Gardner, yang menekankan bahwa setiap individu memiliki kecenderungan yang dominan dalam dirinya, dan keberhasilan individu tersebut (dalam belajar dan bekerja) besar dipengaruhi oleh apakah dia dapat memanfaatkan kecenderungannya tersebut untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi.

Pemberdayaan (empowerment) sangat diperlukan dalam CTL (Bond, 2005). Pemberdayaan peserta didik dapat dilakukan dengan cara: (1) Fading (menjauh secara pelahan), yaitu dukungan guru dikurangi sedikit demi sedikit hingga akhirnya peserta didik dapat menyelesaikan tugasnya secara mandiri; (2) Articulation ( penyampaian), yaitu kesempatan untuk peserta didik terlibat dalam percakapan atau diskusi mengenai pengetahuannya dalam rangka memecahkan masalah; (3) Reflection (refleksi, melihat kediri-sendiri), yaitu kegiatan dimana peserta didik dapat membandingkan kemampuan dan keterampilannya dengan ahli di bidangnya; dan (4) Exploration (eksplorasi, berkarya), yaitu saat dimana guru mendorong peserta didik untuk mencoba menemukan dan memecahkan persoalan secara mandiri.

Texas Collaborative for Teaching Excellence (2005) mengajukan suatu strategi dalam melakukan pembelajaran kontekstual yang diakronimkan menjadi REACT, yaitu: relating, experiencing, applying, cooperating, dan transferring.

  1. Relating: yaitu belajar dalam konteks menghubungkan apa yang hendak dipelajari dengan pengalaman atau kehidupan nyata. Untuk itu, bawa perhatian peserta didik pada pengalaman, kejadian, dan kondisi sehari-hari. Lalu, hubungkan/kaitkan hal itu dengan pokok bahasan baru yang akan diajarkan.
  2. Experiencing: yaitu belajar dalam konteks eksplorasi, mencari, dan menemukan sendiri. Memang, pengalaman itu dapat diganti dengan video, atau bacaan (dan bahkan kelihatannya dengan cara ini belajar bisa lebih cepat), tetapi strategi demikian merupakan strategi pasif, artinya, peserta didik tidak secara aktif/langsung mengalaminya.
  3. Applying: yaitu belajar mengaplikasikan konsep dan informasi dalam konteks yang bermakna. Belajar dalam konteks ini serupa dengan simulasi, yang seringkali dapat membuat peserta didik mencita-citakan sesuatu, atau membayangkan suatu tempat bekerja dimasa depan. Simulasi seperti bermain peran merupakan contoh yang sangat kontekstual dimana peserta didik mengaplikasikan pengetahuannya seperti dalam dunia nyata. Seringkali juga dilakukan berupa pengalaman langsung (firsthand experience) seperti magang.
  4. Cooperating: yaitu proses belajar dimana peserta didik belajar berbagi (sharing) dan berkomunikasi dengan peserta didik lain. Pembelajaran kooperatif merupakan salahsatu strategi utama dalam CTL, karena pada kenyataannya, karyawan berhasil adalah yang mampu berkomunikasi secara efektif dan bisa bekerja dengan baik dalam tim. Aktivitas belajar yang relevan dengan pembelajaran kooperatif adalah kerja kelompok; dan kesuksesan kelompok tergantung pada kinerja setiap anggotanya. Peer grouping juga suatu aktivitas pembelajaran kooperatif. Beberapa teknik pembelajaran kooperatif akan diulas pada bagian lain dari makalah ini.
  5. Transferring : yaitu belajar dalam konteks pengetahuan yang sudah ada, artinya adalah, peserta didik belajar menggunakan apa yang telah dipelajari untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Aktivitas dalam pembelajaran ini antara lain adalah pemecahan masalah (problem solving).

4. MODEL-MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPETENSI

Beberapa model pembelajaran yang relevan dengan SCL adalah cooperative learning, problem-based learning, project-based learning, group discussion, contextual learning, role play and simulation, discovery learning, self-directed learning, dan collaborative learning. Namun, perlu dicatat disini bahwa model-model pembelajaran di atas seringkali overlap satu sama lain, baik dari segi istilah yang digunakan maupun dalam praktek pelaksanaan pembelajarannya. Istilah contextual learning sebagai suatu model pembelajaran disini disejajarkan dengan problem-based learning, padahal di dalam CTL itu sendiri, problem-based learning yang intinya adalah problem solving merupakan bagian penting dari CTL. Kadangkala penggunaan istilah juga menunjukkan penekanan dari model dimaksud. Misalnya, dalam problem-based learning penekanannya adalah problem atau masalah. Dalam model ini pembelajaran dimulai dengan menampilkan masalah dihadapan peserta didik, selanjutnya semua kegiatan pembelajaran berikutnya diarahkan untuk memecahkan masalah tersebut. Sementara itu dalam CTL, penekanan ada pada otentisitas pembelajaran, yaitu bahwa pembelajaran itu harus nyata sesuai dengan apa yang terjadi sehari-hari, dimana didalamnya sangat mungkin ada kegiatan pemecahan masalah. Dalam model pembelajaran berbasis masalah, sangat mungkin dilakukan secara berkelompok, dengan demikian, berarti juga dilakukan pembelajaran kooperatif. Contoh lain, dalam model kooperatif, yang ditonjolkan adalah kegiatan kerja kelompoknya, yang diharapkan berdampak pada pengembangan pilar learning to live together secara optimal. Oleh sebab itu, meskipun nama tetap diperlukan, namun dalam pemilihan model yang akan digunakan, guru perlu mendasarkan pada tujuan pembelajaran (kompetensi dasar dan indicator pencapaian) yang telah ditetapkan terlebih dahulu.

Berikut akan dibahas mengenai pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran kooperatif.

a. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning/PBL)

Problem-Based Instruction adalah model pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivistik yang mengakomodasi keterlibatan peserta didik dalam belajar dan pemecahan masalah otentik (Arends, 1997). Dalam pemerolehan informasi dan pengembangan pemahaman tentang topik-topik, peserta didik belajar bagaimana mengkonstruksi kerangka masalah, mengorganisasikan dan menginvestigasi masalah, mengumpulkan dan menganalisis data, menyusun fakta, dan mengkonstruksi argumentasi mengenai pemecahan masalah, bekerja secara individual atau kolaborasi dalam pemecahan masalah.

Model problem-based instruction memiliki lima langkah pembelajaran (Arends, 1997), yaitu: (1) guru mendefinisikan atau mempresentasikan masalah atau isu yang berkaitan (masalah bisa untuk satu unit pelajaran atau lebih, bisa untuk pertemuan satu, dua, atau tiga minggu, bisa berasal dari hasil seleksi guru atau dari eksplorasi peserta didik), (2) guru membantu peserta didik mengklarifikasi masalah dan menentukan bagaimana masalah itu diinvestigasi (investigasi melibatkan sumber-sumber belajar, informasi, dan data yang variatif, melakukan survei dan pengukuran), (3) guru membantu peserta didik menciptakan makna terkait dengan hasil pemecahan masalah yang akan dilaporkan (bagaimana mereka memecahkan masalah dan apa rasionalnya), (4) pengorganisasian laporan (makalah, laporan lisan, model, program komputer, dan lain-lain), dan (5) presentasi (dalam kelas melibatkan semua peserta didik, guru, bila perlu melibatkan administrator dan anggota masyarakat).

Sistem sosial yang mendukung model ini adalah: kedekatan guru dengan peserta didik dalam proses teacher-assisted instruction, minimnya peran guru sebagai transmiter pengetahuan, interaksi sosial yang efektif, latihan investigasi masalah kompleks.

Prinsip reaksi yang dapat dikembangkan adalah: peranan guru sebagai pembimbing dan negosiator. Peran-peran tersebut dapat ditampilkan secara lisan selama proses pendefinisian dan pengklarifikasian masalah.

Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja peserta didik, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk peserta didik dan untuk guru, artikel, jurnal, kliping, peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan kursi yang sudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.

Dampak pembelajaran adalah pemahaman tentang kaitan pengetahuan dengan dunia nyata, dan bagaimana menggunakan pengetahuan dalam pemecahan masalah kompleks. Dampak pengiringnya adalah mempercepat pengembangan self-regulated learning, menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi keragaman peserta didik.

Sintaks pembelajaran ini meliputi lima fase:

Fase 1. Mengorientasikan peserta didik kepada masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menguraikan kebutuhan logistik yang diperlukan, dan mendorong peserta didik untuk terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah yang dipilihnya sendiri.

Fase 2. Mengorganisasikan peserta didik untuk belajar

Guru membantu peserta didik untuk mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah

Fase 3. Membimbing investigasi mandiri dan berkelompok

Guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi, melakukan eksperimen, dan untuk mencari penjelasan dan solusi.

Fase 4. Mengembangkan dan mempresentasikan artefak

Guru membimbing peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan artefak yang sesuai, seperti laporan, video, dan model; Guru juga membantu peserta didik untuk saling menginformasikan pekerjaan mereka

Fase 5. Menganalisa dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah

Guru membantu peserta didik untuk merefleksikan investigasi dan proses-proses yang mereka libatkan dalam penyelesaian masalah.

b. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)

Model pembelajaran kooperatif dikatakan unik bila dibandingkan dengan model-model lain karena untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran digunakan struktur tugas dan struktur penghargaan (reward) yang lain dari yang lain. Peserta didik diharapkan bekerja dalam kelompok, dan penghargaan diberikan baik secara kelompok maupun individual.

Munculnya pembelajaran kooperatif didasari oleh konsep-konsep belajar demokratis, aktif, kooperatif, dan penghargaan terhadap perbedaan (karena itu sering dipakai dalam pembelajaran multikultural).

Tujuan pembelajaran kooperatif adalah timbulnya efek akademik yang dibarengi oleh efek pengiring seperti kemampuan bekerjasama, penghargaan terhadap eksistensi orang lain, dan lain-lain.

Sintaks pembelajaran kooperatif adalah tugas dalam kelompok-kelompok kecil, dan terdiri dari enam fase:

(1) menetapkan tujuan pembelajaran,

(2) transfer informasi melalui presentasi atau pemberian bahan bacaan,

(3) pembentukan kelompok,

(4) pelaksanaan tugas dan pemberian bimbingan,

(5) evaluasi hasil kerja kelompok, dan

(6) menentukan hasil belajar individu maupun kelompok.

Beberapa teknik pembelajaran kooperatif yang sering digunakan adalah STAD (Student Team Achievement Division), Jigsaw, Think-Pair-Share, dan Group Investigation. Dalam Jigsaw, misalnya, peserta didik dibagi menjadi 5-6 kelompok heterogen. Materi diberikan dalam bentuk teks, dan setiap anggota suatu kelompok bertugas mempelajari sebagian dari keseluruhan materi. Pada saat dilakukan jigsaw, anggota dari semua tim yang membaca materi yang sama berkumpul untuk berdiskusi tentang materi tersebut. Setelah itu, setiap orang kembali ke kelompok/timnya semula. Mereka ini menjadi expert dalam materi yang dipelajari, dan bertugas mengajari anggota timnya. Ilustrasi berikut dapat memperjelas konsep Jigsaw di atas (sumber: Arends, 1997).


VIII. Penutup

Konsep di atas (diajukan sebagai pertimbangan) dan dirumuskan berdasarkan beberapa kajian teori dan antisipasi pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Untuk selanjutnya guru sebagai tenaga profesional dikelas memilih, menentukan dan mengkombinasikan beberapa model pembelajaran tersebut sehingga dapat mengorkestra dengan sumber belajar yang lain sehingga peserta didik mendapatkan pengalaman yang optimal. Selamat bertugas dan mencoba.


Daftar Pustaka

Arends, R.I. (1997). Classroom Management and Instruction. New York: Mc. Graw-Hill Companies Inc.

Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : BSNP

Beeby, C.E., (1979). Assessment of Indonesia Education. London: Oxford University Press.

Buchori, M. (2000). Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Penerbit

Kanisius.

Clifford, M. and Wilson, M. (2000). ‘Professional Learning and Student’s Experiences: Lesson Learned from Implementation’. Educational Brief . No. 2 December 2000. Texas Collaborative for Teaching Excellence. (2005). REACT Strategy. Printed on 15th July 2005.

Delors, J. (1996). Learning: The Treasure Within. France: UNESCO

Publishing.

Deming, Edwards W. American Association of School Administrators Conference, Washington, DC, January 1992. Seperti dikutip oleh Lee Jenkins. Improving Student Learning. Applying Deming Quality Principles in Education. Milwaukee,WI: ASOQ Press

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta. 2003.

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta. 2005.

Direktorat Pembinaan Akademik dan Kepeserta didikan Ditjen Dikti Depdiknas. (2005). Tanya Jawab Seputar Unit Pengembangan Materi dan Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Jakarta.

Elliott, S.N. et al. (2000). Educational Psychology: Effective Teaching, Effective Learning. Boston: Mc.Graw Hill.

Hoy, Charles, Colin Bayne-Jardine and Margaret Wood. (2000). Improving Quality in Education. London: Falmer Press. 2006.

Miarso, Yusufhadi.(2004). Menyemai benih Teknologi Pembelajaran. Jakarta : Pustekkom Diknas & Kencana.

Moore, K. D. (2005). Effective Instructional Strategies From Theory to Practice. California: Sage Publications Inc.

Nitko A.J. (1996). Educational Assessment of Students, 2nd Ed. Columbus Ohio : Prentice Hall.

O’Malley, J.M. & Valdez Pierce, L. (1996). Authentic Assessment for English Language Learners. New York: Addison-Wesley Publishing Company.

Popham, W.J. (1995). Classroom Assessment, What Teachers Need to Know. Boston: Allyn and Bacon.

Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. (2002). Kurikulum Berbasis

Kompetensi. Jakarta :Depdiknas R.I.

Salvia, J. & Ysseldyke, J.E. (1996). Assessment. 6th Edition. Boston: Houghton Mifflin Company.

Rolheiser, C. & Ross, J. A. (2005) Student Self-Evaluation: What Research Says and What Practice Shows. Internet download.

Wyaatt III, R.L. & Looper, S. (1999). So You Have to Have A Portfolio, a Teacher’s Guide to Preparation and Presentation. California: Corwin Press Inc.

Download Tulisan

SISTEM KREDIT SEMESTER (SKS) DAN PEMBIMBING AKADEMIK (PA) DALAM KAITANDENGAN IMPLEMENTASI RINTISAN SEKOLAH KATAGORI MANDIRI (SKM)

SISTEM KREDIT SEMESTER (SKS) DAN

PEMBIMBING AKADEMIK (PA) DALAM KAITAN

DENGAN IMPLEMENTASI RINTISAN

SEKOLAH KATAGORI MANDIRI (SKM)

************************

Oleh: Nyoman Dantes

************************

1. Pengantar


Dalam pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua Warga Negara Indonesia, berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip yang dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan.

Salah satu prinsip tersebut adalah bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran.

Paradigma pengajaran yang telah berlangsung sejak lama lebih menitikberatkan peran guru dalam mentransfer pengetahuan kepada peserta didik. Paradigma tersebut bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Untuk dapat menyelenggarakan pendidikan berdasarkan pergeseran paradigma tersebut, diperlukan acuan dasar bagi setiap satuan pendidikan yang meliputi serangkaian kriteria (kriteria minimal) sebagai pedoman untuk kendali mutu yang bersifat demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreativitas dan dialogis.

Dengan mengingat kebhinekaan budaya, keragaman latar belakang dan karakteristik peserta didik ( sebagai masukan) dalam sistem pembelajaran, dan di sisi lain adanya tuntutan agar proses pembelajaran mampu menghasilkan lulusan yang bermutu,
maka proses pembelajaran harus dipilih, dikembangkan, dan diterapkan secara luwes dan bervariasi dengan memenuhi kriteria standar.

Pada jalur pendidikan formal proses pembelajaran lebih banyak terjadi dalam lingkungan kelas dengan sejumlah peserta didik di bawah pembinaan seorang guru, dan lazim disebut sebagai kelas klasikal. Kelas klasikal ini sering disalah artikan sebagai kelas konvensional yang menganggap peserta didik dalam satu kelas sebagai kelompok homogin, sehingga dapat diperlakukan secara sama untuk memperoleh hasil yang sama. Perlakuan yang seharusnya adalah bahwa peserta didik merupakan kelompok heterogin yang terdiri atas pribadi-pribadi yang mempunyai karakteristik, kondisi dan kebutuhan yang berbeda, sehingga oleh karena itu perlu mendapat perlakuan sedemikian rupa sehingga potensi masing-masing pribadi tersebut dapat berkembang secara optimal., Pemberdayaan peserta didik agar mereka mampu untuk membangun diri sendiri berdasarkan rangsangan yang diperolehnya sesuai dengan taraf perkembangan psikis, fisik dan sosial memerlukan interaksi aktif antara guru dengan peserta didik, antar peserta didik, dan antara peserta didik dengan lingkungan, dalam suasana yang menyenangkan dan menggairahkan, serta sesuai dengan kondisi dan nilai-nilai yang ada dalam ling-kungannya.

Tidak ada satupun model proses pembelajaran yang berlaku untuk setiap matapelajaran di dalam kelas dengan peserta didik yang beragam. Untuk itu semua guru harus mampu memilih, mengembangkan dan menerapkan proses pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik mata kuliah, karakteristik peserta didik, serta kondisi dan situasi lingkungan. Hal ini menunjukkan posisi penting proses pembelajaran dalam menghasilkan lulusan yang bermutu. Untuk itu, betul-betul diperlukan guru yang profesional., maka dari itu pendidikan dan pelatihan pada calon guru untuk mencapai tujuan tersebut harus dilakukan secara serius dan sungguh-sungguh, sehingga mampu menterjadikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahklak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Mengingat bahwa pendidikan itu merupakan suatu sistem dengan komponen-komponen yang saling berkaitan, maka keseluruhan sistem harus sesuai dengan ketentuan yang diharapkan atau standar. Untuk itu masing-masing komponen dalam sistem harus pula sesuai dengan standar yang ditentukan bersama. Dalam UU SPN RI No.20/2003 dan PP 19/2005 ditentukan delapan standar mutu yang harus dipenuhi oleh setiap satuan pendidikan, yaitu menyangkut : (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan.
Keterkaitan antara standar tersebut dapat divisualisasi sebagai berikut :


Gambar 1: Keterkaitan antara Aspek-Aspek Standar Mutu

Salah satu implikasi dari penetapan standar pendidikan tersebut, adanya keperluan untuk melakukan pemetaan (pengkatagorian) sekolah khususnya SMA berdasarkan tingkat pemenuhan Standar Nasional Pendidikan. Pengkatagorian tersebut dapat dilakukan dalam : katagori standar, mandiri dan bertaraf internasional (BI), keunggulan lokal. Aturan mengenai hal tersebut belum dikeluarkan oleh BSNP, dan sambil menunggu aspek legal, Ditjen Manajemen Dikdasmen, mengambil langkah awal penerapan kebijakan standar nasional pendidikan (SNP), mengembangkan konsep : Sekolah Katagori Standar, Sekolah Katagori Mandiri, dan Satuan Kredit Semester untuk SMA. Sedangkan untuk penerapannya dirintis Sekolah Katagori Mandiri.

Dalam kaitan dengan rintisan SKM, delapan SNP di atas minimal diwujudkan dalam hal sbb :

a. Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL), dimaksudkan sekolah memiliki dokumen KTSP yang memuat komponen yang dipersyaratkan dan telah disahkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi. Penyusunan KTSP dilakukan secara mandiri oleh sekolah berdasarkan tujuh prinsip pengembangan kurikulum dan acuan operasional penyusunan KTSP ( yaitu, berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya, beragam dan terpadu, tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, relevan dengan kebutuhan kehidupan, menyeluruh dan berkesinambungan, belajar sepanjang hayat, seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah). Sedangkan kriteria ketuntasan minimal (KKM) sesuai dengan SI dan SKL nya adalah minimal 75 %.

b. Standar Proses, dalam kaitan ini dimaksudkan sekolah mempunyai perencanaan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran sesuai dengan rencana, melaksanakan penilaian dengan berbagai cara, melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap seluruh proses pendidikan yang terjadi di sekolah untuk mendukung pencapaian standar kompetensi lulusan. Sekolah menerapkan sistem kredit semester (SKS).

c.Standar Pengelolaan, dalam kaitan ini dimaksudkan sekolah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan dan akuntabilitas. Untuk mendukung penerapan MBS sekolah memiliki/telah mengembangkan berbagai aturan untuk menjamin ketertiban sekolah dalam melaksanakan program-programnya.

d. Standar Sarana, dalam kaitan ini dimaksudkan sekolah memiliki seluruh kebutuhan sarana prasarana, mendayagunakan dan memanfaatkannya secara optimal didukung sistem perawatan dan pemeliharaan yang dilakukan secara berkala dan berkesinambungan.

e. Standar Ketenagaan, dalam kaitan ini dimaksudkan sekolah memiliki tenaga guru dan tenaga kependidikan yang memenuhi kualifikasi jabatan/profesi yang diemban dan dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional.

f. Standar Pembiayaan, dalam kaitan ini dimaksudkan sekolah dapat membiayai seluruh kegiatan pendidikan di sekolah dengan memanfaatkan berbagai sumber pembiayaan, yang dapat digali oleh sekolah.

g. Standar Penilaian, dalam kaitan ini dimaksudkan hasil belajar siswa diperoleh melalui kegiatan penilaian yang dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan, dan pemerintah. Penilaian hasil belajar aspek kognitif pada kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dilakukan melalui ujian nasional. Penilaian hasil belajar aspek kognitif dan/atau psikomotor pada kelompok mata pelajaran agama dan Akhlak Mulia, kelompok pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian, kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi yang tidak diujikan pada ujian nasional, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan dilakukan oleh satuan pendidikan melalui ujian sekolah. Penilaian hasil belajar aspek afektif pada kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan, kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan dilakukan melalui pengamatan oleh pendidik yang nilai akhir ditentukan melalui sidang dewan pendidik. Untuk mengetahui pencapai belajar siswa pada ujian nasional dan ujian sekolah beserta persiapan yang dilakukan siswa, guru, dan sekolah dalam menghadapi ujian dilakukan pemantauan.

2. Profil Sekolah Katagori Mandiri (SKM)

Sekolah Katagori Mandiri, merupakan sekolah yang mampu mengoptimalkan pencapaian tujuan pendidikan, potensi dan sumberdaya yang dimiliki untuk melaksanakan proses pembelajaran yang dapat mengembangkan potensi peserta didik sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas. Persyaratan minimal yang harus dipenuhi yaitu :

a. Dukungan internal, yang meliputi : (1) kinerja sekolah (terakreditasi A, rerata nilai UN tiga tahun terakhir 7 , persentase kelulusan UN tiga tahun terakhir 90 %, animo tiga tahun terakhir > dari daya tampung, prestasi akademik dan nonakademik yang dicapai (teridentifikasi), melaksanakan manajemen berbasis sekolah, jumlah siswa per-klas maksimal 32 orang, ada pertemuan rutin pimpinan dengan guru, ada pertemuan rutin sekolah dengan orang tua); (2) Kurikulum (memiliki kurikulum tingkat satuan pendidikann (KTSP) yang mencerminkan kurikulum SKM, beban belajar dinyatakan dengan Satuan Kredit Semester (sks), mata pelajaran yang harus diikuti oleh peserta didik tediri dari tiga kelompok yaitu wajib (mata pelajaran pokok) dan pilihan (paket dan bebas); (3) Ketersediaan Panduan Pelaksanaan yang meliputi, memiliki pedoman pembelajaran, memiliki pedoman pemilihan mata pelajaran sesuai dengan potensi dan minat, memiliki panduan menjajagi potensi peserta didik, memiliki pedoman penilaian: (4) Kesiapan sekolah, meliputi sekolah menyatakan ingin melaksanakan SKS, persentase guru yang ingin melaksanakan SKS 90 %, pernyataan staf administratif akademik bersedia melaksanakan SKS, kemampuan staf administrasi akademik dalam menggunakan komputer ; (5) Kesiapan Sumber Daya Manusia, meliputi persentasi guru memenuhi kualifikasi akademik 75 %, relevansi guru setiap mata pelajaran dengan latar belakang pendidikan (90 %), rasio guru dengan siswa 1:20, jumlah tenaga administrasi akademik sesuai ketentuan, guru bimbingan konseling/karir ; (6) Ketersediaan fasilitas, meliputi ruang kepala sekolah, ruang wakil kepala sekolah, ruang guru, ruang bimbingan, ruang unit kesehatan, tempat olah raga, tempat ibadah, lapangan bermain, komputer untuk administrasi, memiliki laboratorium bahasa, TIK, MIPA,IPS, perpustakaan memiliki koleksi buku setiap mata pelajaran dan dikelola, layanan bimbingan karir.

b. Dukungan Eksternal, meliputi dukungan dari komite sekolah, persentase orang tua yang menyatakan bersedia putranya mengikuti pembelajaran dengan SKS 60 %, dukungan dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota secara tertulis (kebijakan dan fasilitas/pembiayaan), dukungan tenaga pendamping/nara sumber dalam keseluruhan proses pengembangan dan pelaksanaan SKM.

c. Kriteria (pelevelan) sekolah

Landasan implementasi SMA rintisan katagori mandiri sebenarnya merupakan kebijakan yang harus didasarkan pada ketetapan BSNP. Sambil menunggu kebijakan dari BSNP untuk sementara ditetapkan pelevelannya sbb:

1) SMA katagori standar I = x 30 %

2) SMA katagori standar II = 30 % < x 50 %

3) SMA katagori standar III = 50 % < x 75 %

4) SMA katagori mandiri I = 75 % < x 100 % (hampir memenuhi SNP)

5) SMA katagori mandiri II 100 % (memenuhi/melampaui SNP)

Dimana x adalah SNP (8 standar)

3. Sistem Kredit Semester (SKS)

Sesuai dengan PP No 19 tahun 2005, pasal 11 ayat (3) menyatakan bahwa beban belajar untuk SMA dan bentuk lain yang sederajat pada jalur pendidikan formal katagori mandiri dinyatakan dalam SKS. Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa SKM harus menerapkan SKS. Untuk mendeskripsikan lebih rinci tentang SKS di SMA, akan diuraikan hal sbb:

a. Dasar pikiran.

1) Penerapan sistem kredit semester didasarkan oleh kenyataan bahwa kecepatan belajar seseorang (siswa) adalah tidak sama disebabkan oleh potensial abiliti mereka tidak sama sehingga potensi belajar mereka tidak sama juga. Di samping itu minatnya terhadap mata pelajaran pun tidak sama, sehingga kesuksesan siswa dalam menempuh studi akan sangat besar dipengaruhi oleh hal tersebut.

2) Dalam kaitan dengan itu, ada dua faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan beban studi seorang siswa dalam satu semester, yaitu rata-rata kerja sehari dan kemampuan individu. Pada umumnya orang bekerja rata-rata 6-8 jam sehari selama 6 hari berturut-turut. Apabila seorang siswa bekerja normal rata-rata 6-8 jam pada siang hari dan 2 jam pada malam hari selama 6 hari berturut-turut, maka seorang siswa diperkirakan memiliki waktu belajar sebanyak 8-10 jam sehari atau selama 48-60 jam seminggu. Karena nilai satu kredit semester setara dengan 3 jam kerja, maka beban studi siswa untuk setiap semester (rata-rata) akan bergerak antara 19-20 sks.

b. Pengertian

Sistem semester adalah sistem penyelenggaraan program pendidikan dengan menggunakan satuan waktu terkecil yang disebut semester. Semester merupakan satu kesatuan waktu yang lamanya setara dengan 16-19 minggu kerja, sudah termasuk persiapan ujian (minggu tenang) dan masa ujian.

Program semester adalah program penyelenggaraan pendidikan secara bulat untuk setiap mata pelajaran pada semester tersebut. Penyelenggaraan pendidikan dalam satu semester terdiri atas kegiatan teori, praktikum dan kerja lapangan, baik dalam bentuk tatap muka, belajar terstruktur dan kerja mandiri. Dalam satu semester ditawarkan sejumlah mata pelajaran dengan bobot sks yang bervariasi, sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam kurikulum.

Pengertian SKS adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang merangkum beban studi siswa, beban kerja guru, dan beban lembaga penyelenggaraan pendidikan yang dinyatakan dalam satuan kridet semester (sks) Dalam kaitan dengan ini, satuan kredit semester menurut standar isi (SI) adalah sistem penyelenggaraan program pendidikan yang peserta didiknya menentukan sendiri beban belajar dan mata pelajaran yang diikuti setiap semester pada satuan pendidikan. Jadi SKS melambangkan sistem kredit yang berlaku, sedangkan sks melambangkan satuan kredit yang merupakan bobot kredit masing-masing mata pelajaran.

c. Tujuan

Tujuan umum Sistem Kredit Semester (SKS) adalah agar Satuan Tingkat Pendidikan (SMA/sederajat) dapat lebih memenuhi tuntutan pembangunan, karena di dalamnya dimungkinkan penyajian program pendidikan yang bervariasi dan fleksibel sehingga memberi kemungkinan lebih luas kepada siswa (peserta didik) untuk memilih sesuai dengan potensi dan minatnya.

4. Implementasi sistem kredit semester di SMA

a. Kurikulum dan Sistem Kredit Semester

1) Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang telah ada pada SI disusun menjadi satuan kredit semester (sks), menjadi 120 sks, yang terdistribusi dalam berbagai mata pelajaran yaitu : (a) mata pelajaran wajib/pokok yang harus diambil oleh seluruh peserta didik; (b) pilihan paket, sebagai dasar untuk mendukung bidang kemampuan yang akan dipilih di Perguruan Tinggi, (c) pilihan bebas, sesuai dengan bakat dan minat peserta didik, (d) kelompok MP Pilihan Paket, meliputi berbagai bidang kemampuan yang diperlukan peserta didik untuk melanjutkan ke pendidikan lebih lanjut, yang meliputi : Program akademik (teknik, Ilmu Kesehatan, Sains, Ekonomi, Ilmu Sosial, Bahasa, Hukum dan sebagainya, dan program profesional seperti politeknik).

2) Beban belajar peserta didik dinyatakan dengan sks yaitu 16-27 sks per-semester, dimana kecepatan belajar normal rata-rata 20 sks per-semester.

3) Bobot satu sks dapat dirinci sebagai berikut


Bentuk Kegiatan

Tatap Muka (menit)

Terstruktur + Mandiri (menit)

sks

Teori

Praktikum

1 x 45

2-3 x 45

1 x 25

2-3 x 25

1

1

Catatan :

(a) Mata pelajaran pilihan ditawarkan mulai semester 3

(b)     Tatap muka adalah kegiatan terjadual per-minggu dengan pendidik (guru) di dalam kelas atau di laboratorium

(c) Kegiatan terstruktur adalah kegiatan studi yang tidak terjadual, tetapi direncanakan oleh guru dan dilakukan oleh siswa berupa pekerjaan rumah (take home), latihan soal, konsultasi, penyelesaian proyek dan sejenisnya

(d) Kegiatan mandiri adalah kegiatan yang dilakukan oleh siswa secara mandiri untuk mendalami atau menyiapkan satu tugas akademik (bisa seperti butir c), atau membaca buku acuan dan sejenisnya.

4) Beban mengajar : (a) semester 1 dan 2 diprogram secara paket masing-masing sebanyak 20 sks, (b) semester 3 dan seterusnya pengambilan beban studi berdasarkan IP (Indeks Prestasi) semester sebelumnya (ganjil-ganjil; genap-genap). Pengambilan sementer 3 didasarkan IP semester 1 dan pengambilan beban studi semester 4 didasarkan IP semester 2, dan begitu seterusnya. Rentangan pengambilan beban studi antara 16 sks s/d 28 sks per-semester. Sebagai ancer-ancer dapat digunakan kriteria sbb:


5) Pembelajaran : (a) pelaksanaan pembelajaran menerapkan pendekatan tatap muka, kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur. Oleh karena itu peserta didik didorong untuk dapat belajar secara mandiri, (b) menerapkan pengelolaan pembelajaran dengan sistem pindah ruang kelas (moving class), sehingga diperlukan kelas mata pelajaran, (c) guru menyediakan jadual untuk konsultasi mata pelajaran, (d) jadual pemanfaatan laboratorium untuk kegiatan di luar jadual rutin, (e) pemanfaatan perpustakaan, (f) penasehat akademik (PA) mendeteksi potensi siswa (bisa dengan tes bakat, prestasi siswa, dsb), (g) ada program remidi sepanjang semester (sangat baik didukung dengan fasilitas modul/referensi), (h) menerapkan pembelajaran berbasis TIK.

6) Penilaian, dilaksanakan dalam : (a) bentuk tugas-tugas dan asesmen otentik lainnya (penilaian proses), ujian tengah semester (midsemester), ujian akhir semester, (b) penilaian menggunakan Acuan kriteria/patokan (PAP) dengan katagori A, B, C, dan D (dalam skala 4), (c) lulus minimum mencapai nilai C, dan (d) syarat lulus dari sekolah dengan IP minimum 2,0. Alternatif PAP adalah sbb:

Tingkat Penguasaan (%)

Nilai

Katagori

Tingkat Penguasaan (%)

Nilai

Katagori

90 – 100

4

A

90 – 100

4

A

75 – 89

3

B

75 – 89

3

B

55 – 75

2

C

65 – 74

2

C

54

1

D

64

1

D

7) Administrasi akademik, pada hakekatnya adalah merupakan registrasi siswa yang berupa pelayanan pada siswa dalam rangka status formal mereka (terdaftar sebagai siswa di sekolah) baik dalam kaitan dengan kepentingan data akademik maupun data pribadi siswa. Untuk itu masing-masing siswa harus memiliki folder yang menyimpan data individual siswa seperti : (a) kartu rencana studi (KRS), (b) kartu hasil studi (KHS), dan (c) data pribadi lainnya (seperti data Inteligensi, TPA, Bakat siswa). Dua hal pertama butir a, b, disimpan 1 eks oleh siswa, 1 eks oleh PA dan 1 eks oleh Pusat administrasi akademik sekolah (dan bila mungkin disimpan di PUSKOM). Untuk data butir c disamping disimpan oleh siswa sendiri, sebaiknya teradministrasi secara bagus di Unit Layanan Bimbingan Konseling.

5. Sistem Bimbingan Akademik

  1. Pengantar

Standar Kelulusan pada satuan pendidikan menengah umum (SMA) bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri serta mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dalam rangka mengimplementasikan tujuan tersebut dalam proses transformasi pembelajaran banyak kendala yang ditemukan. Salah satu dampak tidak langsungnya adalah sukses dan tidak suksesnya seorang siswa menyelesaikan studinya. Ketuntasan penyelesaian studi siswa salah satu merupakan tujuan utama yang harus diprioritaskan oleh siswa itu sendiri dan juga oleh tingkat satuan pendidikan terkait.

Guru merupakan salah satu unsur (faktor) penggerak dalam instrumental input. Guru juga memegang posisi yang sangat strategis dalam proses transformasi. Guru secara tidak langsung memiliki kewajiban untuk mengantarkan kesusksesan studi siswa. Untuk itu secara terorganisir oleh lembaga, guru dibutuhkan (diwajibkan) untuk memberikan bimbingan pada siswa. Dalam kaitan dengan itulah guru sangat dibutuhkan berperan sebagai guru penasehat akademik (PA) untuk bisa secara intens memberikan bibingan akademik pada siswa.

Dengan demikian bimbingan akademik adalah bimbingan yang diberikan oleh Penasehat Akademik (PA) kepada siswa dalam bidang akademik selama mengikuti studi. Sehingga tujuan bimbingan akademik oleh PA antara lain adalah memberikan bantuan dan nasehat kepada siswa bimbingannya (SB) dalam menyusun program studinya dan memberikan pengawasan secara terus menerus demi kelancaran studi SB.

  1. Tugas, tanggung jawab Guru PA dan Kriteria Personal

Kehidupan adalah merupakan proses adaptabilitas baik pada lingkungan, norma maupun permasalahan yang dihadapi. Masalah hampir-hampir melekat pada kehidupan manusia. Begitu pula kehidupan siswa, dia mengalami perubahan kehidupan baik yang bersifat fisik maupun yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Kehidupan akademiknya pun tidak terlepas dari goncangan. Faktor-faktor psikologis dan sosial sangat mempengaruhi kehidupan akademiknya. Siswa tingkat yang lebih tinggipun tidak luput dari permasalahan akademik maupun pribadi. Untuk itu sangat diperlukan peran guru PA untuk dapat membantu para siswa memecahkan masalah yang ia hadapi. Secara umum tugas PA sebenarnya adalah menandai siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar, memediasi, memberikan informasi dan bimbingan dalam bidang akademik dan non-akademik yang terkait. Dengan demikian secara lebih rinci dapat dirumuskan tugas guru PA sebagai berikut : (1) memberi penjelasan dan petunjuk kepada siswa tentang rencana studinya, (2) memberi bimbingan dan nasehat kepada siswa tentang cara-cara belajar yang baik dalam menyelesaikan studi, (3) memberikan nasehat pada siswa dalam pemilihan mata pelajaran sesuai dengan jurusan, kemampuan, (4) meneliti sebab-sebab ketidaksuksesan siswa dalam menempuh studi, (5) mencari, menyusun dan menyimpan secara rahasia data SB, (6) memberi laporan dan rekomendasi tentang SB nya (bila diperlukan), (7) memantau, memberikan bimbingan secara kontinyu, dan bila perlu memberi peringatan kepada siswa yang berprestasi rendah. Bila diperlukan dilakukan reveral pada unit yang relevan, (8) menyediakan waktu yang cukup pada siswa untuk berkonsultasi.

Bila dikaji hal di atas, tugas guru PA sangat berkaitan dengan kemampuan menjalin hubungan dengan siswa, sehingga diharapkan guru PA memiliki kemampuan untuk itu, sehingga siswa merasa nyaman untuk melakukan konsultasi dengan guru PA. Prinsip komunikasi yang dijalin oleh guru PA agar berorientasi pada prinsip komunikasi : I am ok, you are ok (jangan sampai terjadi I am ok, you are not ok ).

Sebagai bahan pertimbangan kriteria guru PA dapat merujuk pada : (1) kriteria formal ; seperti guru tetap di tingkat satuan pendidikan bersangkutan, masa kerja minimal 2 tahun, (2) kriteria Personal ; seperti : memiliki komitmen yang tinggi, integritas, terbuka menerima pendapat luar, empati dan sensitif terhadap keadaan orang lain, memiliki daya observasi yang tajam, dan mampu mengidentifikasi kendala-kendala psikologis, sosial dan kultural.

  1. Meningkatkan Interaksi Guru PA – Siswa

Membimbing siswa untuk dapat mengenali masalahnya dan mampu melakukan pemecahannya tentu memerlukan keterampilan tersendiri bagi guru. Banyak kemampuan yang berperan untuk itu, beberapa hal yang simpel yang perlu dikuasai adalah sbb :

1) Kemampuan menjalin komunikasi, komunikasi inter/antar-personal yang didasarkan pada prinsip I am ok, you are ok. Bertolak dari pandangan bahwa dalam diri manusia ada tiga ego, yaitu ego anak-anak (A), ego dewasa (D), dan ego orang tua (O). Maka interaksi personal diharapkan terjadi saling melengkapi dan bila mungkin membentuk garis-garis sejajar.


  1. Memiliki kemampuan mengidentifikasi/ mengenali faktor-faktor yang

mempengaruhi keberhasilan studi siswa.

d.
Strategi Umum Bimbingan Siswa

1) Sasaran bimbingan adalah semua siswa dari semester 1-akhir

2) Tujuan bimbingan dimaksudkan untuk mendeteksi dini masalah studi/ kesulitan

belajar siswa.

3) Arah bimbingan adalah untuk mengembangkan keterampilan umum dalam belajar.

4) Mengembangkan suasana yang lebih kondusif dalam hubungan guru siswa agar

bimbingan lebih efektif.

5) Perlunya memperbaiki persepsi siswa terhadap keefektifan bimbingan.

6) Adakan deteksi dini masalah studi siswa dengan cara; manfaatkan Tes Bakat,

Minat siswa dsb, angket/inventori kesulitan belajar, dan lakukan tindak lanjut.

7) Kembangkan keterampilan belajar siswa seperti : penyusunan rencana studi, penyusunan rencana belajar sendiri, penggunaan waktu belajar dan waktu lowong, cara belajar efektif.

e. Alur Pembimbingan

Download Tulisan

Tinjauan Pedagogik Pengaruh Faktor Kecerdasan, Kreativitasdan Potensi Diri terhadap Keberhasilan dalam Memimpin

Tinjauan Pedagogik Pengaruh Faktor Kecerdasan, Kreativitas

dan Potensi Diri terhadap Keberhasilan dalam Memimpin

Oleh : Nyoman Dantes

  1. Pendahuluan

Ciri utama abad milinium ini adalah terjadinya globalisasi pada setiap aspek kehidupan. Kita hidup pada masa berlangsungnya banyak perubahan yang mempercepat globalisasi, informasi yang kian menggunung, dominasi sains dan teknologi yang terus bertumbuh, dan benturan berbagai kultur. Globalisasi mengandung arti terjadinya keterbukaan, kesejagatan, dimana batas-batas negara tidak lagi menjadi penting. Dalam kaitan dengan itu, terjadi kehidupan yang penuh dengan persaingan karena dunia telah menjadi sangat kompetitif. Salah satu yang menjadi trend dan merupakan ciri globalisasi adalah adanya keterbukaan, jaminan mutu dan persamaan hak. Dalam konteks kepemimpinan, hal itu tentunya berarti dimensi penghargaan, pengakuan dan keadilan pada setiap individu berhak mendapat prioritas yang setinggi-tingginya tanpa memandang bangsa, ras, latar belakang ekonomi, maupun jenis kelamin. Kepemimpinan yang dapat memberikan kenyamanan, perasaan aman, kesejahtraan moriil dan materiil akan berdampak langsung pada kesejahtraan hidupnya. Hal tersebut merupakan dimensi aksiologi kepemimpinan. Maka dari itu diperlukan dasar pemahaman yang kuat dan dasar yang kokoh bagi pemimpin atas nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Sentuhan dengan pendekatan kemanusiaan akan dapat merupakan wahana transpormasi budaya, dan proses itu sendiri adalah budaya intingeble,merupakan social culture, dan juga merupakan dan mendukung culture system. Dalam kaitannya dengan itu pemimpin dituntut berperan sebagai agen pengembang dan pembentuk budaya kerja organisasi.

Bila kita analisis pengalaman sejarah bangsa kita, pasang surutnya perkembangan bangsa kita, diperlukan usaha yang sangat serius untuk menata kehidupan bangsa dalam berbagai aspek. Menata kehidupan bangsa dalam berbagai aspeknya termasuk pendidikan adalah hal yang sangat mendesak untuk dilakukan, walaupun hal itu diketahui sulit. Pada hakekatnya proses penataan kembali itu diperlukan, karena hadirnya sejumlah perubahan, yang beberapa diantaranya sangat fundamental dan tidak pernah diramalkan sebelumnya. Dunia bergerak ke masa depan dengan dinamis, dan dalam proses itu banyak nilai masa lalu yang tidak tepat lagi dengan konteks perkembangan jaman. Hal ini disebabkan karena memang perubahan perkembangan masyarakat; dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan, dari masyarakat agraris ke masyarakat industri dan jasa, dari tipologi masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, juga berkembang dari masyarakat paternalistik ke masyarakat demokratis. Hal ini dapat menyebabkan sebagian masyarakat mengalami disorientasi nilai. Dalam tingkat tertentu hal tersebut juga mempengaruhi dunia pendidikan kita.

Sebagai masyarakat yang sebagian besar cenderung dalam tipologi tradisional, terkait dengan perubahan jaman tersebut, untuk bisa hidup harmonis dan bahagia dalam lingkungan dunia baru (global) ini, diperlukan hadirnya Neotradisional Norm yaitu nilai-nilai baru yang berakar pada nilai-nilai tradisional (asli) dan dalam perkembangan dan perubahan nilai dapat disebut dengan dynamic integrated norm yaitu suatu perubahan nilai yang dianut masyarakat tetapi masih bersumber dan terintegrasi dengan nilai aslinya yang bisa berupa nilai-nilai luhur bangsa yang merupakan puncak-puncak nilai bangsa, maupun berupa nilai yang bersumber dari kearifan lokal (local geneus). Semua ini mewarnai perilaku kehidupan masyarakat dan ini juga mewarnai perilaku mereka dalam melakukan kegiatan-kegiatan profesional maupun dalam dunia kerja industri. Pola-pola manajemen (pengelolaan) sumber daya pun harus dapat mengantisipasi hal tersebut.

Bila kita kaji beberapa referensi dalam kaitan dengan hal di atas, tampak jelas penggambaran adanya perubahan zaman yang sangat pesat. Seperti Nisbet (1997) telah menyodorkan sepuluh megatrent global yang akan terjadi ke depan yang terkenal dengan megatrent global melenium yang meliputi boom ekonomi global, renaisan dalam seni, sosialisme pasar bebas, gaya hidup global dan nasionalisme kultural, swastanisasi, kebangkitan tepi pasifik, dasawarsa kepemimpinan wanita, abad biologi, kebangkitan agama milinium, dan kejayaan individu, dan ini akan mempengaruhi perilaku masyarakat dalam berinteraksi, yang pada gilirannya akan mewarnai bagaimana pola kepemimpinan yang diterapkan oleh seorang manager untuk mengelola para sumber daya yang dipimpin.. Sedangkan Rowan Gibson (1997) menyatakan tiga hal sehubungan dengan kehidupan ke depan yaitu : pertama, the road stop here ; yang esensinya menyatakan bahwa masa depan nanti akan sangat berbeda dari masa lalu, dan karenanya diperlukan pemahaman yang tepat tentang masa depan itu. Kedua, new time call for new organizations, yang pada esensinya menyatakan bahwa dengan tantangan yang berbeda diperlukan bentuk organisasi/ institusi yang berbeda dan kepemimpinan yang berbeda dengan ciri efisiensi yang tinggi, dan kecepatan bergerak. Ketiga, where do we go next; yang esensinya menyatakan bahwa, dengan berbagai perubahan yang terjadi, setiap organisasi, institusi, pemimpin, perlu merumuskan arah yang tepat yang ingin dituju. Peter Senge (2004) juga mengemukakan bahwa akan terjadi ke depan ini perubahan dari detail comlplexety ke dinamic complexity yang nantinya akan membuat interpolasi menjadi sulit. Perubahan terjadi akan sangat mendadak dan tidak menentu. Sedangkan Rossabeth Moss Kanter (1994) menyatakan masa depan akan didominasi oleh nilai-nilai dan pemikiran cosmopolitan dan setiap pelakunya disetiap bidang termasuk bidang pendidikan dan kepemimpinan dalam pendidikan dituntut memiliki 4C yaitu : Concept, Competence, Conection, dan Confidance. Maka dari itu kedepan diperlukan pendidikan yang, di samping menguasai sains dan teknologi yang tinggi, harus didasarkan pada dasar pemahaman dan penguasaan nilai dan moral kemanusiaan yang kokoh. Maka dari itu kepemimpinan yang diharapkan diterapkan dalam perubahan jaman yang begitu cepat adalah kepemimpinan yang mampu menggerakkan inner power yang dimiliki oleh sumber daya yang dipimpin antara lain yaitu faktor kecerdasan, kreativitas, pengelolaan diri, dan faktor-faktor aktivitas kepemimpinan.

  1. Faktor Kecerdasan

Kecerdasan pada hakikatnya merupakan potensi dasar yang dimiliki manusia, sehingga kecerdasan merupakan faktor internal yang dimiliki manusia yang akan mempengaruhi berbagai keputusan kognitif maupun nonkognitif yang diambil seseorang. Bersamaan dengan pesatnya perkembangan ilmu psikologis saat ini, penelitian-penelitian dan pengembangan teoretik mengenai kecerdasan makin bervariasi. Asumsi-asumsi hipotetik tentang kecerdasan pun makin berkembang pula. Semenjak dikemukakannya asumsi teoretik tentang kecerdasan mutiple oleh Gardner, muncul asumsi teoretik tentang berbagai kecerdasan seperti, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial, kecerdasan relegius muncul mengiringi konsep teoretik tentang kecerdasan inteligen yang telah lama menguasai konsep kecerdasan yang meyakini bahwa sangat signifikan pengaruhnya terhadap perilaku-perilaku kognitif maupun kognitif seseorang.

Dengan berbasis studi yang dilakukan oleh para psikologi dan ahli pendidikan menemukan kecerdasan inteligen (IQ), berpengaruh secara signifikan sebesar antara 16-24 % terhadap keberhasilan seseorang yang terkait dengan perilaku kognitif (akademik). Ini artinya makin tinggi inteligensi seseorang akan makin besar pengaruhnya terhadap kesuksesan menempuh pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan akademik. Dalam kaitannya dengan tugas-tugas seseorang pimpinan khususnya dalam lembaga-lembaga formal faktor inteligensi ini pasti berpangaruh secara signifikan. Seseorang pimpinan tidak boleh lebih bego dari yang dipimpin, karena hal ini menyangkut otorita personal seseorang ynag dapat mempengaruhi persepsi bagi yang dipimpin. Studi lain yang menarik tentang inteligensi ini adalah terbentuknya kualitas inteligensi itu dipengaruhi oleh minimal tiga faktor yaitu, genetis, pengalaman menantang, dan gizi. Genetis adalah terkait dengan faktor keturunan dari pasangan suami istri, yang diyakini mengikuti hukum variasi heriditer. Sedangkan pengalaman menantang dimaksudkan adalah pengalaman-pengalaman masa kecil (0-5 tahun untuk tahap pertama; dan sampai 16 tahun untuk tahap kedua) yang dialami seseorang yang signifikan membentuk pertumbuhan sel-sel pada otak kecil; serta gizi sudah jelas satu hal yang memberi dukungan pertumbuhan biologis tersebut.

Dengan munculnya berbagai kenyataan di lapangan bahwa seseorang memiliki keunggulan di bidang kecerdasan yang berbeda, terus muncul teori mutiple inteligensi dari Gardner, yang meyakini bahwa terdapat berbagai kecerdasan yang terdiri dari aspek arithmetik, bahasa, kenestitik dan sebagainya. Sudah tentunya hal ini akan sangat berguna dan berhasil guna bagi semua orang bila seseorang diberikan tugas sesuai dengan aspek kecerdasannya.

Selanjutnya dengan diyakininya teori tentang belahan otak kiri (yang menyangkut memori tentang kecerdasan kognitif) dan belahan otak kanan yang menyimpan tentang kecerdasan emosional, nilai etika dsb), muncul studi-studi tentang kecerdasan emosional, spiritual, relegius dan sebagainya. Malah kecerdasan-kecerdasan ini sangat mempengaruhi kesuksesan seseorang dalam mengelola pekerjaan-pekerjaan yang mengkoordinasikan berbagai interaksi SDM. Kecerdasan ini diperkirakan berpengaruh sukses sekitar 60 % bagi seseorang dalam menangani pekerjaan-pekerjaan akademik. Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan bagi seseorang pemimpin sangatlah perlu adanya.


  1. Faktor Kreativitas

Kreativitas merupakan realisasi dari akumulasi proses psikis, eksperience science, dan teknology. Berkembangnya suatu kreativitas adalah untuk mencari berbagai kemudahan dalam hidup dan kehidupan di samping sifat explorer dari karakteristik manusia. Kreativitas sangat penting, tidak hanya bagi kehidupan modern akan tetapi berlaku dalam setiap kehidupan yang memiliki kemauan dan upaya untuk mengembangkan diri. Supaya timbul kemauan dan upaya pengembangan diri, seseorang memerlukan dorongan, pemikiran dan prilaku yang kreatif.

Rhodes membedakan kreativitas ke dalam dimensi person, process, product, dan press, (dalam Supriadi, 1994:7). Definisi kreativitas yang menekankan pada dimensi persons, sejalan dengan ungkapan Guilford yang menyatakan bahwa “Creativity refers to the abilities that are characteristics of creative people” (Supriadi, 1994:7). Definisi yang menekankan segi proses, yang dikemukakan oleh Munandar (1977:25) sebagai berikut, “Creativity is a process that manifest itself in fluency, in flexibility aqs well in originalty of thinking”. Disisi lain Hurlock (1978:68) mengungkapkan bahwa kreativitas bukanlah hasil (produk), akan tetapi merupakan proses yang mempunyai tujuan, mendatangkan keuntungan baik bagi individu yang bersangkutan maupun kelompok sosialnya, mengarah kepenciptaan yang baru, berbeda dan unik, dapat berupa bentuk imajinasi yang dikendalikan menjurus kebeberapa bentuk imajinasi yang dikendalikan ke beberapa bentuk prestasi, serta merupakan suatu cara berpikir. Karena kreativitas timbul dari pemikiran divergen. Namun kemampuan mencipta tergantung pula pada perolehan pengetahuan yang diterima. Menurut Semiawan, dkk (1997:52) kreativitas sebagai peroses merupakan hal yang lebih essensial dan perlu ditanamkan pada individu sejak dini dengan menyibukkan diri dengan cara kreatif. Misalnya dalam proses bermain, dengan adanya gagasan atau unsur-unsur pikiran, akan menjadi keasikan yang menyenangkan dan penuh tantangan bagi individu yang kreatif. Dengan kata lain, kreativitas dalam hal ini merupakan proses berpikir yang mengarah kepada suatu usaha untuk menemukan hubungan baru, mendapatkan jawaban, metode atau cara baru dalam memecahkan masalah. Memiliki individu-individu kreatif atau memimpin individu-individu kreatif dengan kepemimpinan yang humanistik akan memacu produktivitas baik secara kualitas maupun kuantitas. Atau, dari sisi manajer, memiliki manajer yang kreatif akan dapat mengoptimalkan sumber daya yang ada untuk mencapai hasil yang optimal.

Ditinjau dari segi produk, kreativitas merupakan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru, yang pada umumnya bersifat original atau unik. Secara lebih rinci Munandar (1992:46), menjelaskan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang ada sehingga menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah dengan menekankan pada kuantitas, ketepat-gunaan, dan keragaman jawaban. Kreativitas yang dimaksud adalah kreatif dan konvergen. Kreativitas adalah karya yang merupakan hasil dari pemikiran dan gagasan. Ada rangkaian proses yang panjang dan harus digarap terlebih dahulu sebelum suatu gagasan menjadi suatu karya. Rangkaian tersebut antara lain meliputi fiksasi (pengikatan dan pemantapan) dan formula gagasan, penyusunan rencana, program dan tindakan, dan akhirnya tindakan nyata yang harus dilakukan sesuai dengan rencana yang telah disusun untuk mewujudkan gagasan tersebut (Soesarsono Wyandi, 1988:60).

Dimensi press (tekanan/dorongan) adalah kondisi yang dapat mendorong atau menghambat seseorang untuk bertindak kreatif. Dorongan atau hambatan tersebut dapat berasal dari luar, yaitu lingkungan keluarga, sekolah atau masyarakat, maupun dari dalam individu itu sendiri. Jika kedua kondisi ini menguntungkan atau menunjang yakni adanya dari seseorang (individu) untuk melibatkan diri secara kreatif, dan ia mendapatkan kesempatan maka lebih menguntungkan individu tersebut bertindak secara kreatif.

Definisi lain mengenai kreativitas, diungkapkan oleh Amien (1980), yang mengatakan bahwa kreativitas merupakan pola berpikir atau ide yang spontan atau imajinatif yang mencirikan hasil artistik, penemuan-penemuan alamiah, dan penciptaan-penciptaan secara mekanik. Labih lanjut dijelaskan bahwa kreativitas meliputi sesuatu yang baru atau sama sekali baru bagi dunia ilmiah atau relatif baru bagi individunya. Dari segi sifat, para individu kreatif umunya bersifat merangsang diri sendiri, bebas, sensitif, berorientasi kepada sasaran dan mampu menggerakkan upaya mereka sendiri. Mereka juga bebas terbuka dan fleksibel secara emosional dibandingkan dengan orang-orang yang kurang kreatif. Pemikiran bertingkat ganda mereka dapat bersifat pada kesegaran dan kecendrungan yang kuat untuk melihat rimba tetapi bukan setiap pohon (Dale Timpe, 1982:24).

Dengan demikian dapat dilihat bahwa kreativitas mengandung arti dan mempunyai tahapan yang diawali dengan suatu pemikiran atau ide yang kreatif, kemudian melakukan kegiatan kreatif sehingga tercipta hasil kreatif. Jadi kreativitas merupakan kamampuan seseorang melahirkan sesuatu yang baru, dan bahkan menciptakan situasi yang baru, yang dapat diduga berpengaruh pada situasi lingkungan (yang dalam hal ini dapat berarti lingkungan kerja).

Dalam kaitan dengan itu, ciri-ciri kreativitas pada umumnya dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk menentukan kemampuan kreatif dari seseorang. Manurut Guilford (dalam Dedi Supriadi, 1994:55) ciri-ciri kreativitas seseorang dapat dilihat dari aspek berpikir, dan aspek dorongan atau motivasi. Aspek berpikir kreatif ditunjukkan oleh sifat-sifat kelancaran (fluency), kelenturan (flexcibility), keaslian (originality), dan penguraian (elaboration). Aspek dorongan atau motivasi ditunjukkan oleh sifat-sifat karakter, seperti percaya diri, tidak konvensional, dan aspirasi keindahan. Terkait dengan hal ini, Baban Sarbana dan Dina Diana (2002:69) mengemukakan, menjadi kreatif adalah melihat hal yang sama seperti orang lain, tetapi berpikir tentang sesuatu yang berbeda dan menjadi kreatif adalah membawa kepada suatu yang baru sebelumnya tidak ada.

Kelancaran (fluency), adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan. Ciri-cirinya antara lain: (1) Word fluency, yakni kemampuan untuk menghasilkan kata-kata yang dalam kaitan ini dimaksudkan seseorang yang dapat menhasilkan (menggunakan kalimat/kata-kata) yang bermakna dan lancar dalam berkomunikasi. Seorang pemimpin yang dapat memilih dan menggunakan kalimat (kata-kata) yang tepat dalam berinteraksi dengan yang dipimpin akan dapat menghasilkan produk yang diharapkan secara optimal, (2) Associational fluency, yaitu kemampuan untuk menghasilkan sejumlah kata-kata yang mengandung beberapa macam hubungan, dapat terbentuk sebuah ide, pemberian judul atau memberikan arti yang serupa. Selain itu dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir secara analog atau kebalikannya. (3) Expressional fluency, adalah kemapuan untuk menyusun kata-kata terorganisasi, seperti dalam bentuk ungkapan-ungkapan atau kalimat-kalimat. Dengan kata lain merupakan kelancaran dalam mengekpresikan pikiran-pikiran, ide-ide atau pemecahan masalah dalam bentuk kata-kata atau kalimat. (4) Ideational fluency, merupakan kemampuan untuk menghasilkan sejumlah ide-ide dengan cepat yang sesuai dengan kegunaan yang diminta. Beberapa jenis tes mengenai ideational fluency, kecepatan lebih penting dari kualitas. Ide yang dihasilkan dapat berbentuk simpel atau kompleks, dapat berupa pemberian judul baik untuk gambar maupun cerita, atau dapat pula berupa ungkapan-ungkapan dalam kalimat pendek yang merupakan kesatuan hasil pemikiran.        Kelenturan (flexibility) yaitu kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam pemecahan atau pendakatan terhadap masalah. Hal-hal yang termasuk dalam ciri-ciri ini adalah: (1) Spontaneous flexibility yakni kemampuan atau kecenderungan untuk menghasilkan bermacam-macam variasi dari ide-ide yang bebas dari hambatan atau keterpaksaan. Spontaneous flexibility dapat dikatakan pula sebagai keluwesan dalam mengadakan pendekatan terhadap masalah. Artinya, bila melalui pendekatan yang satu tidak mendapatkan hasil yang diharapkan, maka dengan segera akan menggantikannya dengan cara pendekatan yang lain. Seseorang yang memiliki kemampuan Spontaneous flexibility rendah, akan terlihat kaku dalam memberikan ide atau pendapatnya. Ia akan cenderung untuk bertahan pada satu atau beberapa pada pemikiran yang sempit saja. Namun demikian orang tersebut masih mempunyai kemungkinan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi meskipun tidak melakukannya secara spontan. (2) Adaptive
flexibility, merupakan penyesuaian yang fleksibel dalam menghadapi masalah sampai diperoleh hasil pemecahannya. Mengenai hal ini, seseorang akan gagal untuk menyelesaikan masalah bila ia tidak mampu untuk bertindak fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan masalah yang sedang dihadapi.

Orisinalitas adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli dan tidak klise. Dapat pula diartikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan ide-ide yang luar biasa, jarang ditemui dan unik. Seseorang dikatakan memiliki gagasan yang orisinal apabila ia memilki gagasan-gagasan yang tidak pernah dimiliki orang lain. Gagasan-gagasan itu punya kelas tersendiri dan orang yang punya gagasan semacam itu harus mempercayai dirinya dan gagasannya. Orang yang mampu melahirkan permikiran-pemikiran orisinal harus memiliki rasa percaya diri yang kuat (dan tetap rendah hati) karena mereka cenderung untuk berpikir yang berlawanan dengan pikiran-pikiran yang konvensional. Akibatnya gagasan mereka lebih besar kemungkinannya untuk menerima komentar negatif bertubi-tubi. Terkait dengan hal ini Willams (dalam Utami Munandar, 1992:89), mengemukakan tentang prilaku yang didasarkan pada berfikir orisinal seperti: memikirkan masalah-masalah atau hal-hal yang tidak pernah terpikirkan oleh orang lain, mempertanyakan cara-cara yang lama dan berusaha untuk memikirkan cara-cara yang baru, memilih asimetri dalam menggambarkan atau membuat desain, memiliki cara berpikir yang lain dari yang lain dan mencari pendekatan yang baru dari yang stereotif.

Elaborasi adalah kemampuan untuk menguraikan sesuatu yang terinci, yakni merupakan kreativitas untuk merangkai sebuah ide atau jawaban-jawaban simpel agar menjadi lebih mendetail. Elaborasi ini dapat dikembangkan dengan cara memberi latihan kepada subyek untuk memberikan informasi tambahan, atau komunikasi verbal.

Williams (dalam Utami Munandar, 1992:90), mengemukakan kemampuan mengelaborasi sebagai berikut: (a) mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk, (b) menambahkan atau merinci detil-detil dari suatu obyek, gagasan, atau situasi sehingga menjadi lebih menarik. Selanjutnya dikemukakan bahwa prilaku subyek yang mempunyai ketrampilan mengelaborasi sebagai berikut: (a) mencari arti yang lebih mendalam terhadap jawaban atau pemecahan masalah dengan melakukan langkah-langkah yang terperinci, (b) mengembangkan atau memperkaya gagasan orang lain, (c) mencoba atau menguji detil-detil untuk melihat arah yang ditempuh, (d) mempunyai rasa keindahan yang kuat sehingga tidak puas dengan penampilan yang kosong atau sederhana.

Berdasarkan analisis Guilford (dalam Tedjasutisna, 1999:26) menyebutkan ada lima faktor sifat yang menjadikan ciri kemampuan berpikir kreatif yaitu: (1) Kelancaran (fluency) adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan, (2) keluwesan (fleksibility) adalah kemampuan untuk mengemukakan bermacam-macam pemecahan masalah, (3) keaslian (originality) adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara asli, (4) penguraian (elaborastion) merupakan kemampuan untuk menguraikan suatu secara lebih rinci, (5) redefinition adalah kemampuan untuk meninjau suatu persoalan berdasarkan perspektif yang berbeda dengan apa yang sudah diketahui oleh orang banyak.

Pakar lain yakni Moore menyebutkan empat macam ciri utama dari kreativitas yang pada dasarnya masih senada dengan pendapat Guilford di atas. Ciri tersebut antara lain sensitivitas terhadap masalah (problem sensitivity), kelancaran ide (idea fluency), kelenturan pemikiran (idea flexibility), dan keaslian pemikiran atau idea originality.

Sensitivitas terhadap masalah (problem sensitivity) adalah kemampuan utau kepekaan seseorang untuk melihat masalah. Artinya orang yang kreatif memiliki kepekaan yang lebih tinggi dalam melihat masalah, situasi, dan tantangan sehingga dapat merumuskan masalah, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang benar untuk menganalisis dam merumuskan masalah tersebut.

Kelancaran ide (idea fluency) merupakan kemampuan untuk menciptakan ide-ide sebagai alternative pemecahan masalah. Namun untuk menghasilkan ide-ide, diperlukan adanya pengetahuan luas dan mendalam. Bagi orang kreatif, ia akan mampu melihat masalah dari berbagai macam sudut pandang, serta menciptakan alternatif pemecahannya dari berbagai sudut pandang pula.

Kelenturan pemikiran (idea flexibility) menunjuk kepada kemampuan mengubah ide (pemikiran), meninggalkan suatu kerangka berpikir untuk kerangka berpikir lain untuk mengganti pendekatan satu dengan pendekatan lainnya. Hal ini berarti orang yang kreatif tidak akan terlalu terikat pada pemecahan masalah yang sudah lazim digunakan, akan tetapi ia akan selalu berusaha menemukan alternatif baru yang lebih efektif.

Keaslian pemikiran (idea originality) yaitu kemampuan menciptakan pemikiran atau ide-ide yang asli dari dirinya. Oleh karena itu orang yang kreatif akan mampu menciptakan ide/pemikiran dalam bentuk baru, imajinatif, dan orisinal sehingga dapat menjangkau di luar pemikiran orang biasa, atau dapat berpikir unik melampui cara-cara yang lazim digunakan.

Terkait dengan hal di atas potensi kreativitas yang dimiliki oleh seseorang pemimpin akan member warna yang kental dalam kepemimpinannya, yang pada gilirannya akan mempengaruhui budaya organisasi dan prestasi yang dicapai oleh anggotanya.

  1. Potensi Diri

Filosofis strategi pengelolaan potensi diri dilandasi pada suatu pandangan bahwa, setiap insan manusia memiliki potensi diri dan potensi pengelolaan diri, untuk berkembang dalam hidup. Potensi tersebut adalah aspek-aspek psikologis yang ada dalam diri setiap individu (baik yang kognitif maupun nonkognitif), yang siap untuk berkembang manakala mendapat kondisi yang diperoleh dalam pengalaman di lingkungannya. Aspek-aspek psikologis ini jika mendapat sentuhan secara ilmiah dan sistematis dapat dipastikan dapat berkembang optimal dan terwujud dalam diri setiap individu secara lebih bermakna. Sentuhan psikologis yang sistematis menjadikan semua aspek psikologis itu terukur dan dapat dijadikan pedoman untuk membantu memberi layanan kepada setiap individu. Pengelolaan potensi diri sebagai suatu strategi sebenarnya dapat digolongkan masih relatif baru dalam dunia managemen, karena baru muncul pada tahun 1970. Pengembangan strategi pengelolaan diri ini berawal dari tradisi managemen behavioral kontemporer setelah kaum behavioral memperhatikan pentingnya peranan kognisi terhadap terjadinya perubahan perilaku dan memberikan apresiasi terhadap kekuatan self directed behavior ( Shelton,1976).

Strategi pengelolaan potensi diri pada mulanya dikembangkan oleh Williams dan Long (dalam Corey, 1982). Pada awal perkembanganya strategi pengelolaan diri belum memiliki istilah yang mantap karena belum ada kesepakatan dari para pelopornya sehingga masih bervariasi istilah yang digunakan. Beberapa pelopor dan pengembang selanjutnya menggunakan istilah pengelolaan diri secara berbeda, seperti Meinchenbaum menggunakan istilah self–instruction, Mahoney dan Thorensen menggunakan istilah self–control, sedangkan Watson dan Tarp memakai istilah self–direction (Mahoney & Arnkoff, 1978 ; Krumbolt & Saphiro, 1979). Sangat bervariasinya istilah yang digunakan itu sempat menimbulkan kebingungan dan kekaburan terminologis. Hanya saja, para pakar pengembang tersebut sepakat bahwa pada intinya menunjuk kepada strategi pengubahan dan pengembangan perilaku yang sangat menekankan pada kemampuan individu untuk melakukannya sendiri dengan seminimal mungkin arahan dari instruktur.

Meskipun pada awalnya masih bervariasi istilah yang digunakan, tetapi pada perkembangan-perkembangan selanjutnya terjadi kesepakatan untuk menggunakan istilah pengelolaan diri. Demikian pula Yates (1985) menggunakan istilah pengelolaan diri dengan alasan (1) pengelolaan diri lebih menunjuk pada pelaksanaan dan penanganan kehidupan seseorang dengan menggunakan suatu keterampilan yang dipelajari, dan (2) pengelolaan diri juga dapat menghindarkan konsep inhibisi dan pengendalian dari luar yang sering kali dikaitkan denga konsep kontrol dan regulasi.

Anggapan dasar pengelolaan potensi diri sebagai suatu strategi cognitivebehavioral, adalah memandang setiap manusia memiliki kecenderungan-kecenderungan positif maupun negatif. Segenap perilaku manusia itu merupakan hasil dari proses belajar dalam merespon berbagai stimulus dari lingkungannya. Namun pengelolaan diri menentang keras pandangan behavioral radikal yang mengatakan bahwa manusia itu sepenuhnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan. Yates (1985) secara tegas menyatakan bahwa pengelolaan diri bukanlah suatu pendekatan yang sepenuhnya deterministik dan mekanistik yang menyingkirkan potensi diri individu untuk membuat pilihan dan keputusan. Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam proses belajar untuk menghasilkan perilaku itu aspek kognitif juga memiliki peranan penting terutama dalam mempertimbangkan, menentukan pilihan, dan mengambil keputusan perilakunya. Atas dasar itu pula pengelolaan diri memberikan posisi yang terbaik terhadap proses kognitif dan self – regulated – behavior, dan berguna sebagai strategi pengelolaan sumber daya manusia.

Berdasarkan pandangan tentang hakekat manusia serta perilakunya itu, maka pengelolaan diri bertujuan untuk membantu individu agar dapat mengubah perilaku negatifnya dan mengembangkan perilaku positifnya dengan jalan mengamati diri sendiri, mencatat perilaku-perilaku tertentu serta interaksinya dengan peristiwa-peristiwa lingkungannya, menata kembali lingkungan sebagai anteseden atas respon tertentu, dan menghadirkan diri untuk menentukan sendiri stimulus positif yang mengikuti sebagai konsekuensi atas respon yang diinginkan, yang pada gilirannya akan bermuara pada peningkatan motivasi berprestasi yang bersangkutan.

Sintaks yang dapat ditempuh dalam melakukan pengelolaan potensi diri subyek adalah sbb : (a) Keterlibatan (engagement); keterlibatan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan (interaksi) yang ditujukan untuk memfokuskan perhatian peserta (subyek) agar mereka siap untuk terlibat aktif dalam proses kegiatan. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap keterlibatan, antara lain melalui pemberian sosialisasi-sosialisasi program, mengkaitkan pengalaman yang telah dimiliki peserta (pengetahuan awal peserta) dengan tujuan program yang ingin dicapai, pembangkitan-pembangkitan kemampuan yang telah dimiliki peserta, dsb-nya; (b) Eksplorasi, eksplorasi merupakan kegiatan dimana peserta diberikan informasi (dan/atau mencari informasi) yang perlu secara luas dan dalam tentang program yang akan dilakukan. Eksplorasi dilakukan berdasarkan panduan atau langkah-langkah pemandu yang telah disiapkan dengan memanfaatkan beraneka sumber yang tersedia. Beragam pendekatan seperti otoriter, kolegial sampai yang demokratis dapat digunakan. (c) Elaborasi; merupakan kegiatan anggota untuk menyampaikan hasil eksplorasi yang telah dilakukan secara lebih teliti, cermat dan rinci. Elaborasi dilakukan dalam bentuk penyajian hasil kerja individual atau kelompok. Dalam kegiatan elaborasi, peserta memberikan komentar dan pertanyaan yang bersifat konstruktif terhadap pemikiran/hasil kerja yang disampaikan oleh temannya. (d) Konfirmasi; konfirmasi merupakan kegiatan interaktif antara pemimpin sebagai fasilitator dengan anggota /peserta untuk memberikan umpan balik. Dalam kegiatan ini, pimpinan dapat memanfaatkan berbagai sumber acuan untuk memberikan konfirmasi /penjelasan/klarifikasi. Dari kegiatan ini diharapkan dapat menyukseskan kegiatan yang muncul dari program yang akan dilakukan.

  1. Kepemimpinan dan aktivitasnya

Kepemimpinan Kepala Sekolah maupun Pengawas pada hakikatnya menyangkut pengelolaan/manajemen yang terkait dengan akademik dan managerial. Manajemen akademik menyangkut pengelolaan proses pembelajaran, kualitas tenaga pendidik yang mengelola pembelajaran. Inti dari proses pembelajaran, yang merupakan proses interaksi manusiawi, khususnya antara peserta didik (siswa) dan pendidik (guru) berkaiatan dengan suatu pengalaman tertentu, yang penuh dengan ketidakpastian. Hal ini dikarenakan dalam interaksi tersebut terkait secara kompleks berbagai aspek dalam diri pribadi yang terlibat dalam proses interaksi, baik dari sisi siswa maupun dari sisi guru, dan tidak semua aspek tersebut dapat dikendalikan guru secara langsung. Dari sisi siswa interaksi memberikan jaminan bahwa proses akan berjalan dan dapat menghasilkan out put yang diharapkan manakala siswa memiliki minat, motivasi dan kemamuan untuk belajar. Teori pendidikan mengemukakan bahwa apabila siswa terlibat aktif dalam proses belajar mengajar maka out put dari proses belajar mengajar akan berkualitas. Teori belajar ini melahirkan pendekatan dan metoda mengajar yang dikenal dengan istilah student active learning.

Dari sisi guru, proses belajar akan menjamin out put yang berkualitas apabila di samping guru menguasai materi yang akan disampaikan, menguasai metoda penyampaian, memiliki kemampuan menjalin hubungan yang akrab dengan siswa serta memiliki kemampuan untuk menjadikan dirinya menarik bagi siswa. Di samping kemampuan guru harus memiliki kemauan untuk mengabdikan dirinya bagi perkembangan peserta didik. Dengan kemampuan dan kemauan ini maka proses belajar akan menjadi menarik, menyenangkan, mengasyikan, mencerdaskan dan membangkitkan.

Sejalan dengan pemikiran diatas, maka upaya peningkatan kualitas out put pendidikian harus melewati peningkatan kualitas proses belajar mengajar. Banyak kajian untuk menjelaskan proses belajar mengajar yang berkualitas, bagaimana dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya. Wallstern dalam penelitian yang dilakukan berkaitan dengan peningkatan mutu lulusan lewat implementasi school based management menyimpulkan bahwa, peningkatan mutu out put pendidikan harus meningkatkan terlebih dahulu kualitas proses belajar mengajar. Pada gilirannya kualitas proses belajar mengajar bisa meningkat apabila dapat diujudkan dua faktor yang mempengaruhinya. Pertama adanya partisipasi seluruh warga sekolah dan kedua muncul kultur akademik yang melahirkan sekolah sebagai learning community atau learning school. Partisipasi seluruh warga sekolah mulai dari guru dan siswa terutama, kepala sekolah, seluruh staf sekolah dan orang tua siswa akan melahirkan suasana sekolah yang mendukung peningkatan mutu. Kondisi ini amat diperlukan bagi guru dan siswa untuk bekerja keras guna mencapai prestasi setinggi mungkin, sehingga muncul semangat why not the best, khususnya di kalangan siswa. Tanpa ada usaha dan kerja keras terutama dari guru dan siswa kualitas out put tidak mungkin lahir.

Prasyarat kedua, sekolah menjadi a learning community atau a learning school merupakan kondisi di mana sekolah menjadi tempat bagi semua orang untuk belajar. Tidak hanya siswa yang belajar, tetapi siapapun warga sekolah, kepala sekolah, staf administrasi dan guru adalah juga belajar. Jadi bagi guru mengajar siswa juga merupakan proses belajar bagi guru itu sendiri. Dengan demikian guru melaksanakan life long education, belajar sepanjang hayat masih dikandung badan. Kondisi ini akan menghasilkan kualitas dan kemampuan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar akan terus meningkat. Tanpa guru terus belajar tidak akan ada innovasi dalam proses belajar mengajar, tanpa innovasi tersebut pendidikan akan biasa-biasa saja. Dan,lebih dari itu tanpa guru terus belajar kerja guru akan out of dated, tertelan zaman.

Menurut Wohlsetter dalam bukunya, Successful SBM: A Lesson for restructuring urban school, semua intervensi untuk meningkatkan mutu pendidikan, harus ditujukan untuk meningkatkan mutu proses belajar mengajar lewat intervening variabel, yakni partisipasi seluruh warga sekolah dan pengembangan a learning school. Intervensi yang diperlukan mencakup antara lain peningkatan sarana prasarana, peningkatan kualitas kepala sekolah, relokasi guru, peningkatan anggaran sekolah, dan peningkatan kemampuan guru.

Teori lain, yang disebut teori empat faktor, menjelaskan bahwa kualitas lulusan secara langsung ditentukan oleh kualitas pembelajaran. Pembelajaran merupakan interaksi dinamis antara guru dan siswa berkaitan dengan materi tertentu. Kualitas pembelajaran sangat tergantung pada kesiapan dan motivasi siswa di satu sisi dan di sisi lain ditentukan oleh kemampuan dan kemauan guru. Interaksi yang sering disebut proses belajar mengajar (PBM) atau sekarang ini disebut dengan pembelajaran, pada giliran berikutnya ditentukan secara langsung oleh empat faktor, yakni, kultur sekolah, manajemen, kepemimpinan dan infrastruktur sekolah yang ada.

Dalam kaitan dengan mutu guru, tepatnya kualitas professional guru, muncul permasalahan serius. Bagaimana kualitas guru dewasa ini? Apa upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan mutu guru? Bagaimana melakukannya atau bagaimana strategi untuk meningkatkan kualitas profesional guru? Jawaban dari pertanyaan tersebut merupakan gambaran betapa perlunya kebijakan dan pedoman peningkatan kemampuan professional guru perlu untuk dirumuskan dan diimplementasikan secara sistematis dan berkesinambungan.

Kualitas guru sangat ditentukan oleh kualitas lulusan lembaga pendidikan guru. Namun, sampai saat ini di kalangan masyarakat masih memiliki keraguan akan kemampuan LPTK dalam menghasilkan guru yang berkualitas. Hal ini dikarenakan begitu dalam jurang variasi perbedaan kualitas diantara LPTK itu sendiri. Salah satu contoh adalah bagaimana rendahnya kualitas guru yang diangkat sebagai CPNS tahun 2004. Para CPNS dari berbagai LPTK dan untuk berbagai jenjang sekolah serta berbagai mata pelajaran ketika dites dengan soal-soal pengetahuan yang relevan dengan tugas pokoknya, hasilnya sangat memprihatinkan. Begitu rendah kemampuan lulusan LPTK. Kondisi yang sedemikian ini menjadi upaya pengembangan kemampuan profesional guru menjadi lebih penting dan sekaligus lebih berat. Program peningkatan kemampuan profesional guru secara sistematis dan berkesinambungan merupakan suatu langkah yang paling strategis untuk meningkatkan kualitas guru dalam rangka meningkatkan kualitas siswa.

1). Ciri kerja guru

Untuk meningkatkan kemampuan profesional guru perlu difahami bagaimana karakteristik kerja guru itu. Semua faham bagaimana kerja guru, tetapi barangkali tidak sempat mencermati sesungguhnya apa dan bagaimana karakteristik kerja guru itu. Kebijakan untuk meningkatkan kualitas professional guru seharusnya juga bertumpu dari pemahamanan akan karakteristik kerja guru tersebut. Karakteristik kerja guru antara lain adalah (a) waktu guru habis di ruang-ruang kelas, (b) sifat kerja guru non-kolaboratif, (c) kontak akademik antar guru terbatas, (d) kontak antar guru lebih banyak bersifat non-akademik, (e) kerja guru tidak pernah mendapatkan umpan balik, (f) apresiasi dan penghargaan masyarakaat terhadap guru rendah, dan, (g) tidak memiliki kekuatan politik.

Memahami karakteristik tersebut maka peningkatan profesional guru harus dapat meningkatkan kualitas interaksi akademik khususnya diantara para guru sendiri, sembari meningkatkan kemampuan mereka bekerjasama dalam suatu tim, dan dapat menciptakan suatu sistem dimana guru mendapatkan umpan balik yang amat diperlukan dalam proses peningkatan kemampuan profesional guru. Berlandaskan pemikiran ini, maka thesis peningkatan mutu out put sekolah sebagaimana dikemukakan diatas dapat direvisi dan diadopsi untuk peningkatan kemampuan profesional guru.

Meningkatnya
kemampuan professional guru merupakan dependent variable yang secara langsung ditentukan oleh dua variable yang merupakan intervening variable yakni; a) keberadan guru yang aktif dan partisipatif dalam kehidupan sekolah; dan, b) guru menjadikan dirinya sebagai a learning person. Semua intervensi untuk meningkatkan kemampuamn profesoional guru merupakan extrageneous variable yang pengaruhnya terhadap kualitas profesional guru senantiasa harus melewati kedua variable tersebut. Extrageneous variable yang diperlukan sebagai intervensi sudah barang tentu termasuk kebijakan untuk meningkatan kesejahteraan guru, meningkatkan kondisi kerja guru dan pemberian kesempatan bagi para guru untuk memiliki kesempatan mengikuti in-service training dan berbagai bentuk interaksi akademik yang lain. Dan yang paling penting dilaksanakan adalah guru senior melakukan observasi guru ketika sedang mengajar, dan kemudian mendiskusikan, dan memberikan umpan balik kepada guru yang bersangkutan.Tehnik ini paling manjur sekaligus paling murah dalam meningkatkan mutu guru

Dewasa ini dunia berubah dengan cepat sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang amat pesat. Perubahan yang amat cepat ini juga menuntut perubahan di dunia pendidikan yang cepat pula, agar pendidikan tetap bisa berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai lembaga yang salah satu tugasnya mempersiapkan tenaga kerja maka dunia pendidikan harus memahami bahwa telah terjadi perubahan yang amat cepat dalam tenaga kerja khususnya dan dunai ekonomi pada umumnya. Tenaga kerja telah dan akan terus bergeser ke arah knowledge worker, yakni tenaga kerja yang bertumpu pada penguasaan teknologi untuk mengolah data, tidak lagi pada otot dan pisik. Untuk itu pada diri peserta didik tidak hanya perlu dikembangkan penguasaan ilmu dan teknologi tetapi juga sistem dan bentuk baru ilmu pengetahuan yang menekankan pada sedikit pengetahuan tetapi dapat men-generate data, menganalisis data, menarik kesimpulan dan dapat mengeneralisir dalam konteks yang lebih luas. Dengan kata lain akan terjadi perubahan dalam proses pembelajaran. Sekolah atau guru yang tidak ingin tertinggal oleh perubahan harus dapat belajar dan mengembangkan proses pembelajaran yang lebih cepat dari perubahan itu sendiri. Untuk itulah diperlukan lahirnya a learning school dan a learning teacher.

GAMBAR POLA KAUSALITAS PENINGKATAN

KEMAMPUAN PROFESIONAL GURU


A learning school adalah suatu sekolah yang memiliki kapasitas untuk melakukan pembelajaran yang menciptakan transformasi menuju innovasi. Sekolah ini memiliki ciri utama: a) seluruh warga sekolah, apapun posisinya: siswa, guru, kepala sekolah, staf administrasi, melakukan kegiatan belajar; b) belajar adalah menyenangkan, mengasyikan dan mencerdaskan; c) belajar apapun juga sepanjang apa yang dipelajari memiliki nilai-nilai kebaikan; d) tujuan pembelajaran di sekolah tidak sekedar peserta didik menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan peserta didik mampu hidup dan menghidupkan ; e) guru senantiasa menjadi CAVE worker (Consistence Added Value Everywhere); dan, f) kemajuan sekolah ditentukan oleh apa yang dilakukan guru, khususnya.

A Learning teacher adalah seorang guru yang memiliki ciri: a) Memandang siswa sebagai seseorang yang perlu dilayani, bukannya bahan mentah yang harus diolah; b) memandang sekolah sebagai suatu proses yang memiliki berbagai perbedaan sehingga tidak dapat diperlakukan secara seragam sebagaimana suatu pabrik; c) memahami bahwa guru bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan; d) memahami proses belajar mengajar sebagai suatu interaksi manusiawi yang penuh dengan ketidakpastian; e) menyadari semakin rendah jenjang pendidikan semakin dibutuhkan peran guru sebagai pengganti ortu; f) menyadari bahwa tugas guru mencakup dimensi akademik melaksanakan proses belajar mengajar dan dimensi non akademis, mencakup membangun moral siswa, kepemimpinan dan organisasi; dan, g) menyadari bahwa belajar sepanjang hayat merupakan keharusan mutlak untuk dilakukan oleh setiap guru.

Di samping itu, ke depan peran guru semakin kompleks karena yang harus dilakukan tidak saja mentrasfer pengetahuan dan ketrampilan tetapi jauh lebih dari itu, yakni mengembangkan peserta didik secara utuh, sehingga mampu hidup dan menghidupkan. UNESCO memberikan resep untuk ini dengan empat tugas guru: learning how to learn, learning how to do, learning how to be dan learning how to live together, sebagaimana dapat dilihat gambar berikut ini.

GAMBAR PARADIGMA MENGAJAR UNESCO


Sebagaimana dilihat pada paradigma baru mengajar UNESCO, maka arah learning how to learn adalah menjadikan siswa menjadi individu yang memiliki semangat, kemauan dan kemampuan untuk terus belajar, atau menjadi learning person. how to do adalah mendidik peserta didik untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi sepanjang kehidupannya. Untuk ini kreativitas merupakan salah satu kemampuan yang dimiliki. Kreativitas ini perlu diiringi dengan kemampuan untuk menserasikan kehidupan dengan lingkungannya, sehingga kehidupan menjadi kreatif dan serasi. Learning how to be adalah kemampuan untuk menjadi diri sendiri yang bertumpukan pada integritasnya. Terakhir how to live together adalah kemampuan untuk hidup bersama dengan segala perbedaan yang ada. Salah satu syarat utama yang harus dimiliki adalah kesadaran akan keharusan adanya saling ketergantungan dalam menjalani kehidupan ini. Oleh karena itu, saling memahami, toleransi, dan kerjasama merupakan fondasi dalam kehidupan bermasyarakat.

Paradigma UNESCO ini memerlukan perubahan perilaku mengajar pada diri setiap guru. Perubahan ini mencakup lima aspek sebagaimana berikut. Pertama kesadaran moral, berupa jawaban atas pertanyaan diri mengapa dan untuk apa saya mengajar ini? Apakah sekedar untuk mendapatkan gaji?

Kedua adalah memahami perubahan yang ada. Hidup dan kehidupan berubah dan terus akan berubah. Apa yang perlu berubah pada diri sendiri dan pada diri peserta didik agar mampu menguasai perubahan? Apa yang perlu dipersiapkan bagi peserta didik?

Ketiga, hidup dan kehidupan sudah ditakdirkan memiliki saling ketergantungan. Oleh karena itu kerjasama merupakan salah satu kemampuan mutlak yang harus dimiliki oleh para peserta didik. Apa yang perlu dipersiapkan pada diri peserta didik? Bagaimana kemampuan bekerjasama ini dapat ditumbuhkan pada diri peserta didik? Bagaimana cara yang harus dilakukan?

Keempat, menguasai ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Ilmu pengetahuan terus berkembang dan semakin lama perkembangan semakin cepat. Informasi dan pengetahuan akan mengguyur deras warga masyarakat, termasuk guru dan peserta didik. Bagaimana guru bisa tidak ketinggalan perkembangan ilmu pengetahuan? Apa kemampuan yang harus diberikan kepada peserta didik agar mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan? Bagaimana melaksanakannya?

Terakhir, kemampuan untuk menjadikan peserta didik kreatif. Apa tehnik untuk mengembangkan kreativitas pada diri peserta didik? Bagaimana melakukannya?

Apabila guru dapat memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut di atas, maka guru memiliki kemampuan, kesiapan dan kemauan untuk melaksanakan proses belajar mengajar, dan ini merupakan modal dasar bagi guru untuk dapat mewujudkan proses pembelajaran yang menarik, menyenangkan dan mencerdaskan, sehingga dapat hidup dan menghidupkan.

2). Taksonomi peningkatan kemampuan professional

Melihat dan memahami dimensi sekolah yang kompleks dan tugas kepala sekolah (sebagai tugas tamabahan) dan guru yang sedemikian rumit lagi berat, maka guru tidak saja memerlukan pendidikan untuk persiapan jadi guru atau pre-service, melainkan juga perlu pengembangan kemampuan profesionalitas mereka setelah jadi guru atau in-service training. Upaya peningkatan kemampuan professional guru dapat dideskripsikan sebagaimana gambar berikut.


Gambar diatas menunjukan bahwa pembinaan guru memiliki dua dimensi: dimensi arah pembinaan yang dapat dilihat sebagai individu dan sebagai kelompok. Dimensi kedua adalah materi pembinaan yang bisa disajikan dalam bentuk pengetahuan/teknologi yang berkaitan dengan proses belajar menagajar atau metodologi pengajaran dan ilmu pengetahuan/teknologi non-pengajaran, terutama organisasi, kepemimpinan dan manajemen.

Kemampuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan pedagogik jelas udah banyak difahami, namun tidak demikian dengan kemampuan non-pedagogik, yakni kemampuan yang tidak berkaitan langsung dengan PBM. Sesunggunya, kemampuan non-metodologi pengajaran ini amat diperlukan oleh guru, karena guru juga memerlukan kemampuan memimpin, kemampuan berdialog dan negosiasi, serta mempengaruhi orang lain, kemampuan untuk merancang, melakukan, dan mengorganisir perubahan; dan, kemampuan untuk melakukan secara aktif terlibat dalam peningkatan mutu sekolah.

3). Dimensi kegiatan

Kegiatan peningkatan kualitas profesional guru juga dapat dilihat dari dimensi sifat kegiatan. Terdapat dua bentuk kegiatan peningkatan kualitas profesional guru: a) kegiatan berlangsung di sekolah, dan b) kegiatan berlangsung di luar sekolah. Kegiatan yang berlangsung di sekolah adalah kegiatan yang diperuntukan bagi para guru di suatu sekolah. Kegiatan ini antara lain bisa berupa in-house training, observasi proses pembelajaran oleh guru senior, melaksanakan penelitian tindakan kelas. Sedangkan kegiatan di luar sekolah merupakan kegiatan yang diikuti oleh para guru yang berasal dari dua sekolah atau lebih. Bisa saja kegiatan tersebut dilaksnakan di suatu sekolah, tetapi kegiatan ini bukanlah in-hous training. Kegiatan ini antara lain bisa berupa kerjasama antar sekolah dalam peningkatan mutu, kegiatan MGMP suatu kecamatan, daerah, propinsi atau nasional, pelatihan terpusat, studi banding, mengikuti seminar atau workshop di suatu tempat. Dimensi kegiatan ini dikaitkan dengan taksonomi kemampuan profesional guru, sehingga akan dapat diidentifikasi sesuai dengan tujuan dan tempat kegiatan.

Dari identifikasi tersebut akan diketemukan betapa banyak variasi kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas profesional guru sesuai dengan kondisi dan kebutuhan guru sendiri. One size for all policy harus ditinggalkan dalam peningkatan kemampuan profesional guru.

4). Model peningkatan kemampuan professional

Model menunjukan apa dan bagaimana serta modus kegiatan peningkatan kemampuan professional guru dilaksanakan. Paling tidak terdapat 6 model:

  • Program Individual
  • Training
  • Interaksi Tatap Muka
  • Keterlibatan Dalam Kegiatan
  • Observasi-Assessment
  • Inquiry-Action Research

Program Individual merupakan kegiatan untuk meningkatkan kemampuan profesional guru yang dirancang dan dilaksanakan oleh guru sendiri dengan bimbingan atau pengawasan atau persetujuan dari fihak lain, seperti kepala sekolah, pengawas, orang tua siswa, komite sekolah ataupun tim tertentu. Dengan asumsi bahwa guru memiliki semangat dan motivasi untuk meningkatkan kemampuan sendiri, model ini sangat efektif, karena apa yang dilaksanakan berdasarkan kebutuhan riil yang diperlukan. Apa yang dilakukan merupakan upaya untuk mengatasi kekurangan yang dirasakan guru sendiri. Model ini sering disebut juga dengan sains model, dimana guru sendiri mempelajari dari suatu referensi sesuai dengan kebutuhannya, dan langsung secara bertahap mencobakannya. Memang dalam pengalaman mencoba tersebut secara sepiral akan terjadi peningkatan kualitas.

Pelaksanaan program individual mencakup pentahapan sebagai berikut: (1) identifikasi kelemahan yang dimiliki atau minat yang ingin dipelajari; (2) rencana kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan kelemahan atau minatnya; (3) mengkaji referensi yang sesuai untuk mengatasi kelemahan yang dirasakan, (4) persetujuan dari fihak lain atau atasan untuk mencobakan dalam skop kecil-dan nantinya dalam skop kelas; (5) pelaksanaan kegiatan; dan, (6)evaluasi sejauh mana tujuan dapat dicapai.

Bentuk kegiatan Individual program bervariasi. Yang paling sederhana adalah guru membaca buku atau artikel yang relevan untuk dikuasai. Bentuk lain yang lebih kompleks adalah guru merancang untuk mengembangkan sesuatu konsep yang diperlukan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Misalnya, merancang comprehensive course (Proses pembelajaran yang komprehensif).

Model In-Service Training; merupakan model yang sudah diketahui umum dan dianggap identik dengan untuk meningkatkan kemampuan individu guru itu sendiri. Dalam kaitan dengan materi model ini dapat dibedakan dua bentuk training. Pertama training jangka pendek, yakni suatu training yang memiliki tujuan khusus dan diselenggarakan dalam waktu yang relatif pendek. Training kelompok ini banyak dilaksanakan untuk peningkatan kemampuan guru, terutama untuk menguasai hal-hal yang baru. Kedua, training jangka panjang dimana materi training lebih bersifat dan berbobot akademik dan dalam tempo yang relatif panjang. Sebagai contoh kelompok ini adalah program penyetaran guru dengan ijazah SPG ke program D2, guru dengan berlatar belakang D2 atau Sarjana Muda ke S1, dan sebagainya. Program ini di masa mendatang akan berlangsung lebih massif berkaitan dengan program kualifikasi sebagai pelaksanaan amanat UUG&D. Disamping dua kelompok, muncul secara kecil-kecilan, bentuk pertama tetapi dikaitkan dengan bentuk kedua. Artinya, pelatihan untuk tujuan khusus dan dilaksanakan dalam jangka pendek, tetapi pelaksnaannya bekerjasama dengan peguruan tinggi, sehingga materi pelatihan mendapatkan ekuivalensi dengan SKS.

Model In-Service Training atau pelatihan ini memiliki asumsi bahwa materi training merupakan sesuatu yang cocok dengan persoalan yang dihadapi guru, jadi memang dibutuhkan oleh guru. Dari keterlibatan guru dalam training, guru memiliki pengetahuan dan ketrampilan baru yang haus dimiliki. Asumsi kedua, berdasarkan pengetahuan dan ketrampilan baru yang dimiliki guru, perilaku guru dalam mengajar juga berubah.

Model In-Service Training jangka pendek memiliki tahap-tahap yang mencakup:

a.Penentuan substansi materi yang akan disampaikan. Materi ini pada umumnya merupakan sesuatu yang baru, yang berkaitan dengan perilaku guru dalam mengelola proses belajar mengajar. Namun, terdapat juga pelatihan yang memiliki tujuan lebih umum untuk meningkatkan kemampuan guru sesuai dengan kebutuhan masa kini. Dalam tahap ini juga ditentukan sistem dan prosedur evaluasi bagi peserta, dan kadangkla juga bagi instruktur atau nara sumber.

b. Penentuan, untuk siapa training diselenggarakan. Tahap ini adalah menentukan siapa peserta pelatihan. Dalam kondisi dimana jumlah guru amat besar, perlu ditentukan spesifikasi khusus dari jumlah yang besar itu.

c. Penentuan siapa master training dan instruktur. Master training adalah seseorang yang berperan sebagai komandan pelatihan. Ia adalah seseorang yang menguasai apa dan kemana arah training, yang senantiasa memonitor jalannya training. Master training lah yang menentukan perubahan-perubahan yang perlu dilakukan dalam training. Sedangkan, instruktur adalah pemberi materi. Tidak jarang dalam training instruktur bukan berperan pemberi materi tetapi penuntun dan pengarah jalannya sidang-sidang atau pemberian materi. Pemberi materi sendiri disebut nara sumber.

d. Pelaksanaan evaluasi. Pada tahap ini Master training dengan instruktur menentukan hasil pelatihan. Siapa peserta yang dinyakatan lulus dan siapa tidak. dan bagaimana prestasi yang telah mereka raih.

e. Pembinaan post-training. Tahap ini untuk mengetahui out come pelatihan, seberapa jauh ilmu dan ketrampilan baru yang diperoleh dipergunakan dalam tugas-tugas mereka. Disamping itu, pembinaan post-training ditujukan untuk menjalin jaringan pembinaan peserta sehingga ada kelangsungan peningkatan mutu peserta. Tahap ini, jarang dilaksanakan dalam pelatihan-pelatihan kita.

Model Interaksi Tatap Muka merupakan model peningkatan mutu kompetensi profesional guru dimana terjadi interaksi tatap muka langsung diantara komponen yang terlibat dalam kegiatan, khususnya antara peserta dan penatar. Dari definisi ini sudah barang tentu model training merupakan salah satu bentuk model tatap muka ini. Tetapi model training juga dapat dilakukan dengan tanpa tatap muka. Model tatap muka langsung ini bisa dalam bentuk seminar, studi focus group, workshop, dan sebagainya.

Kegiatan yang dapat diidentifikasi masuk ke dalam model ini antara lain: a) kualifikasi pendidikan S1 yang harus diperoleh guru; b) sertifikasi profesi yang harus dijalani guru; c) program refreshing untuk mempersiapkan guru mengikuti uji sertifikasi; dan, d) program remidial bagi yang gagal uji sertifikasi.

Peserta pelatihan terebut sangat besar dan harus dilaksanakan secara bertahap. Agar kegiatan tersebut di atas dapat dilaksanakan dengan baik maka harus disusun suatu pedoman yang jelas. Seperti a) pedoman pelaksanaan kualifikasi, b) pedoman pelaksanaan sertifikasi, b) pedoman pelaksanaan remidial, dan, e) pedoman pelaksanaan refreshing.

Model tatap muka untuk meningkatkan kompetensi guru dapat melibatkan jumlah peserta yang cukup besar, efektif dan juga murah, serta tidak sulit untuk dilakukan. Secara umum langkah-langkah yang harus dilakukan untuk melaksanakan model ini adalah:

  1. Tetapkan secara deskriptif dan jelas kemampuan baru yang pelu dikuasai guru.
  2. Evaluasi sarana guru untuk memperoleh kemampuan baru, apakah harus in-service jangka panjang atau jangka penmdek.
  3. Identifikasi sumber-sumber yang ada.
  4. Susun rancangan dan program kerja untuk melaksanakan in- service training yang telah ditetapkan.
  5. Identifikasi peserta, dan bagaimana menentukan jumlah peserta serta kuota untuk daerah.
  6. Perencanaan undangan dan penempatan peserta.
  7. Persiapan dan pelaksanaan M&E.

Model Melibatkan Guru Dalam Kegiatan
merupakan kegiatan yang meningkatkan kemampuan profesional dengan melibatkan guru secara langsung dalam berbagai kegiatan. Model ini dimaksudkan memberikan pengetahuan dan kemampuan baru bagi guru yang akan diperoleh lewat praktik. Dalam bentuk yang paling sederhana model ini diwujudkan dalam learning by doing, dan dalam bentuk yang kompleks diwujudkan dalam bentuk Aksi Konstruksi atau rekayasa sosial dalam pembelajaran. Learning by doing dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah:

  1. Menentukan kemampuan yang akan dikembangkan.
  2. Mengidentifikasi sumber yang ada.
  3. Menentukan design kegiatan.
  4. Menentukan peserta.
  5. Melaksanakan kegiatan.
  6. Melakukan M&E.

Aksi Konstruksi atau rekayasa sosial dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah:

  1. Menentukan kemampuan yang akan dikembangkan.
  2. Mengevalusi dan mengidentifikasi permasalahan yang harus

    dipecahkan.

  3. Mengidentifikasi sumber.
  4. Menentukan design dan skenario kegiatan.
  5. Menentukan peserta.
  6. Melaksanakan kegiatan.
  7. Melaksanakan M&E.

Model Observasi merupakan model peningkatan kompetensi profesional guru yang menekankan pada umpan balik bagi guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Sebagaimana dikemukakan diatas, salah satu ciri kerja guru adalah tidak pernah ada umpan balik atau feedback. Tanpa umpan balik peningkatan mutu dan kemampuan professional guru amat lambat dan sulit. Oleh karena itu pula, banyak hasil penelitian menunjukan bahwa pengalaman kerja guru tidak berkaitan dengan kemampuan guru. Dalam buku manajemen yang berjudul The One Minute Manager karya Blanchard and Johnson (1982) dikemukakan bagaimana pentingnya umpan balik bagi peningkatan kemampuan kerja, dengan mengemukakan “Feedback is the breakfast of champions“.

Pengembangan kemampuan profesional guru dengan model observasi merupakan salah satu cara memberikan umpan balik bagi guru. Kepala sekolah dan juga pengawas memiliki tugas untuk melakukan observasi ketika guru sedang mengajar. Namun, karena beban tugas kepala sekolah yang begitu berat, maka observasi jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan. Disamping itu, observasi yang diperlukan adalah observasi yang serius dan detail, tidak sekedar observasi selintas. Pihak pengawas juga hampir tidak pernah melakukan observasi, karena tekanan pengawas lebih banyak administratif dan juga waktu yang dimiliki pengawas untuk satu sekolah amat terbatas.

Model observasi memiliki beberapa asumsi: a)adanya refleksi atau kajian apa yang telah dilakukan memegang peran penting bagi suatu upaya peningkatan kemampuan profesional guru; b) refleksi oleh diri sendiri dapat diperkuat dan disempurnakan oleh orang lain; c) baik yang diobservasi dan yang melakukan observasi, akan memperoleh keuntungan; dan, d) guru memanfaatkan umpan balik baik kritik dan saran, untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas kerjanya.

Pelaksanaan observasi dapat dilaksanakan dalam beberapa tahap:

1. Tahap awal observasi atau pre-observasi. Tahap ini observasi dilakukan secara umum, untuk menentukan aspek apa yang harus amati secara mendalam dan menentukan metode observasi yang perlu dipergunakan.

2. Observasi, tahap untuk melakukan observasi dengan metode yang telah ditentukan dan mencatat persoalan serius atau penting yang muncul. Observasi bisa dipusatkan pada fihak siswa atau guru, atau keduanya. Pola-pola yang berlangsung dalam frekuensi tinggi perlu untuk direkam. Perilaku yang muncul dapat dikelompokan kedalam tiga kelompok: a) perilaku yang mendukung keberhasilan pengajaran, b) perilaku yang mengganggu pengajaran, dan, c) perilaku yang bersifat netral tetapi banyak menyita waktu.

3. Tahap analisis data, dimana obrserver melakukan analisis hasil observasi. Data perlu untuk dianalisis guna menghasilkan suatu gambaran yang utuh bagaimana guru telah melaksanakan proses belajar mengajar.

4. Tahap konfirmasi, dimana guru dan observer mendikusikan hasil pengamatan observer. Dari tahap konfirmasi ini guru mendapatkan feedback bagaimana ia mengajar, dan juga mendiskusikan dengan observer perubahan dalam mengajar apa yang harus dilaksanakan, upaya apa yang harus dilakukan guru untuk meningkatkan apa yang baik dan mengurangi apa yang kurang dalam melaksanakan pengajaran, serta merumuskan program untuk perbaikan itu.

Model Inquiry adalah kegiatan peningkatan kompetensi profesional guru yang menekan guru untuk mencari permasalahan yang dihadapi kemudian mencari solusi yang dipraktikan dalam kegiatan mengajar sehari-hari. Solusi dapat diperoleh lewat kajian buku, pengamatan lapangan dan atau diskusi dengan kolega dan fihak yang terkait. Salah satu bentuk model Inquiry yang paling banyak dan hampir dilaksanakan disemua negara adalah Class Room Action Research (CAR). Dan, pelaksanaan CAR sudah terbukti berhasil meningkatkan kompetensi profesional guru.

Pada umumnya langkah-langkah dalam melaksanakan Action Research atau Penelitian Tindakan sebagai berikut:

  1. Mengidentifikasi dan merumuskan permasalahan yang dihadapi.
  2. Melakukan kajian teori dan atau melakukan pengamatan lapangan

    serta diskusi dengan fihak-fihak yang relevan.

  3. Merencanakan program aktivitas untuk memecahkan masalah

    tersebut.

  4. Melaksanakan program dan aktivitas.
  5. Melakukan evaluasi atas program yang dilaksanakan dalam rangka

    memecahkan permasalahan.

  6. Merevisi dan nyempurnakan program pemecahan masalah

    berdasarkan atas hasil evaluasi.

  7. Melaksanakan program kegiatan yang telah diperbaharui.
  8. Melakukan evaluasi atas program yang dilaksanakan.
  9. Melakukan kembali penyempurnaan program.
  10. Melaksanakan kembali program yang telah disempurnakan.
  11. Merumuskan hasil dan menyusun laporan.

Model peningkatan kompetensi profesional guru ini dapat dikombinasikan dengan dimensi materi dan sasaran peningkatan kemampuan guru sehingga memberikan gambaran lebih detail bagaimana kegiatan peningkatan kemampuan profesional guru dilaksanakan. .

Implementasi peningkatan kemampuan profesional guru

Pembahasan terakhir dalam mengembangkan program kegiatan peningkatan kemampuan guru adalah menentukan atau pembagian kerja siapa dan melaksanakan apa. Kalau diidentifikasi terdapat lembaga yang memiliki tanggung jawab melaksanakan peningkatan kemampuan guru. Kalau disusun mulai lembaga yang paling langsung berhubungan dengan guru, dapat dilihat sebagaimana daftar urutan berikut:

  1. Sekolah (termasuk MGMP sekolah)
  2. MGMP antar sekolah/PKG/kelompok sekolah
  3. Kancam
  4. Dinas Kabupaten/kota
  5. LPMP
  6. Dinas Propinsi
  7. PPPG
  8. Perguruan Tinggi
  9. Lembaga dan Organisasi masyarakat.

Produktivitas Kepemimpinan

Produktivitas kerja erat kaitannya dengan efisiensi, efektivitas, dan kualitas kerja dan tidak semata-mata ditujukan untuk mendapatkan hasil kerja sebanyak-banyaknya. Laeham dan Wexley (1982:2), mengungkapkan bahwa : “produktivitas individu dapat dinilai dari apa yang dilakukan oleh individu tersebut dalam kerjanya. Dengan kata lain, produktivitas individu adalah bagaimana seseorang melaksanakan pekerjaannya atau unjuk kerjanya (job performance)”. Sementara Tohardi menjelaskan bahwa, “produktivitas dapat diartikan sebagai perbandingan antara output (keluaran) dengan input (masukan)” (Tohardi, 2002:448). Kemudian Raviyanto dkk (1988:75)
yang mengutip Lmbaga Produktivitas Norwegia menyebutkan bahwa produktivitas adalah hubungan di antara jumlah produk yang, diproduksi dan jumlah sumber daya yang diperlukan untuk memproduksi produk tersebut. Selanjutnya Rome Conference European Productivity Agency tahun 1958 menyebutkan bahwa: (a) produktivitas adalah derajat efisiensi dan efektivitas dari penggunaan elemen produksi; (b) produktivitas merupakan sikap mental , sikap mental yang selalu mencari perbaikan terhadap apa yang telah ada. Suatu keyakinan bahwa seseorang dapat melakukan pekerjaan lebih baik hari ini daripada hari kemarin dan hari esok lebih baik daripada hari ini. Selanjutnya produktivitas berhubungan dengan sikap mental yang mementingkan usaha yang terus menerus untuk menyesuaikan aktivitas ekonomi terhadap, kondisi yang berubah. Sementara menurut Dewan Produktivitas Nasional. Republik Indonesia Tahun 1983, mencantumkan bahwa : (a) produktivitas mengandung pengertian sikap, mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa kehidupan hari ini harus selalu lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini, (b) secara umum produktivitas mengandung pengertian perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumber daya yang digunakan. (c) Produksi dan produktivitas merupakan dua pengertian yang berbeda. Peningkatan produksi menunjukkan pertambahan jumlah hasil yang dicapai, sedangkan peningkatan produktivitas mengandung pengertian pertambahan hasil dan perbaikan cara produksi. Peningkatan produksi tidak selalu disebabkan oleh peningkatan produktivitas, karena produksi dapat saja meningkat walaupun produktivitasnya tetap atau menurun (dalam Tohardi, 2002:449).

Dilihat dari segi psikologi, produktivitas adalah suatu tingkah laku. Produktivitas menunjukkan tingkah laku sebagai keluaran (output) dari suatu proses berbagai macam komponen kejiwaan yang melatarbelakanginya (Anoraga, 2001:50). Ini berarti, kalau berbicara tentang produktivitas tidak lain daripada berbicara mengenai tingkah laku manusia atau individu, yaitu tingkah laku produktivitasnya. Sedarmayanti mengutip formulasi National

Productivy Board (NPB) Singapore, dikatakan bahwa produktivitas adalah sikap, mental (attitude of Mind) yang mempunyai semangat untuk melakukan peningkatan perbaikan. Perwujudan sikap mental, dalam berbagai kegiatan antara lain sebagai berikut: (1) yang berkaitan dengan diri sendiri dapat dilakukan melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, disiplin, upaya peribadi dan kerukunan kerja; (2) yang berkaitan dengan pekerjaan dapat dilakukan melalui manajemen dan metode kerja yang lebih baik, penghematan beaya, ketepatan waktu, dan sistem serta teknologi yang lebih baik (Sedarmayanti, 2001:57). Sedangkan pengertian produktivitas dikaitkan dengan individu productive dikemukakan oleh Gilmore (1974), Erich Fromm (1975) yang dikutip oleh Sedannavant (2001:79), berpendapat tentang individu produktif, yaitu: (1) tindakannya konstruktif, (2) percaya pada diri sendiri, (3) bertanggung jawab, (4) memiliki rasa cinta terhadap pekerjaan, (5) mempunyai pandangan ke depan, (6) mampu mengatasi persoalan dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah-ubah, (7) mempunyai kontribusi positif terhadap lingkungannya (aktif, imaginative, dan inovatif), dan (8) memiliki kekuatan untuk mewujudkan potensinya. Aspek-aspek inilah yang semestinya dapat dimunculkan dalam organisasi, sehingga budaya organisasi tersebut akan member kontribusi pada output maupun out come yang diharapkan. Demikian juga pada organisasi sekolah, sangat diperlukan perilaku-perilaku yang positif untuk dapat memunculkan kondusivitas, dan hal tersebut sangat dibutuhkan dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, produktivitas kerja yang dimaksud adalah suatu sikap mental dan tingkah laku guru untuk terus menerus mengadakan peningkatan perbaikan menyangkut diri sendiri seperti peningkatan pengetahun, keterampilan, disiplin, kerukunan kerja, dan yang berkaitan dengan pekerjaan melalui peningkatan perbaikan manajemen dan metode kerja, penghematan biaya, ketepatan waktu, dan sistem serta teknologi yang lebih baik. Dalam kaitan dengan itu indicator produktivitas yang digunakan adalah sebagai berikut : (1) tindakannya konstruktif, (2) percaya pada diri sendiri, (3) bertanggung jawab, (4) memiliki rasa cinta terhadap pekerjaan, (5) mempunyai pandangan ke depan, (6) mampu mengatasi persoalan dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah-ubah, (7) mempunyai kontribusi positif terhadap lingkungannya (aktif, imaginative, dan inovatif), dan (8) memiliki kekuatan untuk mewujudkan potensinya.

Download Tulisan

PERSPEKTIF DAN KEBIJAKAN PENDIDIKANMENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL

PERSPEKTIF DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL

————————————————————————————————————

Oleh:

Prof.Dr. NYOMAN DANTES

1.Pendahuluan

Telah kita ketahui dalam abad milinium ini ciri utamanya adalah terjadinya globalisasi pada setiap aspek kehidupan. Globalisasi mengandung arti terjadinya keterbukaan, kesejagatan, dimana batas-batas negara tidak lagi menjadi penting. Salah satu yang menjadi trend dan merupakan ciri globalisasi adalah adanya persamaan hak. Dalam konteks pendidikan, persamaan hak itu tentunya berarti bahwa setiap individu berhak mendapat pendidikan yang setinggi-tingginya dan sebaik-baiknya tanpa memandang bangsa, ras, latar belakang ekonomi, maupun jenis kelamin. Dengan adanya kesamaan hak ini, terjadi kehidupan yang penuh dengan persaingan karena dunia telah menjadi sangat kompetitif. Karena itu, mau tidak mau setiap orang mesti berusaha untuk menguasai ilmu dan teknologi agar dapat ikut dalam persaingan, dan jika tidak, maka akan ditinggalkan.

Terkait dengan itu, pendidikan mesti dapat menjawab tantangan tersebut. Dengan kata lain, pendidikan harus menyediakan kesempatan bagi setiap peserta didik untuk memperoleh bekal pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai sebagai bekal mereka memasuki persaingan dunia yang kian hari semakin ketat itu. Di samping kesempatan yang seluas-luasnya disediakan, namun yang penting juga adalah memberikan pendidikan yang bermakna (meaningful learning). Karena, hanya dengan pendidikan yang bermakna peserta didik dapat dibekali keterampilan hidup, sedangkan pendidikan yang tidak bermakna (meaningless learning) hanya akan menjadi beban hidup.

Sehubungan dengan itu, beberapa permasalahan krusial yang perlu dikaji antara lain : pertama, bagaimana pendidikan yang dapat menjawab tantangan di atas dapat dirancang?, dan kedua, dengan adanya persamaan hak dalam mendapatkan pendidikan yang terbaik, bagaimanakah upaya-upaya pendidikan yang dapat mengakomodasi berbagai dimensi pembaharuan, sehingga peserta didik mendapatkan kesempatan pendidikan yang berkualitas dalam era global ini?

2. Paradigma Pendidikan Masa Depan

Pendidikan berwawasan masa depan diartikan sebagai pendidikan yang dapat menjawab tantangan masa depan, yaitu suatu proses yang dapat melahirkan individu-individu yang berbekal pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk hidup dan berkiprah dalam era globalisasi.

Komisi Internasional bagi Pendidikan Abad ke 21 yang dibentuk oleh UNESCO melaporkan bahwa di era global ini pendidikan dilaksanakan dengan bersandar pada empat pilar pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together (Delors, 1996). Dalam learning to know peserta didik belajar pengetahuan yang penting sesuai dengan jenjang pendidikan yang diikuti. Dalam learning to do peserta didik mengembangkan keterampilan dengan memadukan pengetahuan yang dikuasai dengan latihan (law of practice), sehingga terbentuk suatu keterampilan yang memungkinkan peserta didik memecahkan masalah dan tantangan kehidupan. Dalam learning to be, peserta didik belajar menjadi individu yang utuh, memahami arti hidup dan tahu apa yang terbaik dan sebaiknya dilakukan, agar dapat hidup dengan baik. Dalam learning to live together, peserta didik dapat memahami arti hidup dengan orang lain, dengan jalan saling menghormati, saling menghargai, serta memahami tentang adanya saling ketergantungan (interdependency). Dengan demikian, melalui keempat pilar pendidikan ini diharapkan peserta didik tumbuh menjadi individu yang utuh, yang menyadari segala hak dan kewajiban, serta menguasai ilmu dan teknologi untuk bekal hidupnya.

Dalam Jalal dan Supriadi (2001) disebutkan tiga acuan dasar pengembangan pendidikan di Indonesia dalam era reformasi untuk menjawab tantangan global, yaitu acuan filosofis, acuan nilai kultural, dan acuan lingkungan strategis.

Acuan filosofis, didasarkan pada abstraksi acuan hukum dan kajian empiris tentang kondisi sekarang serta idealisasi masa depan. Secara filosofis pendidikan perlu memiliki karakteristik: (a) mampu mengembangkan kreativitas, kebudayaan, dan peradaban; (b) mendukung diseminasi dan nilai keunggulan, (c) mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan dan keagamaan; dan (d) mengembangkan secara berkelanjutan kinerja kreatif dan produktif yang koheren dengan nilai-nilai moral. Kesemua ini tidak terlepas dari cita-cita pembentukan masyarakat Indonesia Baru, yakni apa yang disebut dengan masyarakat madani.

Pendidikan kita harus pula memiliki acuan nilai kultural dalam penataan aspek legal. Tata nilai itu sendiri bersifat kompleks dan berjenjang mulai dari jenjang nilai ideal, nilai instrumental, sampai pada nilai operasional. Pada tingkat ideal, acuan pendidikan adalah pemberdayaan untuk kemandirian dan keunggulan. Pada tingkat instrumental, nilai-nilai yang penting perlu dikembangkan melalui pendidikan adalah otonomi, kecakapan, kesadaran berdemokrasi, kreativitas, daya saing, estetika, kearifan, moral, harkat, martabat dan kebanggaan. Pada tingkat operasional, pendidikan harus menanamkan pentingnya kerja keras, sportifitas, kesiapan bersaing, dan sekaligus bekerjasama dan disiplin diri.

Acuan lingkungan strategis mencakup lingkungan nasional dan lingkungan global. Lingkungan nasional ditandai dengan dua hal yang substansial yaitu: masih berlanjutnya krisis dimensional yang menerpa bangsa ini, dan tuntutan reformasi secara total yang belum berjalan secara baik dan optimal. Lingkungan nasional meliputi perubahan demografis termasuk didalamnya penyebaran penduduk yang tidak merata dan keberhasilan KB, pengaruh ekonomi yang tidak merata sehingga penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan meningkat, pengaruh sumber kekayaan alam yang pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan yang baik, pengaruh nilai sosial budaya di era global ini, dimana munculnya nilai-nilai baru di masyarakat seperti kerja keras, keunggulan, dan ketepatan waktu, pengaruh politik yang sejak era reformasi terasa sangat labil, serta pengaruh ideologi dimana pendidikan ideologi perlu terkait dengan yang universal. Lingkungan nasional yang saat ini masih dalam situasi reformasi, bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Secara nasional acuan strategis ini mengandung arti bahwa pendidikan kita harus dapat menjawab tantangan reformasi dan membawa negeri ini keluar dari berbagai krisis.

Lingkungan global ditandai antara lain dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi sehingga kita tidak bisa menjadi warga lokal dan nasional saja, tetapi juga warga dunia.Lingkungan strategis sangat berpengaruh bagaimana pendidikan masa depan tersebut hendaknya dirancang.

Sebagai implikasi dari globalisasi dan reformasi tersebut, terjadi perubahan pada paradigma pendidikan. Perubahan tersebut menyangkut, pertama: paradigma proses pendidikan yang berorientasi pada pengajaran dimana guru lebih menjadi pusat informasi, bergeser pada proses pendidikan yang berorientasi pada pembelajaran dimana peserta didik menjadi sumber (student center). Dengan banyaknya sumber belajar alternatif yang bisa menggantikan fungsi dan peran guru, maka peran guru berubah menjadi fasilitator. Kedua, paradigma proses pendidikan tradisional yang berorientasi pada pendekatan klasikal dan format di dalam kelas, bergeser ke model pembelajaran yang lebih fleksibel, seperti pendidikan dengan sistem jarak jauh. Ketiga, mutu pendidikan menjadi prioritas (berarti kualitas menjadi internasional). Keempat, semakin populernya pendidikan seumur hidup dan makin mencairnya batas antara pendidikan di sekolah dan di luar sekolah.

Kondisi ini mengharuskan pendidikan menerapkan berbagai prinsip yang sangat mendasar seperti penerapan standar mutu sehingga kita bisa bersaing dengan dunia global, dan penggunaan berbagai cara belajar dengan mendayagunakan sumber belajar. Bila kita cermati ketiga acuan di atas merupakan dasar hukum dan operasional pengembangan pendidikan masa depan. Dalam pembangunan pendidikan ke depan ini, ketiga acuan itu merupakan dasar dalam mengembangkan cetat biru (blueprint) pendidikan nasional.

3. Kajian Konsepsional mengenai Penjaminan mutu pendidikan

Dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi pendidikan tersebut adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Terkait dengan visi tersebut telah ditetapkan serangkaian prinsip untuk dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan.

Salah satu prinsip tersebut adalah bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Implikasi dari prinsip ini adalah pergeseran paradigma proses pendidikan, yaitu dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran.

Paradigma pengajaran yang telah berlangsung sejak lama lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransfer pengetahuan kepada peserta didik. Seperti telah disebutkan pada pendahuluan , dewasa ini paradigma tersebut telah bergeser menuju paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk menyelenggarakan proses pendidikan yang didasarkan paradigma baru tersebut, diperlukan acuan dasar bagi setiap satuan pendidikan yang meliputi serangkaian kriteria dan kriteria minimal sebagai pedoman, yang saat ini dikenal dengan delapan standar mutu nasional pendidikan.

Tujuan standar mutu pendidikan ditetapkan adalah untuk menjamin mutu proses transpormasi, mutu instrumental dan mutu kelulusan, yang meliputi : (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan. (Bab IX UUSPN). Konsep tersebut di atas dapat diwujudkan pada diagram berikut:


Gambar 1: Keterkaitan antara Aspek-Aspek Standar Mutu

Dalam kaitan dengan itu, Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, sejak tahun 1920an telah mengumandangkan pemikiran bahwa pendidikan pada dasarnya adalah memanusiakan manusia. Untuk itu suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya, tidak ada pendidikan tanpa dasar cinta kasih. Dengan demikian pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, serta menjadi anggota masyarakat yang berguna. Manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiannya dan mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Metode pendidikan yang paling tepat adalah sistem among yaitu metode pembelajaran yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Sementara itu prinsip penyelenggaraan pendidikan perlu didasarkan pada “Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani“.

Mengingat bahwa pendidikan itu merupakan suatu sistem dengan komponen-komponen yang saling berkaitan, maka keseluruhan sistem harus sesuai dengan ketentuan yang diharapkan atau standar. Untuk itu masing-masing komponen dalam sistem harus pula sesuai dengan standar yang ditentukan bersama. Hal ini mesti dilakukan dalam kaitan terjadinya penjaminan mutu pendidikan itu sendiri, karena; penjaminan mutu adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga konsumen, produsen, dan pihak lain yang berkepentingan memperoleh kepuasan. Bila dikaitkan dengan pengelolaan pendidikan, penjaminan mutu yang dimaksud adalah proses penetapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan pendidikan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga stakeholders memperoleh kepuasan. Untuk itu, dalam PP 19/2005 delapan standar tersebut di atas merupakan aspek-aspek yang harus memenuhi standar mutu dalam kaitan dengan penjaminan mutu suatu lembaga. Kualifikasi pendidik merupakan salah satu Standard yang harus dipenuhi sesuai dengan PP 19/2005. Dengan terpenuhinya kualifikasi pendidik diharapkan pengelolaan proses pembelajaran dapat berlangsung secara interaktif, inspiratif, menantang, memotivasi dan menyenangkan
(I2M3).

4. Implementasi Kebijakan Pendidikan Berwawasan Masa Depan

Terjadinya pergeseran paradigma pendidikan nasional seperti telah dikupas di depan, mengakibatkan adanya berbagai kebijakan pendidikan yang relevan dengan itu. Beberapa kebijakan yang menonjol, antara lain dalam bidang menajeman pendidikan yaitu desentralisasi pendidikan (melalui program menajemen pendidikan berbasis sekolah), dalam bidang kurikulum yaitu kurikulum tingkat satuan pendidikan yang berbasis kompetensi (KTSP), dalam proses pembelajaran ada program percepatan belajar (learning accelleration). Kebijakan-kebijakan baru ini perlu mendapat perhatian yang serius sampai pada tataran guru sebagai ujung tombak.

  1. Menajemen Pendidikan Berbasis Sekolah

Hasil studi yang dilakukan Bank Dunia, yang diberi judul Education in Indonesia: from Crisis to Recovery (1998) antara lain menghasilkan simpulan bahwa ada tiga faktor penyebab ketidakefisienan manajemen sekolah, yaitu: (1) pada umumnya kepala sekolah, terutama sekolah negeri memiliki otonomi yang sangat terbatas dalam menajemen sekolah dan dalam memutuskan alokasi sumber-sumber, (2) banyak kepala sekolah yang mempunyai keterampilan yang terbatas dalam menajemen sekolah, (3) partisipasi masyarakat dalam menajemen sekolah sangat terbatas, hal ini antara lain dapat dilihat dari ketidakmampuan kepala sekolah dalam memobilisasi dukungan masyarakat.

Sehubungan dengan itu, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS), yang dicanangkan sejak tahun 2000 merupakan respon terhadap kebutuhan penyesuaian terhadap konsep demokrasi dan otonomi. Inti dari MPBS adalah pemberdayaan masyarakat sebagai komponen yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Jika sebelumnya sekolah seolah-olah merupakan milik pemerintah dalam artian bahwa semua tanggungjawab penyelenggaraannya menjadi beban pemerintah, kini masyarakat menjadi komponen penting dalam tanggung jawab itu. Dengan pelibatan masyarakat, diharapkan timbul suatu kesadaran bahwa keberhasilan pendidikan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat dan pemerintah. Sharing ini antara lain telah diwujudkan dalam bentuk Komite Sekolah, dimana didalamnya terlibat penyelenggara sekolah, orangtua murid, maupun komponen masyarakat lainnya. Dalam perjalanannya sampai saat ini, Komite Sekolah sudah mulai menjalankan fungsinya namun belum optimal, dan selanjutnya diharapkan berkontribusi yang cukup signifikan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. MPBS diharapkan bukan hanya berbagi dalam fungís sebagai penyandang dana, namun pelibatan orangtua dan masyarakat diharapkan juga terjadi. Di negara-negara maju seperti AS, MPBS telah lama dilakukan, kerjasama sekolah dengan orangtua dan masyarakat juga dilakukan dalam proses pembelajaran. Kedatangan orangtua ke sekolah untuk membantu guru dalam PBM, dokter yang memberi masukan dalam suatu proyek dalam pelajaran biologi misalnya, bukanlah pemandangan yang aneh.

  1. Kuríkulum Tingkat Satuan Pendidikan

Penggunaan Kuríkulum 1994 di lapangan mengalami berbagai paradoks, antara lain menyangkut universalisasi pendidikan disatu pihak, dan tuntutan akan mutu yang tinggi dipihak lain. Setelah itu, ada upaya pembaharuan kurikulum, dan salah satu upaya adalah pengembangan kurikulum berbasis kompetensi. Dengan kurikulum yang berbasis kompetensi ini, ukuran terpenting keberhasilan peserta didik adalah penguasaan mereka terhadap standar kompetensi. Pendekatan kurikulum berbasis kompetensi ini (saat ini terkenal dengan KTSP), dilakukan melalui identifikasi dan penentuan kemampuan dasar lulusan/ Standar Kompetensi Lulusan (SKL), yang dijabarkan menjadi Standar Isi (SI) yang memuat, Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Berdasarkan SI tersebut masing-masing Satuan Pendidikan menyusun kurikulumnya dengan menjabarkan menjadi Materi, Pengalaman Belajar, Indikator. Terdapat peluang yang sangat besar sekolah/guru mengembangkan kurikulumnya sendiri (berorientasi pada SI yang telah ditetapkan dalam Permen Diknas, maupun mengembangkan dan memasukkan keunggulan lokal sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya).

  1. Program Anak Berbakat/Percepatan Belajar

Dalam rangka realisasi pendidikan yang berwawasan masa depan, perhatian harus diprioritaskan pada pengklasifikasian peserta didik sesuai dengan kemampuan, bakat, maupun minat mereka. Ini sangat penting agar pendidikan yang diikuti benar-benar bermakna. Beberapa progam telah dilakukan terkait dengan kondisi peserta didik yang variatif ini, yaitu melalui sistem akreditasi, sistem sekolah unggulan, maupun program umum plus seperti program akselerasi belajar.

Diketahui bahwa lembaga pendidikan yang ada adalah pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pada jenjang sekolah menengah atas, pendidikan formal dibedakan antara SMA dan SMK. Pada hakekatnya di jenjang SMA peserta didik diberikan pengalaman belajar dalam rangka penguasaan sains, teknologi, dan pengalaman belajar yang dapat membekali mereka melanjutkan pendidikannya ke PT. Sedangkan pada jenjang SMK peserta didik diarahkan pada penguasaan keterampilan baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang, sehingga tamatan SMK diharapkan langsung dapat masuk ke dunia kerja.

Perkiraan Ward (dalam Semiawan, 1997) di Indonesia terdapat 1,57 % anak yang berbakat tinggi (highly gifted), dan 10 % yang berbakat sedang (moderately gifted). Kedua kelompok anak ini berbakat akademik (akademic talented) atau keberbakatan intelektual. Anak-anak berbakat ini merupakan aset nasional yang sangat penting, karena mereka memiliki interes intelektual dan perspektif masa depan yang jauh lebih baik dari anak kebanyakan, baik secara genetis maupun dalam kecepatan tindakan. Dengan kelebihan ini, diharapkan tenaga dan pikiran mereka dapat membawa berbagai pembaharuan dalam bidang keilmuan, maupun perubahan kearah perbaikan kehidupan masyarakat, seperti apa yang telah dilakukan Edison (sang penemu listrik) yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

Sesuai dengan keberadaan kedua kelompok ini sebagai kelompok yang “berbeda” dengan anak normal lainnya, dan sesuai pula dengan misi pendidikan untuk memberikan kesempatan pendidikan yang sebaik-baiknya bagi mereka, maka kelompok ini perlu mendapatkan pendidikan yang dapat mengakomodasi kelebihan mereka. Program untuk mereka dapat berupa pendidikan khusus, atau pendidikan umum untuk anak berbakat (saat ini dikenal dengan program kelas percepatan). Berkaitan dengan itu, beberapa asumsi yang mendasari alasan kenapa anak berbakat perlu mendapatkan pendidikan yang berbeda dengan anak-anak lainnya, adalah : (a) anak berbakat secara kualitatif berbeda dengan anak lainnya, (b) pendidikan khusus bagi mereka sangat menguntungkan, karena sesuai dengan kemampuan mereka, (c) suatu program harus dilaksanakan berdasarkan model instruksional yang terarah, (d) program anak berbakat harus lebih menekankan perkembangan kreativitas dan proses berpikir tingkat tinggi, (e) metode pembelajaran bagi anak berbakat lebih berorientasi pada pendekatan induktif.

Pendidikan anak berbakat harus diwarnai oleh penekanan pada aktivitas intelektual, kecepatan dan tingkat kompleksitas sesuai dengan kemampuan yang tinggi. Sehubungan dengan itu, jika anak-anak berbakat ditangani dengan program akselerasi, maka ada dua hal penting yang harus diperhitungkan, yaitu: (a) dalam program akselerasi, beban belajar yang oleh anak-anak biasa dapat diselesaikan dalam tiga tahun, maka oleh anak-anak berbakat ini hanya dibutuhkan waktu dua tahun. Ini berarti terjadi proses percepatan dalam belajar, (b) percepatan ini juga harus mengandung arti kualitatif, yaitu bahwa aktivitas belajar mereka ditekankan pada aktivitas intelektual tinggi. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa, dalam perilaku intelektual, aspek teoretis dan tingkat abstraksi anak-anak berbakat menunjukkan karakteristik mental yang baik dalam melihat hubungan yang bermakna, tanggap mengaitkan asosiasi logis, mudah mengadaptasikan prinsip abstrak kesituasi konkret, serta mampu menggeneralisasikan.

Metode belajar yang relevan adalah metode penemuan (discovery learning) seperti yang dikembangkan oleh Piaget dan Bruner, dan metode induktif. Dalam discovery learning aspek kognitif berkembang melalui penemuan dan pengembangan hipotesis, bukan dengan cara duduk, diam, dengar, dan catat. Discovery learning memberikan tantangan bagi kemampuan berpikir abstrak yang tinggi, dan pelibatan secara aktif dalam menemukan jawaban dan tantangan tersebut. Dengan cara ini, terjadilah penanjakan dinamis dari kehidupan mental yang disebut eskalasi (Semiawan,1997).

Pembelajaran kognitif induktif dideskripsikan melalui empat istilah, yaitu: (a) inquiry, (b) problem solving, (c) discovery learning, dan (d) scientific method. Pembelajaran induktif memiliki rasional yang kuat untuk meningkatkan: (a) penggunaan inteligensia secara optimal dengan memanfaatkan fungsi kedua belahan otak secara penuh, (b) kemampuan siswa untuk mengarahkan diri dan tanggungjawab untuk memperoleh kemajuan dalam mencapai sasaran jangka panjang dan jangka pendek, (c) kemampuan untuk mensintesiskan informasi, konsep, dan membuat generalisasi, dan (d) kemampuan mentransper belajar dalam situasi berbeda.

d.
Pembelajaran Berpusat Pada Siswa dan Pembelajaran yang Konstruktivis

Menurut sejarahnya, pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (untuk selanjutnya, disebut juga Student-Centered Learning, disingkat SCL) lahir pada awal abad ke-20, yaitu pada saat orang-orang mulai meyakini bahwa pendidikan harus memperhitungkan peserta didik sebagai unsur aktif dalam proses inkuiri, yaitu proses memecahkan masalah yang dihadapinya sendiri. Di bawah pengaruh perspektif pendidikan yang disebut Progressive Education (lahir di Amerika Serikat) yang meyakini bahwa pengalaman langsung adalah inti dari belajar, para pendukung Progressive Education menentang pembelajaran yang menganggap bahwa peserta didik sebagai kantong kosong yang baru berisi bila diisi oleh guru (teori Tabula Rasa). Bagi pendidikan progresif, peran guru adalah sebagai fasilitator dan pemandu dalam proses pemecahan masalah peserta didik.

John Dewey adalah pelopor pandangan progresif ini. Dia menegaskan bahwa kelas adalah laboratorium yang memotret kehidupan yang sebenarnya. Dia mengajak guru untuk menggunakan masalah riil sehari-hari untuk dipecahkan oleh siswa, sebagai bahan pembelajaran. Dewey menekankan bahwa pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang memuat masalah-masalah nyata yang sedang dihadapi, tidak tentang hal-hal yang abstrak bagi siswa. Dewey dikenal dengan filosofi pendidikan learning by doing. Ciri-ciri pembelajaran progresif antara lain, ruang kelas yang diatur secara fleksibel, keleluasaan bagi peserta didik untuk bekerja kelompok maupun individual sesuai dengan kebutuhannya, peserta didik ikut berperan dalam menentukan aturan kelas, dan materi pembelajaran yang kaya dan variatif.

Selain pengaruh pendidikan progresif, juga ada pengaruh perspektif open classroom yang meyakini bahwa peserta didik memiliki motivasi intrinsik untuk belajar, dan dorongan dari dalam ini hanya bisa dipuaskan melalui kegiatan eksplorasi dan pemecahan masalah (problem solving). Pada akhir tahun 70an, di bawah pengaruh psikologi kognitif, berkembang perspektif konstruktivisme dalam pembelajaran.

Konstruktivisme berarti bahwa peserta didik membangun (to construct) pemahamannya tentang dunia. Berbicara mengenai konstruktivisme bukanlah berbicara tentang suatu teknik tertentu dalam pembelajaran, melainkan kita berfikir tentang proses perolehan pengetahuan dan asesmennya. Ada dua kata kunci dalam konstruktivisme, yaitu siswa aktif (active) dan memperoleh makna (meaning) (Elliott, dkk, 2000); dimana pembelajaran konstruktivis tersebut digambarkan sebagai berikut: Peserta didik tidak semata-mata merekam atau mengingat materi yang dipelajari, melainkan mengkonstruksi suatu representasi mental yang unik tentang materi tersebut, tugas yang akan dipentaskan, memilih informasi yang dianggapnya relevan, dan memahami informasi tersebut berdasarkan pengetahuan yang ada padanya, dan kebutuhannya. Peserta didik menambahkan informasi yang diperlukannya tidak selalu dari materi yang disediakan guru/guru. Ini merupakan suatu proses yang aktif karena peserta didik harus melakukan berbagai kegiatan kognitif, afektif, dan psikomotorik agar informasi tersebut bermakna bagi dirinya (Elliott, 2000; p. 15).


Belakangan, berbagai interpretasi muncul tentang bagaimana konstruksi pengetahuan itu terwujud pada peserta didik; ada yang mengatakan bahwa peserta didik itu sendiri mampu membangunnya, tapi ada pula yang mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi dalam interaksi sosial seperti teman sebaya, dan keluarga. Yang pertama diwakili oleh J. Piaget, yang mengatakan bahwa konstruksi makna terjadi melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah akuisisi pengetahuan yang sesuai dengan yang telah ada sebelumnya; dan akomodasi adalah proses akuisisi terhadap hal-hal baru yang belum ada dalam skema (pengetahuan yang tersimpan dibenak) yang bersangkutan. Di lain pihak, Vygotsky mengatakan bahwa konstruksi pengetahuan terjadi melalui proses interaksi sosial dengan orang lain yang lebih mampu (dalam istilah Vygotsky: skilled individuals). Diyakini bahwa konstruksi makna akan terjadi jika proses akuisisi pengetahuan dilakukan dalam lingkungan sosial budaya yang sesuai.

Dibawah pengaruh perspektif konstruktivis, pembelajaran yang dianggap dapat menjawab tantangan pendidikan global sekarang ini (pendidikan yang bermakna, bukan pendidikan yang membebani hidup) adalah pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Berdasarkan hakikat SCL tersebut di atas, maka dapat dilihat perbedaan antara SCL dengan pembelajaran yang berpusat pada guru dan berorientasi pencapaian materi (Teacher-centered, content-oriented/TCCO), sebagai berikut:

Teacher Centered

Student-Centered Learning

Pengetahuan ditransfer dari guru ke siswa

Siswa secara aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajarinya

Siswa menerima pengetahuan secara pasif

Siswa secara aktif terlibat didalam mengelola pengetahuannya

Lebih menekankan pada penguasaan materi

Penguasaan materi dan juga mengembangkan karakter siswa (life-long learning)

Biasanya memanfaatkan media tunggal

Multimedia

Fungsi guru sebagai pensuplai informasi utama dan evaluator

Guru sebagai fasilitator, evaluasi dilakukan bersama dengan siswa

Proses pembelajaran dan asesmen dilakukan secara terpisah

Terpadu dan berkesinambungan

Menekankan pada jawaban yang benar saja

Menekankan pada pengembangan pengetahuan. Kesalahan menunjukkan proses belajar dan dapat digunakan sebagai salahsatu sumber belajar

Cocok untuk pengembangan ilmu dalam satu disiplin saja

Untuk pengembangan ilmu interdisipliner

Iklim belajar lebih individual dan kompetitif

Iklim yang tercipta lebih bersifat kolaboratif, suportif, dan kooperatif

Proses pembelajaran hanya terjadi pada siswa

Siswa dan guru belajar bersama dalam mengembangkan, konsep, dan keterampilan

Pelajaran mengambil porsi waktu terbanyak

Pelajaran dan berbagai kegiatan lain dalam proses belajar

Penekanan pada ketuntasan materi

Penekanan pada pencapaian target kompetensi

Penekanan pada cara pembelajaran yang dilakukan oleh guru

Penekanan pada bagaimana cara siswa belajar. Penekanan pada problem-based learning dan skill competency

5. Penutup

Telah dibahas tantangan pendidikan kita untuk masa depan. Semua tantangan globalisasi dan krisis multidimensional yang berkepanjangan memang telah terjadi di negara kita. Mau tidak mau dunia pendidikan harus bahu membahu meningkatkan diri agar bisa menjawab tantangan tersebut. Dalam kaitan dengan itu, sesungguhnya pendidikan kita menghadapi kendala yang tak kurang seriusnya dibandingkan dengan tantangan tersebut.

Dalam kaitan dengan itu, minimal dapat diidentifikasi dua kendala pokok yaitu: pertama, kesiapan teknis komponen-komponen yang terkait dengan upaya perbaikan pendidikan. Dengan adanya berbagai upaya perbaikan seperti otonomi pendidikan memang memberikan angin segar bagi kebermaknaan pendidikan. Pengalaman beberapa tahun ini adalah pengalaman yang sangat berharga bagi daerah otonom untuk memperbaiki kinerjanya yang masih kelihatan secara nyata kedodoran diberbagai aspek yang terkait dengan inovasi penyelenggaraan tersebut. Kedua, faktor budaya meminta petunjuk yang masih kental kelihatan bagi penyelenggara pendidikan. Malah diberbagai kesempatan wawancara dengan guru menggambarkan kondisi yang mengkhawatirkan, seperti ketidak berdayaan guru untuk merumuskan kurikulum yang sesuai dengan tingkat satuan pendidikannya, bingungnya menghadapi uji sertifikasi guru dan lain sebagainya. Hal tersebut tidak boleh terjadi, lebih-lebih dikalangan guru sebagai ujung tombak. Idealisme keguruan, kreativitas, komitmen guru harus tumbuh dalam rangka peningkatan profesinya. Guru kita harus profesional, dan profesionalisme guru menyangkut minimal tiga hal, yaitu : (i) keahlian (expertise), (ii) komitmen dan tanggungjawab (responsibility), dan (iii) keterlibatan dalam organisasi profesi (involvement in professional organizations).

Keahlian menyangkut konten keilmuan yang harus dikuasai guru sesuai dengan bidang yang didalami; dan hal ini diperoleh melalui pendidikan formal. Komitmen dan tanggungjawab merupakan nilai profesi yang dianut terkait dengan pelaksanaan tugas (tugas pokok guru) demi kemaslahatan peserta didik. Sedangkan keterlibatan dalam suatu organisasi profesi diperlukan dalam rangka meningkatkan secara berkelanjutan keahlian maupun komitmen guru terhadap profesinya. Berdasarkan konsep di atas, bila dirumuskan dalam suatu formula, maka profesi guru dapat dirumuskan sebagai fungsi dari keahlian (KA), komitmen (KM), dan kinerja (KR); sehingga dapat diformulasi sebagai berikut: Profesi = f (KA + KM + KR), dan bila digambarkan secara kuadrantik terujud sbb:


Menyimak berbagai uraian di atas, satu hal yang sangat penting direnungkan dan diresapi oleh penyelenggara pendidikan, adalah kearifan dalam menyikapi berbagai perubahan dan inovasi tersebut, sehingga tidak timbul kesan kaget, bahkan asing terhadap perubahan-perubahan itu, sebab it’s not a complete change, but a modification.

Referensi

Buchori, M., (2000). Pendidikan Antisipatoris. Jakarta: Gramedia.

Delors, J. et al. (1996). Learning the Treasure Within, Education for the 21th Century.

New York : UNESCO.

Depdiknas R.I (2003). UUSPN RI No. 20 Tahun 2003. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas R.I (2005) PP No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.

Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas R.I (2005) UUGD RI No. 14 Tahun 2005. Jakarta: Depdiknas.

Direktorat Pembinaan Akademik dan Kesiswaan Ditjen Dikti Depdiknas. (2005). Tanya Jawab Seputar Unit Pengembangan Materi dan Proses Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Jakarta.

Elliott, S.N. et al. (2000). Educational Psychology: Effective Teaching, Effective Learning. Boston: Mc.Graw Hill.

Jalal, F. & Supriadi, D., (2001). Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah.

Yogyakarta: Adicipta Karya Nusa.

Marhaeni, AAIN.& Dantes,N., 2008. Pengembangan Silabus Dan Pembelajaran Berbasis

Student-Centered Learning (Makalah) Disampaikan di FE-Unud Denpasar.

Moore, K. D. (2005). Effective Instructional Strategies From Theory to Practice. California: Sage Publications Inc.

Semiawan, C.,(1997). Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Grasindo.

Syarief, I. & Murtadlo, D., (2002). Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru. 70

Tahun H.A.R.Tilaar. Jakarta : Grasindo.

Download Tulisan

PENDIDIKAN PROFESI GURU DALAM KAITANNYA DENGAN PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU

PENDIDIKAN PROFESI GURU DALAM KAITANNYA

DENGAN PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU

(Refleksi tentang Struktur Program LPTK)

Oleh : N. Dantes

Universitas Pendidikan Ganesha

ABSTRAK

Perubahan paradigma pendidikan menjadi paradigma pembelajaran berkonsekuensi logis terhadap perubahan dalam pengelolaan proses pembelajaran. Proses perubahan ini berimplikasi pada tuntunan kualifikasi akademik, kualitas kompetensi akademik, dan kompetensi profesional pengelola proses pembelajaran tersebut. Dalam hal ini, pengelola proses pembelajaran adalah pendidik (guru). Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini di jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Pendidikan profesional harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Kualifikasi akademik yang dimaksud adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik, sedangkan kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan usia dini, dasar, dan menengah meliputi empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial, yang diperoleh pada Program Pendidikan Profesi Guru (PPG), setelah yang bersangkutan memiliki kualifikasi akademik setingkat sarjana (S1) atau Diploma empat (D4). Sesuai dengan kerangka acuan aspek legal sistem pendidikan nasional, mereka yang memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) pendidikan (S.Pd) yang mengikuti Pendidikan Profesi Guru dengan model bersamaan (concurrent), diharapkan dapat memiliki kompetensi akademik dan kompetensi profesional, yang berpeluang besar untuk dapat melahirkan guru – guru yang profesional.

Kata kunci : Pendidikan Profesi, Profesionalisme Guru

ABSTRACT

A change of educational paradigm to learning paradigm has consequently linked to a change in the management of learning process. This change process implies that it necessitates an academic qualification, quality of academic competency, and professional competency of the learning process manager, in this case, the management is the teacher herself. A teacher is a professional educator was main task is to educate, to teach, to guide, to direct, to train, to asses, and to evaluate pupils within the formal education of early schooling children, primary education, and secondary education. A professional educator must possess academic qualification and competencies as he/she acts as an agent of learning. The academic qualification meant here deals with the minimum educational level required of the teacher, while competencies which are attached to the teacher teaching at primary and secondary educational levels encompass : pedagogical competency, personal competency, professional competency and social competency which are learnt in Professional Teacher Education, taken after S1 or
Diploma 4 Degree has been gained. Within the legal reference of the national education system, for those having S1 degree in education (S.Pd) taken concurrently in a Professional Teacher Education are expected to have academic and professional competencies which in turn will provide them with greater chance to become professional teacher.

Key word : Professional Education, Teacher Professionalism

1. Pendahuluan

Dalam pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua Warga Negara Indonesia, berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Terkait dengan visi tersebut, telah ditetapkan serangkaian prinsip yang dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan.

Salah satu prinsip tersebut adalah bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Dalam proses tersebut harus ada pendidikan yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran.

Paradigma pembelajaran memberikan peran lebih banyak peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang mempunyai kekuatan spiritual keagamaan, berahlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Untuk dapat menyelenggarakan pendidikan berdasarkan paradigma tersebut, diperlukan acuan dasar pendidikan yang meliputi acuan filosofis, maupun acuan normatif baik yang bersifat kultural maupun lingkungan strategis.

Acuan filosofis didasarkan pada abstraksi acuan hukum dan kajian empiris tentang kondisi sekarang serta idealisasi masa depan. Secara filosofis, pendidikan perlu memiliki karakteristik : (1) mampu mengembangkan kreativitas, kebudayaan, dan peradaban, (2) mendukung diseminasi dan nilai keunggulan, (3) mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan dan keagamaan serta (4) mengembangkan secara kelanjutan kinerja kreatif dan produktif yang koheren dengan nilai- nilai moral. Semua ini tidak terlepas dari cita – cita pembentukan masyarakat Indonesia baru, yakni apa yang disebut dengan masyarakat madani.

Pendidikan kita harus pula memiliki acuan nilai kultural dalam penataan aspek legal. Tata nilai itu sendiri bersifat kompleks dan berjenjang mulai dari jenjang nilai ideal, nilai instrumental sampai pada nilai operasional. Pada tingkat nilai ideal, acuan pendidikan adalah pemberdayaan kemandirian dan keunggulan. Pada tingkat instrumental, nilai-nilai penting yang perlu dikembangkan melalui pendidikan adalah otonomi, kecakapan, kesadaran berdemokrasi, kreativitas, daya saing, estetika, kearifan, moral, harkat, martabat dan kebanggaan. Pada tingkat operasional, pendidikan harus menanamkan pentingnya kerja keras, sportivitas, kesiapan bersaing, dan sekaligus bekerja sama dan disiplin diri.

Acuan lingkungan strategis mencakup lingkungan nasional dan lingkungan global. Dalam kaitan dengan lingkungan nasional, muncul nilai – nilai baru di masyarakat seperti kerja keras, keunggulan, dan ketepatan waktu, pengaruh politik yang sejak era reformasi terasa sangat labil, serta pengaruh ideologi dimana pendidikan ideologi perlu terkait dengan yang universal. Lingkungan nasional, yang saat ini masih dalam situasi reformasi, bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Secara nasional, acuan strategis ini mengandung arti bahwa pendidikan kita harus dapat menjawab tantangan reformasi dan membawa negeri ini keluar dari berbagai krisis.

Lingkungan global ditandai antara lain, dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi sehingga kita tidak bisa menjadi warga lokal dan nasional saja, tetapi juga warga dunia. Lingkungan strategis sangat mempengaruhi bagaimana pendidikan masa depan tersebut hendaknya dirancang.

Sebagai implikasi dari globalisasi dan reformasi tersebut, terjadi perubahan pada paradigma pendidikan. Perubahan tersebut menyangkut empat hal. Pertama, paradigma proses pendidikan yang berorientasi pada pengajaran dimana guru lebih menjadi pusat informasi, bergeser pada proses pendidikan yang berorientasi pada pembelajaran dimana peserta didik menjadi sumber (student center). Dengan banyaknya sumber belajar alternatif yang bisa menggantikan fungsi dan peran guru, peran guru berubah menjadi fasilitator. Kedua, paradigma proses pendidikan tradisional yang berorientasi pada pendekatan klasikal dan formal di dalam kelas, bergeser ke model pembelajaran yang fleksibel, seperti pendidikan dengan sistem jarak jauh. Ketiga, mutu pendidikan menjadi prioritas (berarti kualitas menjadi internasional). Keempat, semakin populernya pendidikan seumur hidup dan makin mencairnya batas antara pendidikan di sekolah dan di luar sekolah.

Dalam kaitan dengan hal tersebut, tidak bisa disangkal lagi bahwa pendidikan profesional guru merupakan suatu kerharusan. Secara eksplisit dalam penjelasan pasal 15 UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang menyiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan persyaratan keahlian khusus. Ini berarti profesi guru terbuka, karena program Pendidikan Profesi Guru (PPG) bisa diikuti oleh semua kandidat yang telah menyelesaikan program sarjana. Pada pasal 10 UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen juga menyebutkan bahwa kompetensi profesional guru diperoleh melalui pendidikan profesi. Hal di atas berimplikasi cukup serius bagi lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang selama ini menyelenggarakan pendidikan guru dengan model bersama (concurrent). Apakah nantinya penganugerahan ijazah akta mengajar pada lulusan sarjana (S1) di bidang pendidikan bisa menggantikan sertifikat/ijazah pendidikan profesi yang dalam undang-undang semestinya diselenggarakan setelah program sarjana, ataukah setelah seseorang menyelesaikan sarjana (S1) pendidikan (S.Pd), menempuh lagi profesi pendidikan guru yang nantinya berujung dengan pemberiannya sertifikat/ijazah profesi. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana penghargaan (kredit) terhadap bidang-bidang yang menyangkut profesi guru yang telah dimiliki oleh seseorang lulusan sarjana pendidikan? Berbagai pertanyaan lain muncul dalam kaitan dengan hal tersebut. Untuk ikut mengkontribusi solusi terhadap masalah tersebut, diajukan beberapa pemikiran berikut ini.

2. Pembahasan

2. 1 Tinjauan Mengenai Struktur Program Pendidikan Guru LPTK

Konversi Intitusi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Singaraja menjadi Universitas Pendidikan Ganesha menjadikan seluruh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Negeri di Indonesia memangku mandat ganda (wider mandate), yaitu bertugas untuk mendidik tenaga kependidikan yang kompeten diberbagai jenjang (SD, SMP, dan SMA/SMK) di samping bertugas pula untuk menghasilkan tenaga terampil dan ahli diberbagai bidang di luar tenaga kependidikan. Bila diacu UU No 20/2003. PP No 19/2005, dan UU No 14/2005 ditekankan bahwa standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman dalam penentuan kelulusan. Dalam PP No 19/2005 pasal 25(4) dinyatakan bahwa standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan tinggi bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berakhlak mulia, memiliki pengetahuan, keterampilan, kemandirian dan sikap untuk menentukan, mengembangkan, serta menerapkan ilmu, teknologi dan seni yang bermanfaat bagi kemanusian, sedangkan pada pasal 27 (1) dinyatakan bahwa standar kompetensi lulusan pendidikan tinggi ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi. Ketentuan di atas menyiratkan besarnya otonomi akademik masing-masing perguruan tinggi, yang sudah pasti secara logis akan bermuara pada mutu yang dihasilkan. Dalam kaitan dengan itu, bagaimana LPTK khususnya yang memiliki wider mandate menentukan standar kompetensinya? Hal tersebut perlu dipikirkan lebih dalam oleh LPTK, dan pada tulisan ini khusus dianalisis tentang standar kompetensi tenaga pendidik (guru) yang merupakan salah satu tugas inti LPTK.

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Pendidikan profesional harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Kualifikasi akademik yang dimaksud adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik, yang dalam kaitan dengan pendidikan dasar dan menengah adalah sarjana (S1) atau diploma empat (D4). Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan usia dini meliputi empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial (PP 19/2005 ps 28 ayat 3). Inilah yang mendasari terbukanya peluang pendidikan guru model konsekutif, karena; setelah seseorang memiliki kualifikasi akademik tertentu, dan bila yang bersangkutan ingin mengabadikan dirinya sebagai pendidik, yang bersangkutan bisa melakukan dengan menambah kemampuannya dengan menguasai/memiliki kompetensi keguruan, yang diformat dalam Program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Bila demikian persoalannya bagaimana eksistensi program pendidikan tenaga kependidikan yang mengahasilkan sarjana (S1) pendidikan (S.Pd) yang selama ini menempuh pendidikan guru dengan model bersama (concurrent)?

Mengkaji persoalan di atas, tampaknya LPTK harus tetap memperjuangkan model bersamaan (concurrent) sebagai model pendidikan guru di LPTK, dan bila mungkin dikembangkan sehingga dapat menjadikan program pendidikan di LPTK multy entry dan multy exit, yang secara diagramatik diusulkan seperti visualisasi berikut.


Keterangan :

  1. Untuk semua jenis kualifikasi (kependidikan maupun non kependidikan), dari semester I sampai dengan semester VI diberikan materi bidang studi dengan bobot SKS yang sama, yaitu berkisar antara 108 – 120 SKS.
  2. Memasuki semester VII sampai dengan semester VIII, untuk jenis kualifikasi kependidikan diberikan mata kuliah bidang studi dan pendidikan profesi antara 36-40 SKS (16 SKS pendidikan profesi I, dan 24 bidang studi), sedangkan untuk jenis kualifikasi non kependidikan, diberikan materi bidang studi (keilmuan) antara 36-40 SKS.
  3. Total SKS yang harus diselesaikan oleh seorang mahasiswa untuk memperoleh gelar kesarjanaan, baik sarjana pendidikan maupun sarjana nonkependidikan berkisar antara 144-160 SKS.
  4. Bagi sarjana pendidikan, untuk menempuh pendidikan profesi II, mereka diwajibkan untuk mengikuti kuliah dengan beban 24 SKS untuk memperoleh pendidikan profesi II yang berujung dengan mendapatkan sertifikat profesi pendidik (prasyarat untuk dapat diterima sebagai “pelamar” tenaga pendidik (guru) sesuai dengan UU Guru dan Dosen, serta PP 19/2005, yang kisarannya kurang lebih 1 tahun.
  5. Bagi sarjana nonkependidikan, untuk memperoleh sertifikat profesi pendidik, mereka diwajibkan untuk mengikuti perkuliahan dengan beban 36-40 SKS. Sertifikat profesi ini akan menunjukkan bahwa seseorang berwenang sebagai guru bidang studi tertentu sesuai dengan kualifikasi keilmuannya, dan bidang studinya harus linier, yang ditempuh selama + 1,5 tahun. Contoh, seorang lulusan sarjana fisika, untuk memperoleh kewenangan sebagai guru fisika, dia harus mengambil pendidikan profesi bidang pendidikan fisika.
  6. Bagi mahasiswa, baik yang awalnya berada pada jalur kependidikan maupun non kependidikan, bilamana mereka “berhenti” mengikuti program perkuliahan minimal setelah menyelesaikan pendidikannya selama 1 tahun (akhir semester 2, dengan tambahan beberapa SKS bidang keterampilan vokasi, dapat dirancang untuk mendapatkan sertifikat Diploma I atau disesuaikan dengan “titik” dimana mereka berhenti, dengan catatan bahwa mereka wajib mengikuti program praktek lapangan atau program lain yang dirancang oleh masing-masing Jurusan/Prodi. Setelah persyaratan itu dipenuhi, mereka berhak mendapatkan sertifikat Diploma tertentu.
  7. Bagi mahasiswa yang di awal masuknya memilih jenis kualifikasi kependidikan setelah mengakhiri semester VI (akhir tahun ke-3), dimungkinkan untuk pindah jalur ke non-kependidikan, sehingga mereka nantinya keluar sebagai sarjana nonkependidikan (keilmuan).
  8. Pengorganisasian sebaran kompetensi ke dalam elemen kompetensi dirumuskan oleh masing-masing Jurusan/prodi sehingga sesuai dengan visi dan misi yang diembannya.
  9. Untuk standarisasi isi dan proses, perlu dibentuk “tim khusus” dari masing – masing Jurusan/Prodi, sehingga akuntabilitas akademik dan sosialnya dapat ditinggikan serta sesuai dengan tuntutan ke depan.
  10. Adapun contoh sebaran kompetensi dan elemen kompetensi yang saat ini masih diberlakukan sesuai dengan “kebijakan formal bidang pendidikan” dapat dijabarkan sebagai berikut. Jumlah keseluruhan beban untuk pendidikan profesi, baik untuk jenis kualifikasi kependidikan maupun nonkependidikan adalah 36-40 SKS, namun sebaran dan waktu pemunculannya (penawarannya) yang berbeda. Jika pada jalur kependidikan, dimunculkan pada semester VII, VIII, IX dan X dan bahkan mungkin sebelumnya, maka untuk jalur nonkependidikan dirancang dalam 3 (tiga) semester, yaitu pada semester IX, X, dan XI.

2.2 Kompetensi Lulusan Program S1 LPTK

Pengalaman yang didapatkan oleh kalangan Pendidikan Tinggi di tahun 1980an, melalui program rintisan pengadaan guru MIPA setingkat D3, yang dikelola oleh beberapa perguruan tinggi Pembina (istilah saat itu), yang menghasilkan kualitas lulusan (output) yang “biasa-biasa saja”(tidak berada di atas kualitas lulusan yang dikelola oleh LPTK), dapat digunakan dasar yang kuat untuk menduga bahwa perancangan pendidikan guru model konsekutif tidak akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kualitas calon guru yang dihasilkan, dan dengan berbagai alasan yang mendasari khususnya familiaritas keguruannya yang dapat dibina sejak awal tanpa mengesampingkan penguasaan bidang keilmuannya, maka sangat mendasar program pendidikan guru model bersamaan/terintegrasi dipertahankan/konsisten dilaksanakan sebagai program pendidikan guru di LPTK. Diagram tahapan pelaksanaan model tersebut diusulkan untuk dikaji seperti digambarkan pada diagram di atas.

Kajian mengenai aspek legal program sangat perlu dicermati karena hal itu akan berhubungan langsung dengan keabsahan ouput suatu program. Diagram yang diajukan memberi peluang lulusan sarjana (S1) pendidikan mendapatkan ijazah sarjana dan penambahan program pendidikan profesi maksimal selama dua semester yang berujung dengan pemberian sertifikat profesi pendidik, memenuhi aspek legal lulusan untuk melamar menjadi pendidik (guru). Dalam kaitan dengan kualifikasi akademik program sarjana (S1) pendidikan, perlu dirancang kompetensi lulusan program tersebut. Menurut penulis, empat kompetensi yang tertera pada PP 19/2005 pasasl 28 (3) adalah merupakan kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran, yang semestinya diterjadikan pada program pendidikan profesi guru. Oleh karena itu, dalam rangka rancangan multy entry dan multy exit dari program sarjana (S1) pendidikan di LPTK, di samping untuk memperkuat segi kualitas akademik lulusan, diajukan dua kompetensi pada tingkat program sarjana (S1) pendidikan, yaitu kompetensi akademik, dan kompetensi profesional.

Berbicara secara umum, kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan sikap, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru dalam melakukan tugas keprofesionalannya, sedangkan profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi (Ketentuan Umum UU No.14 Thn 2005). Ketentuan di atas secara eksplisit menyiratkan bahwa profesi guru terkait dengan konteks layanan ahli dalam bidang keguruan-kependidikan karena terapan layanan ahli kependidikan itu selalu berlandaskan penguasaan akademik yang solid. Gane (1978) melukiskannya sebagai “seni yang terapannya berbasiskan sains”. Secara sederhana dapat dilukiskan, dalam suatu interaksi dalam pembelajaran, seorang guru profesional minimal harus mempertanyakan pada dirinya, apa yang akan dia lakukan dalam proses interaksi tersebut, bagaimana dia melakukannya, dan kenapa demikian dia melakukannya. Ini berarti, dalam pelaksanaan layanannya, seorang pengampu layanan ahli, harus peduli dengan sisi Why (menyangkut tujuan pendidikan), sisi How (menyangkut prosedur), dan sisi When (menyangkut konteks). Interaksi dalam pembelajaran bersifat transaksi situasional, yang pada dasarnya merupakan suatu perjumpaan budaya antara pendidik dan peserta didik, yang memang telah dipelajari dan dibawanya secara alamiah di lingkungannya masing-masing. Oleh karena itu, guru yang mengelola proses pembelajaran harus mengerahkan penguasaan akademiknya yang utuh (yang bukan hanya sebatas penguasaan keilmuan bidang studi/disclipinary content saja), tetapi harus mengutamakan tercapainya kemaslahatan peserta didik yang memiliki kerakteristik tertentu, dan menguasai dengan cermat berbagai pendekatan dalam pengambilan keputusan dalam situasional pembelajaran.

Dalam kaitannya dengan hal di atas, seorang guru seyogyanya menguasai karakteristik peserta didik yang diampu dan dilayani secara mendalam dengan berbagai variasi karakter dan cara pendekatannya, menguasai bidang ilmu sumber (bahan ajar) dari segi disclipinary content maupun pedagogical content, menguasai pendekatan pembelajaran yang mendidik dan memandirikan baik menyangkut perancangan, maupun implementasinya, serta mengembangkan kemampuan profesional secara berkelanjutan. Penguasaan dimensi-dimensi konsep akademik yang berhubungan dengan layanan ahli keguruan-kependidikan tersebut serta pengalaman mengaplikasikan dalam profesinya sebagai guru, akan menimbulkan secara berkelanjutan nurturant effects pada kemampuan sosial dan kemampuan personal yang pada gilirannya akan berkontribusi pada kepribadian guru secara makro. Oleh karena itulah, perancangan pada kepribadian guru secara prioritas sebenarnya bertumpu pada penggarapan kemampuan akademik dan kemampuan profesional (yang seyogyanya harus diartikan sebagai kemampuan penerapan bidang akademik dalam kancah profesi yang menjadi garapan layanan ahli keguruan-kependidikan, bukan justru penguasaan disciplinary content yang seyogyanya tidak ditampilkan terpisah dari bidang garapan profesi). Dari proses pendidikan yang secara tekun dan konsisten mempedomani penggarapan kemampuan akademik dan profesional tersebut, disertai dengan cara-cara pengelolaan proses transformasi itu yang dapat menimbulkan interaksi pembelajaran yang inspiratif, interaktif, menantang, menyenangkan, memotivasi (I2M3) dan memberikan teladan, akan terbentuk pengaruh pengiring (nurturant effects) pada kemampuan personal maupun kemampuan sosial, minimal yang terkait dengan kancah garapan layanan ahli keguruan-kependidikan. Dengan mempertimbangkan dan mempersilahkan model konsekutif dalam pendidikan profesi guru dilaksanakan (yang memang peluangnya dibuka oleh aspek legal), maka sangatlah wajar LPTK tetap memperjuangkan model pendidikan bersamaan/integrative (concurrent) bagi pendidikan guru di tanah air yang memang juga peluangnya dimungkinkan pada UU No.14/2005), dan jangan justru dinafikan bahwa LPTK cukup atau dianggap cukup sibuk hanya dengan mengelola pendidikan profesi pendidik (guru) yang konon diperkirakan akan berlimpah ruah dengan para calon mahasiswa yang akan mengikuti pendidikan profesi pendidik (guru) dengan pola konsekutif. Bila hal terakhir itu memang benar terjadi, berarti lonceng kematian bagi eksistensi kelembagaan dan keilmuan LPTK yang belum lagi disikapi secara tidak proporsional dalam pengembangan programnya setelah menjalani fungsi perluasan mandat (wider mandate). Hal ini perlu ditekankan supaya LPTK jangan mudah tergelincir secara tidak proporsional, dan bahkan meninggalkan tugas utamanya.

Kompetensi akademik diajukan dengan prinsip penguasaan disciplinary content dan pedagogical content secara mengorkestra, yang dapat dijabarkan ke dalam subkompetensi (1) kemampuan mengenal peserta didik secara mendalam, (2) penguasaan bidang studi yang menyangkut substansi dan epistimologi ke-ilmuan (disciplinary content), dan pengemasan bidang keilmuan tersebut menjadi bahan ajar sesuai dengan konteks kurikuler maupun karekteristik peserta didik (dalam subkompetensi inilah peluang LPTK untuk mengkriet dan memvariasi programnya menjadi multy exit sehingga menjadi menarik dan sesuai kebutuhan lapangan), (3) kemampuan menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, yang mampu memfasilitasi pembentukan kemampuan yang utuh yang mampu memadukan antara dimensi pengetahuan (faktual, konsep, prosedural, dan metakognitif) dengan dimensi proses (pengetahuan, pemahaman aplikasi, analisis/mengkaji, evaluasi dan mencipta) seperti yang dikemukakan Anderson & Krathwohl (2001), sehingga pembentukan sikap dan keterampilan kognitif, personal dan sosial maupun psikomotorik yang diperoleh melalui latihan menjadi terbentuk secara utuh, dan (4) kemampuan mengembangkan keterampilan profesional secara berkelanjutan. Hal ini harus tertanam menjadi kebiasaan dan sikap profesional guru dalam kesehariannya, yang didapatkan berdasarkan hasil refleksi dari dampak kinerjanya (reflective practitioner).

Kompetensi profesional merupakan kemampuan untuk menerapkan kompetensi akademik dalam kancah profesi keguruan-kependidikan, yang diimplementasikan melalui pengalaman lapangan (PPL) secara bertahap dari, pengenalan lapangan, pelatihan keterampilan dasar mengajar, latihan terbimbing, latihan penugasan terstruktur, dan latihan mandiri, dalam kaitannya dengan pengelolaan pembelajaran (merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan memonitoring proses pembelajaran) dan keterampilan membina hubungan sosial dengan siswa, teman sejawat dan orang tua peserta didik. Dengan demikian sub-kompetensi profesional ini meliputi (1) keterampilan menerapkan kompetensi akademik dalam proses pembelajaran dan (2) keterampilan berhubungan sosial dengan pihak terkait dalam rangka peningkatan dan efektivitas pembelajaran yang mendidik. Keterampilan (kompetensi) personal merupakan unsur kunci bagi guru profesional, sehingga menjadi unsur kunci pula dan termasuk dalam sub-kompetensi profesi guru, karena; bila ditelusuri lebih jauh pembentukan kompetensi ini bukanlah merupakan dampak instruksional effect dari suatu pendidikan formal yang diikuti calon guru. Ia lebih banyak merupakan nurturant effects dari pencapaian kompetensi akademik dan kompetensi profesional, dan bahkan juga telah terbentuk dasar-dasarnya dari pendidikan sebelumnya, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Dengan demikian, kompetensi personal ini dapat dideskripsikan dengan indikator beriman dan taqwa, berahlak mulia, arif demokratis, mantap, berwibawa, stabil, dewasa, jujur dan sportif, yang terjadi bersenyawa pada saat proses pencapaian kompetensi akademik dan profesional. Dua standar kompetensi (kompetensi akademik dan profesional) diusulkan menjadi landasan dasar kualifikasi akademik seseorang sarjana (S1) pendidikan (S.Pd), dan masing-masing sub-kompetensi yang diuraikan di atas menjadi kompetensi dasar, yang nantinya dalam proses pengembangan lanjut digunakan sebagai dasar pengembangan materi sebagai muara dari pengalaman belajar yang harus didapatkan. Dengan penguasaan kualifikasi akademik seperti itu, di samping memenuhi aspek legal, model bersamaan (concurrent) dalam pendidikan guru dapat diselenggarakan secara konsisten, karena kontinuitas program tersebut merupakan landasan yang kokoh seseorang (S.Pd) untuk menjalani pendidikan profesi guru. Proses pendidikan seperti itu akan memberi peluang yang lebih besar untuk menghasilkan calon-calon guru yang profesional, ketimbang hanya menumpangkan (on top) program pendidikan profesi guru setelah seseorang menguasai kualifikasi akademik tertentu yang dari semula dalam proses pembelajarannya sama sekali tidak pernah mambumi dengan profesi keguruan. Walaupun demikian, dalam perkembangannya ke depan pendidikan profesional guru (prajabatan) pola bersamaan (concurrent) dan begitu pula pola konsekutif, malah akan ditugaskan pada LPTK, karena hal tersebut telah teramanatkan dalam perundangan, dan hal ini harus dijadikan kesempatan yang sangat berharga bagi LPTK, karena akan mendapat pengalaman yang berharga untuk mencermati kedua model pendidikan profesi guru.

3. Penutup

Dengan adanya otonomi akademik di perguruan tinggi, jelas akan terdapat kreasi program pada masing-masing perguruan tinggi LPTK. Akan tetapi, pendidikan profesional guru terintegrasi harus tetap merupakan program baku, yang berorientasi pada pembentukan kompetensi akademik yang harus dapat ditampilkan secara mengorkestra antara disciplinary content dan pedagogical content, yang bila mengacu aturan yang berlaku sebelum PP 19/2005, adalah minimal 144 SKS dan maksimal 160 SKS ditempuh selama kurun waktu minimal 4 tahun. Setelah itu, secara khusus ditambahkan antara satu sampai dua semester untuk melakukan program pengalaman lapangan yang merupakan fortifikasi kompetensi profesional. Dalam pelaksanaannya, pada paruh waktu delapan semester pertama, harus diramu secara proporsional komponen-komponen yang mendukung tercapainya kompetensi akademik dan kompetensi profesional, yang selanjutnya dalam satu/dua semester terakhir hanya dilakukan untuk pemantapan penguasaan kompetensi profesional. Hal ini perlu dilakukan secara serius, di samping untuk mengantisipasi suara sumbang bahwa penguasaan content keilmuan pada pendidikan guru terasa kurang, juga untuk bisa menyiapkan guru-guru yang profesional dalam kancah profesi keguruan-kependidikan, yang sudah pasti secara berlanjut akan berpengaruh terhadap pembentukan kualitas sumberdaya manusia.

Memang semua hal di atas akan berimplikasi pada pengelolaan kelembagaan di LPTK (yang saat ini memangku perluasan mandat) yang harus mampu juga mengelola antara program pendidikan (DIK) dan program non-kependidikan (NON DIK) sehingga muncul mutual kontribusi antar program tersebut. Di satu pihak program DIK dapat memberi penguatan dalam bidang pendekatan pembelajaran pada program NON DIK, dan pihak lain program NON DIK dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan kualitas penguasaan keilmuan bidang studi. Hal ini perlu dijaga secara memadai, dan bukan harus dipertentangkan kehadirannya (yang biasa berpotensi buruk pengaruhnya pada suasana akademik). Dengan kewenangan yang dimiliki oleh masing- masing perguruan tinggi LPTK untuk mengelola sendiri ditambah kreasi yang maksimal dari pengelola lembaga, sangat besar peluang bahwa pengembangan kedua program tersebut mencapai sasaran yang sesuai dengan harapan.

Dengan itikad baik untuk dapat melahirkan calon-calon guru profesional yang menurut istilah Glickman berada di kuadran satu, semoga nantinya muncul fenomena yang menarik, menantang dan memotivasi LPTK itu sendiri dalam melaksanakan profesional guru dalam pola terintegrasi (concurrent) dan melaksanakan pendidikan profesional guru dengan pola konsekutif (consecutive). Demikianlah hal ini dikemukakan sebagai bahan pemikiran, semata demi penghargaan profesionalisme keguruan-kependidikan di tanah air.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Orin W. And Krathwohl, David R. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing. New York : Addison Wesley Longman, Inc.

Gage, N.L. 1978. The Scientific Basis of The Art of Teaching. New York : Teachers Collage Press.

Hogan-Garcia, M. 2003. The Four Skills of Csistemal Diversity Competence : A Process for Understanding and Practice. Pacific Grovve, CA : Brooks/Cole

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

Raka Joni, T. 1983. Cara Belajar Siswa Aktif, Wawasan Kependidikan dan Pembaharuan Pendidikan Guru, Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar pada FIP IKIP Malang. Malang : IKIP Malang.

Raka Joni, T. 2006. Revitalisasi Pendidikan Profesional Guru. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.


Download Tulisan